Gagasan
Alur Laut Komunikasi ASEAN
René L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 01 Juni 2015
Apa yang harus
dilakukan Asia ketika pasifisme unilateral, saling ketergantungan ekonomi,
serta lembaga atau norma dan nilai hukum internasional tidak dapat menjamin
perdamaian? Pertanyaan ini diajukan ketika keseluruhan struktur geopolitik
Asia diobrak-abrik tidak beraturan, menghasilkan perilaku agresif Tiongkok
yang keras kepala, berhadapan dengan negara-negara besar di kawasan Asia
Tenggara.
Tiongkok memang negara
besar kesepian (lonely superpower). Di tengah konsep pembentukan bank
pembangunan multilateral seperti Bank Pembangunan Investasi Asia (AIIB)
maupun Bank Pembangunan Baru (NDB) bentukan negara-negara BRICS (Brasil,
Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan), hadir permainan hegemoni atas
nama ketidakadilan dan ketidaksetaraan global membangun tatanan ekonomi baru.
Penguasaan saham
mayoritas atas kedua bank tersebut jelas mengindikasikan kolonialisme jenis
baru, berbeda dengan kemunculannya pada abad ke-18. Dan di tengah
ketergantungan ekonomi dan perbedaan persepsi atas nilai dan norma hukum
internasional menyangkut tumpang tindih kedaulatan di kawasan Laut Tiongkok
Selatan, kesalahpahaman di tengah tidak adanya kepercayaan strategis akan
memicu konflik terbuka membahayakan perdamaian dan stabilitas kawasan.
Bagi Indonesia,
ancaman di bidang ekonomi dan keamanan akibat ulah Tiongkok menihilkan kohesi
ASEAN, defisit perdagangan yang terus meningkat, serta pembuntuan upaya
menyelesaikan tata kelola (code of conduct) di Laut Tiongkok Selatan, menjadi
tidak kondusif membangun konsep Poros Maritim Dunia (PMD). Dalam bidang
ekonomi, kehadiran AIIB berhasil memicu Jepang menggelontorkan dana lebih
besar, mencapai 110 miliar dollar AS bagi pembangunan infrastruktur
berkualitas di Asia.
Artinya, Tiongkok
bukan lender of last resort yang hanya menjanjikan sama rasa sama rata.
Pilihan dana pembangunan infrastruktur akan tersedia luas, karena kepentingan
geopolitik negara-negara besar akan ikut memacu kerja sama ekonomi dan
keuangan yang lebih luas, sebagai upaya mempertahankan perdamaian dan
stabilitas bagi kesinambungan Asia.
Banyak dana
bermunculan ketika para menteri pertahanan dunia mengajukan berbagai gagasan
di acara tahunan Shangri-La Dialogue 2015 di Singapura, yang diselenggarakan
International Institute for Strategic Studies (IISS). Banyak negara mengecam
Tiongkok karena perilaku asertif membangun "pulau-pulau palsu" di
Laut Tiongkok Selatan.
Berbagai gagasan
bermunculan. Dari Taiwan, Presiden Ma Ying-jeou mengajukan Inisiatif
Perdamaian Laut Tiongkok Selatan. Menhan Amerika Serikat Ashton Carter
mengajukan Inisiatif Keamanan Maritim Asia Tenggara dengan dukungan dana 425
juta dollar AS. Menhan RI Ryamizard Ryacudu mengusulkan "patroli
perdamaian" untuk mengurangi ketegangan. Menhan Jepang Gen Nakatani
mengusulkan Shangri-La Dialogue Initiative memonitor kawasan Asia Tenggara.
Dalam konteks PMD,
kita menggagas pemikiran Alur Laut Komunikasi ASEAN (ASEAN Sea Lane of
Communications atau ASLOC), setara dengan ALKI (Alur Laut Komunikasi
Indonesia) di jalur laut kawasan Laut Tiongkok Selatan bagi penggunaan
navigasi internasional ketika semua negara bisa terbang, berlayar, dan
beroperasi sesuai dengan nilai dan norma hukum internasional, termasuk hukum
laut internasional.
Kita berharap, ASLOC
bisa menjadi landasan strategis buat ASEAN dan Indonesia mengembangkan
elemen-elemen poros maritim secara strategis mengimbangi perilaku asertif
Tiongkok yang memicu model-model perjanjian pertahanan aliansi negara-negara
besar di dalam dan luar kawasan. Indonesia sebagai inisiator tata perilaku
Laut Tiongkok Selatan perlu mengambil gagasan baru, mencegah terbentuknya
pola hubungan bipolar AS-Tiongkok, sekaligus membangun kesetimbangan ekonomi,
keuangan, perdagangan, dan keamanan.
Dalam
dua tahun mendatang, kita tak ingin didikte Tiongkok dengan AIIB atau NDB,
apalagi menghadapi potensi kesempatan investor RRT dengan dana masif. Jika 1
juta orang kaya di RRT masing-masing menginvestasikan dana sebesar 1 juta
dollar AS di Asia Tenggara, jumlahnya sudah mencapai 1 triliun dollar AS.
Poros Maritim Dunia harus menjadi modalitas diplomasi RI dalam menjaga
kesetimbangan dinamis bagi kesinambungan perdamaian dan stabilitas kawasan
Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar