Isbat sebelum Ijtimak
Agus Mustofa ; Inisiator
astrofotografi Indonesia;
Penulis
buku “Mengintip Bulan Sabit sebelum Magrib“
|
JAWA POS, 17 Juni 2015
PERMULAAN Ramadan 1436 H kali ini ditandai
dengan peristiwa unik, yakni sidang isbat sebelum habis bulan Syakban. Alias
sebelum ijtimak. Tentu itu menjadi peristiwa yang patut dicatat dalam sejarah
penetapan awal Ramadan di Indonesia, yang selama ini cenderung mengambil
jalan ”rukyat setelah ijtimak”.
Biasanya sidang isbat selalu menunggu habisnya
bulan Syakban, yang terjadi sebelum magrib. Tetapi, tahun ini ijtimak sebagai
penanda habisnya bulan Syakban itu ternyata terjadi Selasa malam, 16 Juni
2015, pukul 21.05 WIB. Sehingga, menurut kriteria di atas, semestinya
pemerintah menyelenggarakan sidang isbat Rabu, 17 Juni 2015, setelah magrib.
Namun, menurut berita Jawa Pos (Selasa, 16/6), sidang isbat digelar Selasa
sore, setelah magrib. Ini sangat menarik.
Perlu dipahami kembali, sidang isbat adalah
sidang penetapan datangnya bulan Ramadan. Di Indonesia, penetapan itu selalu
dilakukan sesudah magrib setelah para petugas rukyat yang disebar di seluruh
Indonesia memastikan hilal terlihat ataukah tidak. Dan tentu saja pengamatan
hilal Ramadan selalu dilakukan ketika bulan Syakban sudah dinyatakan berakhir.
Syaratnya: hilal masih di atas horizon saat matahari tenggelam.
Meskipun setiap metode mensyaratkan ketinggian
hilal berbeda-beda, hampir semuanya ”sepakat dalam perbedaan” bahwa hilal
awal bulan harus di atas horizon. Wujudul hilal mensyaratkan lebih dari
(>) 0 derajat, imkanur rukyat MABIMS > 2 derajat, imkanur rukyat Lapan
> 4 derajat, dan Danjon > 7 derajat. Kecuali metode astrofotografi yang
menggunakan kriteria ”hilal sebelum magrib”, tanpa mensyaratkan horizon.
Yang menarik, kali ini pemerintah menggelar
sidang isbat justru sebelum bulan Syakban berakhir. Sehingga memunculkan
sejumlah pertanyaan: lantas apakah yang akan dijadikan dasar penetapan
datangnya Ramadan? Bukankah saat magrib hilal pasti tidak akan kelihatan di
horizon? Bukankah bulan sabit tipis yang ”diburu” itu memang bukan hilal
Ramadan? Dan apakah pemerintah akan tetap mengirimkan puluhan tim rukyat ke
seantero negeri? Apakah itu bukan pekerjaan yang hanya akan menghabiskan
anggaran, yakni ingin membuktikan hilal Ramadan yang jelas-jelas tidak akan
kelihatan, karena itu memang bukan hilal Ramadan?
Akhir Syakban baru akan terjadi pukul 21.05
WIB (Selasa, tadi malam). Mestinya hilal Ramadan baru diamati setelah itu.
Tentu saja hilal tidak bisa diamati pada malam hari itu juga. Tapi harus
menunggu datangnya magrib besoknya, Rabu. Akan tetapi, jika itu dilakukan,
akan muncul masalah baru, yakni penggenapan bulan Syakban menjadi lebih dari
30 hari jika hilal tertutup awan. Dan puasa Ramadan tidak akan dimulai Kamis
(18/6), tapi menjadi Jumat (19/6).
Itulah sebabnya, pemerintah memilih hari
Selasa (29 Syakban) untuk melakukan sidang isbat meskipun Syakban belum
berakhir. Konsekuensinya, isbat Ramadan tidak lagi disandarkan pada kriteria
rukyat. Namun lebih pada kriteria hisab imkanur rukyat MABIMS yang
mensyaratkan ketinggian hilal lebih dari 2 derajat.
Sesungguhnyalah, meskipun dinamai ”rukyat”,
metode imkanur rukyat tidak mewajibkan kegiatan rukyat. Kriteria yang
disepakati Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura itu lebih berasas pada
hisab dengan batas ketinggian 2 derajat –terlihat ataupun tidak terlihat.
Karena itu, pada tahun ini, meskipun rukyat tidak mungkin menghasilkan hilal
awal Ramadan pada Selasa saat magrib, pemerintah sudah akan menetapkan awal
Ramadan dimulai pada Kamis, 18 Juni 2015.
Alasan yang sesungguhnya, pada Rabu hari ini
hilal sudah berketinggian 10 derajat di atas horizon. Alias sudah memenuhi
syarat > 2 derajat yang disepakati MABIMS. Namun, alasan formal terkait
rukyat adalah: hilal Ramadan 1436 H (memang) tidak terlihat saat magrib.
Sehingga bulan Syakban harus digenapkan menjadi 30 hari. Yakni menambahkan
hari Rabu sebagai hari ke-30-nya. Sehingga awal Ramadan jatuh pada Kamis
besok.
Demi kebersamaan awal Ramadan tahun ini,
pemerintah telah mengambil kebijaksanaan yang menabrak pakem dan kelaziman.
Tentu saja kita menghargai ”terobosan tersebut”. Akan tetapi, kita akan
memberikan apresiasi yang lebih besar jika di masa mendatang pemerintah
menemukan cara yang ”lebih tidak kontroversial” secara akademik. Sehingga solusinya
tidak bersifat instan, tapi lebih permanen. Bukankah ilmu astronomi telah
memberikan solusi yang sedemikian solid sehingga gerhana matahari total 9
Maret 2016 pun sudah bisa dihitung sampai ke menit dan detik-detiknya? Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar