Eskalasi
Harga Pangan
Cermin
Kebijakan Ekonomi Makro
Bustanul Arifin ; Guru Besar Universitas Lampung;
Ekonom senior Indef; Ketua Pokja Ahli Dewan
Ketahanan Pangan
|
MEDIA INDONESIA, 08 Juni 2015
ESKALASI harga pangan menjelang Ramadan bukanlah
fenomena baru. Selain karena hari-hari besar seperti Idul Fitri, Idul Adha,
Natal, tahun baru, dan lain-lain, siklus tahunan harga-harga pangan selalu
mengalami peningkatan pada musim tanam dan pada musim kemarau. Peningkatan
ini ialah konsekuensi logis dari kecenderungan tingginya permintaan, karena
setiap rumah tangga berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh
anggota keluarganya.
Pada awal Juni, Badan Pusat Statistik (BPS)
telah melaporkan laju inflasi Mei sebesar 0,5% dan itu suatu rekor tertinggi
selama 6 tahun terakhir, terutama didorong oleh kenaikan harga seluruh
kelompok pengeluaran. Kelompok bahan makanan berkontribusi sangat besar,
yaitu 1,39%, kelompok makanan jadi 0,5%, kelompok kesehatan 0,34%, kelompok
sandang 0,23%, dan lain-lain. Laju inflasi di Kota Palu (Sulawesi Tengah)
mencatat rekor tertinggi, yaitu 2,24% yang sekaligus merefleksikan suatu
daerah yang tergantung pada pasokan pangan dari daerah lain. Sistem logistik,
kualitas sarana dan prasarana transportasi, dan persoalan sistem produksi di
dalam daerah sendiri telah menjadi faktor penjelas (explanatory variables) dari tingginya harga-harga komoditas
pangan.
Ketika media massa melaporkan kenaikan harga
bawang merah di Palu dari Rp20 ribu per kilogram (kg) menjadi Rp45 ribu per
kg (Media Indonesia, 5/6), sebagian pejabat tidak terlalu terkejut, tapi
sebagian kecil seakan terkaget-kaget, sambil mencoba mencari tahu tentang
sistem tata niaga komoditas pangan. Bawang merah dan cabai merah seakan
menjadi primadona untuk dipantau secara sistematis karena eskalasi kenaikan
harganya terjadi amat fenomenal.
Harga bawang merah dan cabai merah di Jambi
naik 21% dan 63%, di Langkat naik 20% dan 25%, di Bukittinggi naik 7% dan
sebagainya. ‘Untungnya’, menjelang Ramadan ini harga beras, gula pasir,
daging dan telur ayam masih meningkat dengan laju yang masuk akal, paling
tinggi tidak lebih dari 7%. Namun bukan berarti, bahwa dalam satu-dua minggu
mendatang, harga-harga kebutuhan pokok tersebut tidak akan naik. Berbagai
kemungkinan masih dapat terjadi sesuai dengan dinamika pasar dan kinerja
kebijakan ekonomi makro Indonesia.
Ada ekspektasi
Di dalam ilmu ekonomi, peningkatan harga juga
dipicu oleh ekspektasi positif tentang kemungkinan terjadinya kenaikan harga
pangan. Setiap individu konsumen dan pedagang bahkan merasa perlu untuk
mengamankan permintaan dan pemenuhan pasokan masing-masing. Tanpa aksi borong
atau langkah spekulatif lainnya, akumulasi dari ekspektasi positif itulah
secara bersama-sama ikut menaikkan harga pangan. Apalagi memang terbukti
terhadap aksi spekulatif yang hanya mementingkan diri sendiri, masa depan
bisnisnya, dan bahkan jaringan kecil yang mereka kuasai. Fenomena sebaliknya
juga dapat dijumpai pada proses menurun atau anjloknya harga pangan walaupun
dengan sekuensi proses yang tidak sama dan cenderung lebih tiba-tiba.
Harga-harga pangan mengalami penurunan pada musim panen, terutama didorong
oleh ketersediaan stok di dalam negeri yang cukup besar.
Kebijakan ekonomi makro setidaknya terdiri
dari kebijakan harga makro dan kebijakan anggaran. Kebijakan harga makro
dapat berupa kebijakan nilai tukar, kebijakan suku bunga dan bahkan kebijakan
upah, yang secara mudah dapat dipantau dan dievaluasi salah satunya melalui
kinerja laju inflaisi. Kebijakan anggaran yang menaungi sekian macam program
pangan, baik kepada petani produsen, maupun konsumen, atau yang terangkum
dalam kebijakan pangan, produksi, perdagangan, konsumsi, stabilisasi, yang
juga dapat dipantau melalui kinerja laju inflasi. Kinerja dari pemerintahan Kabinet Kerja sekarang ini tampak
lebih serius dalam upaya pengendalian laju inflasi, apalagi driver utamanya adalah volatilitas
harga pangan, harga-harga yang teradministrasi, dan inflasi inti itu sendiri.
Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa eskalasi harga pangan juga
merupakan cermin dari kinerja kebijakan ekonomi makro Indonesia.
Kinerja birokrasi
Secara sederhana, masyarakat produsen,
konsumen, dan pedagang sebenarnya telah cukup paham tentang siklus tahunan
harga pangan. Pemerintah pun seharusnya paham tentang fenomena eskalasi dan
penurunan harga pangan dan komoditas pertanian lain, terutama mereka yang
bertanggung jawab langsung pada perumusan dan implementasi serangkaian
kebijakan ekonomi. Masyarakat luas tentu bertanya-tanya tentang kinerja
birokrasi pemerintahan apabila tugas pokok mendasar yang menjadi menu
pekerjaan sehari-hari tersebut tidak dapat dijalankannya secara konsisten.
Pertanyaan dari masyarakat masih terkesan
wajar karena pemerintah pernah berencana dan telah membahas skema kebijakan pengendalian
harga pangan melalui suatu rancangan peraturan presiden (perpres). Pembahasan
yang masih dalam tahap awal tersebut sepertinya masih cukup jauh untuk
terealisasi karena peraturan perundangan atau aransemen kelembagaan yang
diacu masih ambigu, antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang
Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Apabila
dipaksakan dalam waktu dekat, justru rancangan perpres tersebut dapat menjadi
salah satu kartu mati (back fire)
kebijakan stabilisasi harga pangan karena kelembagaan atau organisasi yang
melingkupinya masih tidak terlalu kuat.
Indonesia memerlukan kelembagaan pangan yang
amat kuat untuk mampu menjalankan misi besar kedaulatan pangan Presiden Joko
Widodo dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, sebagaimana tercantum dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019. Kelembagaan pangan
tersebut adalah amanat eksplisit dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan, khususnya Pasal 126-129, yang kelak menjadi jangkar dan induk
dari Perum Bulog dan sekian badan usaha milik negara (BUMN) pangan lainnya.
Idealnya, kelembagaan ini berfungsi melakukan perumusan dan penyusunan
kebijakan di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi dan keamanan
pangan serta penanganan kerawanan pangan dan gizi. Kelembagaan pangan ini
juga melakukan strategi pengembangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian
di bidang ketersediaan, distribusi, harga, konsumsi dan keamanan pangan serta
penanganan kerawanan pangan dan gizi.
Ketegasan dan
stabilitas
Apakah rencana penggantian Di rektur Utama dan
Direktur Pelayan Publik Bulog berhubungan dengan fenomena eskalasi harga
pangan ini? Mungkin tidak langsung. Roda ekonomi pangan dan dinamika
kebijakan ekonomi makro masih akan terus berputar. Penggantian personel tidak
akan begitu saja langsung memperbaiki kinerja stabilitas harga pangan atau
meningkatkan jumlah cadangan pangan yang dikelola negara. Sekian faktor lain
masih harus direformasi dan diperbaiki secara konsisten dan sistematis.
Pertama, sistem produksi pangan wajib
diperbaiki dan dimodernisasi, tanpa harus meng gusur petani kecil dari sistem
ekonomi pangan, sebagaimana perannya selama ini. Konsolidasi lahan, perubahan
teknologi, pengembangan inovasi baru adalah sekian contoh dari upaya
modernisasi sistem produksi pangan dan produk pertanian lainnya. Solusi
seperti ini memang tidak dapat diselesaikan secara jangka pendek karena
sifatnya sangat struktural dan berhubungan dengan keseriusan negara dalam
melakukan pemihakan dan pendampingan pada petani di seluruh Indonesia.
Kedua, manajemen pasokan dan operasi pasar
(OP) pangan pokok, utamanya beras, memerlukan ketegasan sekaligus
fleksibilitas, yang dapat meningkatkan wibawa negara dalam mengelola cadangan
pangan. Negara tidak boleh kalah wibawa dengan spekulan harga pangan yang
hanya mengejar rente ekonomi dan keuntungan sesaat. Kebijakan stabilisasi
harga pangan wajib menjadi acuan bagi pelaku usaha ekonomi untuk bertindak
sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya.
Ketiga, rasa saling percaya di antara pejabat
pemerintah, di pusat dan di daerah, serta di antara pelaku ekonomi,
perdagangan dan masyarakat perlu senantiasa dibangun dan dikembangkan.
Masyarakat tentu lelah membaca kontroversi pernyataan para pejabat negara dan
dikhawatirkan menimbulkan peluang spekulasi baru, yang justru tidak kondusif
bagi upa ya stabilisasi harga pangan secara umum. Aparat penegak hukum tidak
perlu ragu untuk menindak tegas bagi siapa pun yang bermain-main dengan
stabilitas harga pangan yang dapat meresahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar