Menjaga Marwah Ulama
Said Aqil Siroj ;
Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS, 16 Juni 2015
Nahdlatul Ulama merupakan representasi
paripurna dari Islam Nusantara, dalam kultur, jam'iyyah maupun harakah
(gerakan). Gerak langkah Nahdlatul Ulama (NU), pada level jama'ah (komunitas)
maupun jam'iyyah (organisasi) menjadi referensi utuh
bagaimana menyelaraskan agama, ideologi, dan rasa kebangsaan. Dalam NU,
ukhuwah basyariyyah, Islamiyyah, dan wathaniyyah
berjalan harmonis untuk membentuk konfigurasi yang selaras dengan kepentingan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Persaudaraan antarmanusia, sesama kaum Muslim
maupun persaudaraan dalam konteks kebangsaan memiliki porsinya masing-masing
yang seimbang.
Akan tetapi, ulama NU sadar betapa ukhuwah wathaniyyah perlu
didahulukan untuk membina kebinekaan bangsa agar tetap kokoh dalam persatuan.
Untuk itu, dalam historiografi pesantren, para kiai berpedoman jelas tentang
Islam dan nasionalisme. Seperti yang ditegaskan para kiai dalam pertemuan
tahun 1936 di Banjarmasin, tentang model darusalam (negeri kedamaian) sebagai
format Indonesia pasca kemerdekaan.
Jembatan harmonis antara nilai-nilai agama dan
nasionalisme inilah, yang menjadi fondasi tegaknya Indonesia. Inilah wajah
Islam Nusantara yang dipraktikkan para ulama yang menjadi pilar NU. Ini
berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, yang belum menemukan titik
pertemuan antara keislaman dan kebangsaan. Islam Nusantara, jelas memberi
ruang dialog antara format keagamaan dan strategi kebangsaan yang saling
mendukung.
Sebagai benteng kokoh Islam Nusantara, para
ulama NU bergerak secara istiqomah untuk mengembangkan
pengetahuan, menguatkan jaringan serta membentuk strategi kebangsaan yang
sesuai dengan model kebinekaan negeri ini. Pengembangan pengetahuan ulama
Nusantara jelas dilakukan sejak masa Walisongo, yang mewariskan tradisi,
konsep politik, dan artefak pengetahuan yang dapat bermakna hingga kini.
Selanjutnya, ulama-ulama Nusantara, semisal
Syekh Shamad al-Palimbani, Syekh Mahfudh at-Termasi, Syekh Nawawi al-Bantani,
Syekh Yusuf al-Makassari, Syekh Ahmad al-Mutamakkin, dan jaringan ulama
Nusantara memberi teladan tentang pentingnya konstruksi pengetahuan Islam
Nusantara.
Identitas kultural, isnad,
silsilah, genealogi pengetahuan dan jaringan luas dalam spektrum pengetahuan
Islam memberi bukti bahwa Islam Nusantara jelas menjadi referensi bagi dunia
internasional. Inilah yang seharusnya diteruskan oleh para ulama NU, dengan
pengetahuan keislaman yang kuat, kemampuan menulis kitab dalam bahasa Arab,
mampu berdialog dengan ulama-ulama Timur Tengah yang selama ini menjadi
referensi pengetahuan. Dengan demikian, marwah ulama NU terjaga dan menjadi
referensi pengetahuan Islam di level internasional.
Pengetahuan luas dalam kajian keislaman dan
strategi politik kebangsaan, menjadi ciri khas ulama-ulama NU, yang dalam
rentang sejarahnya dipraktikkan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Wahab Chasbullah,
Kiai Bisri Syansuri, dan penerusnya hingga kini. Posisi Rais Aam bukan
jabatan politis, tetapi merupakan penghormatan pengetahuan, kezuhudan, dan
kemampuan bergerak dalam level politik kebangsaan, bukan sekadar politik
kekuasaan.
Politik kebangsaan
Almarhum KH M Sahal Mahfudh merupakan seorang
kiai yang penulis kagumi. Beliau tidak sekadar hadir sebagai pemimpin yang
sangat peduli terhadap nasib pesantren, namun juga mampu menakhodai NU
sebagai jam'iyyah yang konsisten, mandiri, dan berdiri tegak
di tengah silang sengkarut kepentingan politik. Kiai Sahal merupakan guru
sekaligus mentor penulis dalam mengabdi di NU.
Kiranya, kisah di balik muktamar ke-32 di
Makassar memberi bukti bahwa Kiai Sahal tidak ingin mengejar jabatan. Beliau
mau menjadi Rais Am, dalam rangka menyelamatkan organisasi ini dari terpaan
badai politik dan kepentingan-kepentingan sesaat yang menjebak warga
nahdliyin. Kiai Sahal sadar, betapa berat menjaga marwah Rais Am Syuriah,
yang merupakan cermin dan referensi bagi struktur mental, cara berpikir, dan
sikap politik maupun strategi organisasi bagi seluruh kiai dan alim ulama di
negeri ini.
Ibaratnya, Rais Am dan para kiai yang berada
di jajaran syuriah merupakan "begawan waskita", yang bijaksana dan
menjaga jarak dari kepentingan-kepentingan struktural maupun politik
sektarian, apalagi syahwat pribadi untuk mengakses kekuasaan. Ini dibuktikan
Kiai Sahal dengan konsistensi dan kemandirian dalam ekonomi, politik, dan
pemikiran kebangsaan.
Di akhir hayatnya, Kiai Sahal memberikan pesan
penting terhadap NU, baik dalam konteks jama'ah maupun jam'iyyah.
Kiai Sahal menekankan pentingnya strategi politik tingkat tinggi, untuk
menunjukkan bahwa NU bukan organisasi remeh yang dapat dijadikan bemper
kekuasaan. Politik ala NU adalah politik kebangsaan dan kerakyatan.
Menurut Kiai Sahal, politik kekuasaan yang
biasa disebut politik tingkat rendah (low politic) merupakan porsi
partai politik dan warga negara, termasuk warga NU secara pribadi. Di sisi
lain, NU secara kelembagaan harus bersih dari model politik tingkat rendah.
Wilayah NU sebagai jam'iyyah dalam ranah politik tingkat
tinggi (high politic, siyasah 'aliyah samiyah) dalam wujud politik
kebangsaan, kerakyatan, dan etika berpolitik.
Kiai Sahal merenungkan tentang hakikat dan
strategi politik, bagi warga nahdliyin maupun dalam konteks NU secara
organisasi. Dalam pandangan Kiai Sahal, strategi politik kebangsaan NU
berarti harus fokus, istiqomah, dan proaktif mempertahankan
NKRI sebagai wujud final dalam berbangsa dan bernegara. Politik kerakyatan,
diwujudkan NU dalam konteks memberikan pendampingan dan penyadaran terhadap
hak-hak rakyat, serta melindunginya dari marjinalisasi politik maupun
kekuasaan.
Politik kebangsaan juga dihadirkan Hadratus Syekh
Hasyim Asyari yang menjadi tonggak sejarah pada masa revolusi kemerdekaan.
Fatwa jihad Kiai Hasyim Asyari pada 22 Oktober 1945, mampu menggerakkan
ribuan santri dan pemuda untuk bertempur demi tegaknya NKRI, pada 10 November
1945. Rekaman sejarah inilah yang tidak pernah muncul dalam narasi besar
pengetahuan warga negeri ini. Untuk itu, momentum resolusi jihad Kiai Hasyim
Asyari perlu dijadikan sebagai penanda sejarah untuk kebangkitan santri.
Peristiwa Oktober-November 1945 inilah yang
mempertemukan simpul-simpul jejaring ulama, sebagai tulang punggung NU pada
masa kemerdekaan. Pahlawan-pahlawan revolusi, semisal Kiai Hasyim Asyari
bersama Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Kiai Masjkur, Kiai Bisri
Musthofa (ayahanda Gus Mus), Kiai Abbas Cirebon, Kiai Subchi Parakan, dan
beberapa kiai lainnya di tanah Jawa, memberikan andil besar dalam sejarah
negeri ini, dengan niatan ikhlas dan berpedoman menggerakkan politik
kebangsaan.
Tentu saja, gerak langkah kiai pesantren yang
bergerak di level politik kebangsaan, jangan sampai ternoda dengan
kepentingan-kepentingan politik kekuasaan yang menggerus marwah ulama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar