Memahami
Posmodernisasi Pancasila
Sarjuni ; Wakil
Rektor III Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang; Pengurus
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah
|
SUARA MERDEKA, 01 Juni 2015
GLOBALISASI ilmu dan
budaya yang terjadi dewasa ini melahirkan sejumlah kejutan pemikiran dahsyat.
Di tengah kesibukan kita melacak dan memahami konsep-konsep dan format
modernisme dengan segala implikasinya, muncul konsep posmodernisme, dengan
karakter dasar: dekonsruksi,
pluralisme, dan relativisme.
Posmodernisasi Pancasila dimaksudkan sebagai proses menjadikan karakter dasar
filsafat postmodernismuntuk ‘’membaca’’Pancasila.
Upaya itu supaya bisa
ideologi terbuka dengan sistem filsafatnya yang utuh dan komprehensif, serta
selalu relevan dengan upaya bangsa kita kembali meneguhkan Pancasila sebagai
salah satu pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.
Orde Baru telah
menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menjustifikasi dan mempertahankan
kekuasaan. Pemerintah satu-satunya yang berhak menafsirkan Pancasila, dengan
hasil yang bersifat dogmatis. Tiap tafsir Pancasila yang berbeda dianggap
perbuatan anarkis yang harus dibasmi.
Pola itu akhirnya
mereduksi Pancasila dari ideologi jadi sebuah mitos, dan selalu dipahami
dalam kerangka politis-ideologis demi kepentingan kekuasaan. Akhirnya,
nilai-nilai Pancasila hanya menjadi menara gading yang tidak mampu
berdialektika dengan realitas empirik di masyarakat.
Dalam wacana
posmodernisme, dekonstruksi dimaksudkan sebagai upaya membongkar, mengkaji
ulang konsep pemikiran. Dalam kaitannya dengan Pancasila, dekonstruksi
dimaksudkan untuk mengkaji ulang berbagai tafsir atas Pancasila yang keluar
dari konteks yang dicita-citakan pendiri negara.
Cita-cita itu yakni
sebagai faktor pemersatu (common
dominator) bangsa kita. Dekonstruksi tentu saja mengharuskan ada
keterbukaan tafsir untuk senantiasa menerima kritik dan dialog
intelektual-kritis.
Dengan demikian,
Pancasila mampu mengantisipasi permasalahan pada segala zaman. Ia memiliki
kejelasan dan ketegasan landasan nilai, wawasan visi, namun tetap terbuka dan
tanggap terhadap pembaruan. Pancasila sebagai ideologi harus membuka diri
terhadap masuknya inspirasi dan aspirasi anggota masyarakat.
Pengembangan pemikiran
baru yang relevan dari masa ke masa merupakan indikator bahwa Pancasila telah
membudaya dan diamalkan masyarakat. Syaratnya, secara struktural kita harus
memperhatikan tiga dimensi, yakni idealistis, normatif, dan realistis (Kaelan; 2002).
Sistem Ide
Ideologi Pancasila tak
boleh bersifat utopis, atau hanya menjadi sistem ide yang jauh dari realitas
empirik, tapi juga bukan ideologi pragmatis yang hanya menekankan aspek
praksis tanpa idealisme. Dekonstruksi membawa konsekuensi munculnya
pluralitas dan pluriformitas pemahaman Pancasila.
Pluralisme dalam
pengertian filsafat ontologi menunjukkan bahwa hakikat kebenaran atau
kenyataan itu serbamajemuk. Bagi bangsa kita, pluralitas itu tercermin dalam
keanekaragaman etinis, budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat yang
berkembang dari Sabang sampai Merauke.
Konsekeuensi logisnya,
pluralitas visi dan aspirasi dari berbagai kelompok masyarakat itu harus
diterima sebagai kewajaran yang tumbuh dan berkembang secara alami (Koento Wibisono; 1999:8). Demikian
juga pluralitas dan pluriformitas pemahaman Pancasila dianggap sebagai
sesuatu yang wajar.
Hal ini karena suatu
pemikiran tak pernah lepas dari pemikiran lain yang mendahului, artinya
seorang yang berpikir selalu menggunakan hasil pemikiran sudah ada. Pemikiran
filosofis mana pun tidak pernah berangkat atau mulai dari titik nol, tapi
dari problematika pemikiran yang berkembang saat itu ataupun sebelumnya.
Pluralisme dan pluriformitas pemahaman atas Pancasila membawa konsekuensi
pada kemunculan relativitas pemahaman.
Mungkin saja pemahaman
seseorang benar, tapi belum tentu pemahaman orang lain salah. Hal ini karena
Pancasila sebagai sistem filsafat mempunyai arti dan makna dalam dan luas
ketimbang yang secara harfiah dituliskan lewat kata-kata.
Namun
di tengah penerimaan pluriformitas dan relativitas pemahaman terhadap
Pancasila, harus ada unformitas pemahaman bahwa hubungan sila-sila saling
mengikat dan merupakan kesatuan, dengan sila Ketuhanan sebagai komandannya
dan sila Keadilan Sosial sebagai tujuan kemerdekaan. Bukan Pancasila yang
bisa diperas menjadi Trisila atau bahkan Ekasila (gotong royong), sebagaimana
dulu ditawarkan Bung Karno. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar