Janji Politik
Azyumardi Azra ;
Guru Besar UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta;
Penerima
MIPI Awards 2014 Kategori Pemerhati Pemerintahan
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
“Menolak secara santun lebih baik daripada memberi janji yang
panjang dan banyak.” (Sayyidina ’Ali ibn Talib RA)
”O, dia adalah lelaki berani! Dia menulis ungkapan berani,
bicara dengan kata-kata berani, bersumpah dengan sumpah berani, dan
melanggarnya dengan berani.” (William Shakespeare, ”As
You Like It”, 1599/1600)
Pencalonan Sutiyoso
sebagai Kepala Badan Intelijen Negara oleh Presiden Joko Widodo mengundang
reaksi. Ada pihak yang mendukung, tetapi tidak kurang pula yang menolak,
termasuk dari kalangan yang mengklaim sebagai relawan Jokowi dan juga dari
lingkungan elite PDI-P.
Alasannya beragam.
Misalnya, sebagai Panglima Kodam V Jaya, ia diduga bertanggung jawab atas
Peristiwa 27 Juli 1996 ketika kantor PDI yang dipenuhi pendukung Megawati
Soekarnoputri diambil alih tentara. Namun, alasan itu tidak lagi relevan
karena Sutiyoso sebagai Ketua Umum PKPI telah menjadi bagian integral Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) yang ditulangpunggungi PDI-P. Jadi, sudah terjadi
rekonsiliasi diam (tacit reconciliation)
antara PDI-P dan Sutiyoso.
Namun, ada pula alasan
penolakan karena Sutiyoso adalah Ketua Umum PKPI. Dari sisi ini, pihak yang
mendapat kecaman adalah Presiden Jokowi yang dianggap ingkar janji untuk
tidak mengangkat ketua umum partai sebagai menteri atau pejabat setingkat
menteri. Dari pihak Sutiyoso, soal jabatan Ketua Umum PKPI kelihatan tidak
menjadi masalah. Ia menyatakan berkali-kali bakal menanggalkan jabatan itu
jika pencalonannya disetujui DPR.
Adanya pandangan di
masyarakat bahwa Presiden Jokowi telah ”melanggar janji” perlu mendapat
catatan sendiri. Berkali-kali terdengar suara publik yang menganggap Presiden
Jokowi ”melanggar” janji. Misalnya, rencana pemerintah mengimpor beras.
Padahal, dalam berbagai kesempatan, Presiden berjanji tidak mengimpor beras.
Sebaliknya, sangat menekankan swasembada pangan.
Persepsi bahwa
Presiden Jokowi ”melanggar” janji tampaknya terus berkembang dari waktu ke
waktu. Pelanggaran janji itu juga terjadi dengan Nawacita yang merupakan
platform dasar pemerintahan Jokowi. Hal ini dapat dilihat poin per poin.
Pertama, perlindungan
terhadap warga negara. Jokowi dianggap melanggar janji dengan membiarkan
kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan menghancurkan kapal illegal fishing berbarengan dengan
moratorium perizinan usaha perikanan tangkap telah mengakibatkan pengangguran
massal pada tenaga kerja di sektor ini. Mereka sama sekali tidak terlindungi.
Kedua, penciptaan tata
kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya. Presiden
dianggap melanggar janji dengan terjadinya pelemahan KPK. Pada saat yang
sama, penataan birokrasi tak berjalan baik; terdapat indikasi terjadi proses
politisasi birokrasi oleh menteri tertentu.
Ketiga, pembangunan
dari pinggir dengan memperkuat daerah dan desa. Sampai saat ini penguatan
desa melalui peningkatan alokasi dana desa masih jauh dari terealisasi sehingga
desa dan daerah pinggir tetap belum bergerak membangun.
Keempat, penguatan
negara dengan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan tepercaya masih lemah. Janji ini terlihat seperti ”jauh
panggang dari api” seperti juga terlihat pada poin kedua Nawacita karena
pelanggaran hukum masih terjadi sehingga kredibilitas aparat penegakan hukum
tetap rendah.
Kelima, peningkatan
kualitas hidup manusia Indonesia melalui pendidikan dan pelatihan. Sejauh ini
belum terlihat indikasi meyakinkan pendidikan dapat meningkatkan kualitas
hidup manusia. Dunia pendidikan Indonesia justru kian terbelenggu dalam
birokratisasi dan ”kementerianisasi”.
Keenam, peningkatan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Belum terlihat kebijakan
dan langkah konkret meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di
tingkat internasional.
Ketujuh, perwujudan
kemandirian ekonomi. Janji ini masih berputar pada retorika. Belum terlihat
indikasi atau gejala di mana Indonesia dapat mandiri secara ekonomi.
Kedelapan, perwujudan
revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kurikulum pendidikan
nasional. Revolusi karakter atau revolusi mental baru sekadar retorik. Belum
terlihat penataan kurikulum nasional yang mendorong revolusi karakter bangsa.
Kesembilan, peneguhan
kebinekaan dan penguatan restorasi sosial Indonesia. Di tengah kecemasan
masyarakat tentang gejala peningkatan intoleransi yang menginginkan
keseragaman, belum terlihat langkah konkret tidak hanya untuk penguatan
kembali kebinekaan, tetapi juga Pancasila yang merupakan peneguh utama
tenunan sosial negara-bangsa Indonesia.
Belum berhasilnya
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memenuhi janji-janji mereka,
seperti terumuskan dalam Nawacita, secara apologetis karena keduanya baru
menjalankan pemerintahan sekitar delapan bulan. Dalam rentang waktu itu,
perhatian dan energi Presiden terseret ke dalam berbagai pergaduhan politik.
Apa pun alasan belum
terpenuhinya janji-janji itu membuat popularitas dan kredibilitas Jokowi
merosot. Waktu tersisa bagi Jokowi sekitar empat tahun lebih, sebenarnya
tidak terlalu lama. Karena itu, Presiden Jokowi sepatutnya segera menciptakan
momentum yang dapat mendorong realisasi berbagai janji, terutama termaktub
dalam Nawacita-nya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar