Sabtu, 20 Juni 2015

Isbat sebelum Ijtimak

Isbat sebelum Ijtimak

Agus Mustofa  ;  Inisiator astrofotografi Indonesia;
Penulis buku “Mengintip Bulan Sabit sebelum Magrib“
JAWA POS, 17 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PERMULAAN Ramadan 1436 H kali ini ditandai dengan peristiwa unik, yakni sidang isbat sebelum habis bulan Syakban. Alias sebelum ijtimak. Tentu itu menjadi peristiwa yang patut dicatat dalam sejarah penetapan awal Ramadan di Indonesia, yang selama ini cenderung mengambil jalan ”rukyat setelah ijtimak”.
Biasanya sidang isbat selalu menunggu habisnya bulan Syakban, yang terjadi sebelum magrib. Tetapi, tahun ini ijtimak sebagai penanda habisnya bulan Syakban itu ternyata terjadi Selasa malam, 16 Juni 2015, pukul 21.05 WIB. Sehingga, menurut kriteria di atas, semestinya pemerintah menyelenggarakan sidang isbat Rabu, 17 Juni 2015, setelah magrib. Namun, menurut berita Jawa Pos (Selasa, 16/6), sidang isbat digelar Selasa sore, setelah magrib. Ini sangat menarik.

Perlu dipahami kembali, sidang isbat adalah sidang penetapan datangnya bulan Ramadan. Di Indonesia, penetapan itu selalu dilakukan sesudah magrib setelah para petugas rukyat yang disebar di seluruh Indonesia memastikan hilal terlihat ataukah tidak. Dan tentu saja pengamatan hilal Ramadan selalu dilakukan ketika bulan Syakban sudah dinyatakan berakhir. Syaratnya: hilal masih di atas horizon saat matahari tenggelam.

Meskipun setiap metode mensyaratkan ketinggian hilal berbeda-beda, hampir semuanya ”sepakat dalam perbedaan” bahwa hilal awal bulan harus di atas horizon. Wujudul hilal mensyaratkan lebih dari (>) 0 derajat, imkanur rukyat MABIMS > 2 derajat, imkanur rukyat Lapan > 4 derajat, dan Danjon > 7 derajat. Kecuali metode astrofotografi yang menggunakan kriteria ”hilal sebelum magrib”, tanpa mensyaratkan horizon.

Yang menarik, kali ini pemerintah menggelar sidang isbat justru sebelum bulan Syakban berakhir. Sehingga memunculkan sejumlah pertanyaan: lantas apakah yang akan dijadikan dasar penetapan datangnya Ramadan? Bukankah saat magrib hilal pasti tidak akan kelihatan di horizon? Bukankah bulan sabit tipis yang ”diburu” itu memang bukan hilal Ramadan? Dan apakah pemerintah akan tetap mengirimkan puluhan tim rukyat ke seantero negeri? Apakah itu bukan pekerjaan yang hanya akan menghabiskan anggaran, yakni ingin membuktikan hilal Ramadan yang jelas-jelas tidak akan kelihatan, karena itu memang bukan hilal Ramadan?

Akhir Syakban baru akan terjadi pukul 21.05 WIB (Selasa, tadi malam). Mestinya hilal Ramadan baru diamati setelah itu. Tentu saja hilal tidak bisa diamati pada malam hari itu juga. Tapi harus menunggu datangnya magrib besoknya, Rabu. Akan tetapi, jika itu dilakukan, akan muncul masalah baru, yakni penggenapan bulan Syakban menjadi lebih dari 30 hari jika hilal tertutup awan. Dan puasa Ramadan tidak akan dimulai Kamis (18/6), tapi menjadi Jumat (19/6).

Itulah sebabnya, pemerintah memilih hari Selasa (29 Syakban) untuk melakukan sidang isbat meskipun Syakban belum berakhir. Konsekuensinya, isbat Ramadan tidak lagi disandarkan pada kriteria rukyat. Namun lebih pada kriteria hisab imkanur rukyat MABIMS yang mensyaratkan ketinggian hilal lebih dari 2 derajat.

Sesungguhnyalah, meskipun dinamai ”rukyat”, metode imkanur rukyat tidak mewajibkan kegiatan rukyat. Kriteria yang disepakati Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura itu lebih berasas pada hisab dengan batas ketinggian 2 derajat –terlihat ataupun tidak terlihat. Karena itu, pada tahun ini, meskipun rukyat tidak mungkin menghasilkan hilal awal Ramadan pada Selasa saat magrib, pemerintah sudah akan menetapkan awal Ramadan dimulai pada Kamis, 18 Juni 2015.

Alasan yang sesungguhnya, pada Rabu hari ini hilal sudah berketinggian 10 derajat di atas horizon. Alias sudah memenuhi syarat > 2 derajat yang disepakati MABIMS. Namun, alasan formal terkait rukyat adalah: hilal Ramadan 1436 H (memang) tidak terlihat saat magrib. Sehingga bulan Syakban harus digenapkan menjadi 30 hari. Yakni menambahkan hari Rabu sebagai hari ke-30-nya. Sehingga awal Ramadan jatuh pada Kamis besok.

Demi kebersamaan awal Ramadan tahun ini, pemerintah telah mengambil kebijaksanaan yang menabrak pakem dan kelaziman. Tentu saja kita menghargai ”terobosan tersebut”. Akan tetapi, kita akan memberikan apresiasi yang lebih besar jika di masa mendatang pemerintah menemukan cara yang ”lebih tidak kontroversial” secara akademik. Sehingga solusinya tidak bersifat instan, tapi lebih permanen. Bukankah ilmu astronomi telah memberikan solusi yang sedemikian solid sehingga gerhana matahari total 9 Maret 2016 pun sudah bisa dihitung sampai ke menit dan detik-detiknya? Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar