Selasa, 09 Juni 2015

Pangan Politis dan Kekuasaan

Pangan Politis dan Kekuasaan

Umbu TW Pariangu  ;  Dosen Fisip Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 06 Juni 2015

                                                                                                                                     
                                                

HARIAN Media Indonesia dalam bebe rapa pekan ini kerap mengingatkan pemerintah tentang pentingnya menjaga pasokan pangan demi memperkuat stabilitas politik dan kepercayaan publik, seperti bunyi Editorial Media Indonesia, Jumat (5/6) yang berjudul `Jangan Sepelekan Harga Pangan'.

Beberapa waktu lalu, rakyat juga sempat dihebohkan isu beras plastik. Meski uji sampel beras plastik oleh Puslabfor Polri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, BPOM, dan BPPT hasilnya negatif, pendirian PT Sucofindo tidak berubah lewat hasil uji sampelnya bahwa beras yang ditemukan Dewi Septiani mengandung polyvinyl chlorida (bahan dasar pipa paralon).

Menurut pihak Polri, laboratorium Sucofindo terkontaminasi unsur plastik sehingga hasil ujinya berbeda dengan uji laboratorium pemerintah. Padahal, PT Sucofindo merupakan perusahaan BUMN inspeksi pertama di Indonesia yang tak diragukan kompetensinya. Sebesar 95% saham perusahaan yang usianya mendekati 60 tahun itu dikuasai negara dan 5% oleh Societe Generale de Surveillance Holding SA (SGS). Karena kredibilitasnya, sangat banyak perusahaan nasional dan multinasional yang menjadi kliennya.

Tidak bijak

Apalagi, jenis beras yang sama juga ditemukan di Bekasi, Bogor, Gunungkidul (Yogyakarta), Kendari (Sulawesi Tenggara), Kutai Barat (Kalimantan Timur). Sampai kini, tak pernah dijelaskan ke publik alasan argumentatif penyebab perbedaan uji sampel beras tersebut. Untuk antisipasi, aparat kepolisian mestinya bersikap lebih jauh, termasuk mengusut dalang penyebar beras yang diduga palsu. Sebab, menurut aturan hukum pidana, pengedar beras plastik bisa dijerat dengan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Beras plastik sebenarnya bukan milik Indonesia dan baru kali ini beredar. Di Hong Kong, beras sejenis beredar luas dan membikin heboh pada 2012 dengan bahan campuran kentang, ubi jalar, dan resin sintetis industri yang dapat merusak ginjal manusia. Awalnya, beras tersebut dijual bebas di Kota Taiyuan, Provinsi Shaanxi, Tiongkok. Menurut kajian dari kesehatan pangan setempat, memakan tiga mangkuk nasi palsu tersebut sama dengan memakan satu kantong plastik (Asianews.it, 9/4/2012). Karena itu, para pengedar beras palsu harus diganjar dengan hukuman berat.

Pada 1950, di zaman kepemimpinan Soekarno, sempat juga beredar `beras atom', yang wujudnya sama dengan beras plastik. Beras impor itu dibagi ke masyarakat untuk mengatasi kelaparan dengan jatah 2 kg per keluarga miskin. Baru pada 1960-an beras atom hilang dari peredaran seiring dengan lengsernya Soekarno.

Kita sepakat pengedar beras plastik harus dipenjarakan. Arahan presiden dan wakil presiden, yakni tidak membesar-besarkan berita beras plastik, merupakan respons persuasif yang bagus. Namun, Menteri Perdagangan tak perlu menyalahkan masyarakat atau pedagang yang tidak meneliti dari mana asal beras itu sebelum mengonsumsinya karena hal itu dirasa berlebihan.

Pemerintah memiliki otoritas penuh mengawasi jalur distribusi perdagangan, termasuk menjamin kualitas dan keamanan konsumsi beras di masyarakat. Secara politis, manajemen perberasan merupakan urusan perut rakyat yang harus diurus serius pemerintah. Keinginan swasembada demi ketahanan dan kedaulatan pangan khususnya beras pada 2016 lewat penambahan dana alokasi khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp4 triliun dan komitmen menutup pintu impor beras harus disertai perangkat hukum dan pengawasan yang kuat agar pergerakan mafia pangan dapat diredam.

Ancaman

Spekulasi adanya motif nonekonomi di balik peredaran beras plastik perlu menjadi refleksi pemerintah bahwa urusan kebutuhan pokok masyarakat sangat sensitif dijadikan komoditas sekaligus pesan kepentingan partikular para pemburu rente untuk menyabotase pendistribusian hak dan kebutuhan pangan rakyat. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengendalikan operasi dan distribusi pangan yang layak bisa melahirkan krisis kepercayaan publik.

Kita masih ingat seriusnya Soekarno pada 1950-an terhadap isu ketersediaan makanan bagi rakyat sehingga di jajaran kabinetnya pada waktu itu ada pos khusus untuk Menteri Persediaan Makanan Rakyat yang dijabat oleh IJ Kasimo. Ia pernah menerbitkan program rencana produksi pertanian lima tahun lewat aksi penyuluhan dan efisiensi sistem bertani yang sengaja dirancang untuk mencapai swasembada pangan. Namun, program itu gagal karena masalah pendidikan masyarakat yang masih rendah.

Pemerintah Soekarno tak patah arang. Ia meluncurkan program bimbingan massal (Bimas) lewat pendirian sentra padi dengan luas 50 hektare pada 1962. Ia pun menggalakkan sistem penyuluhan terpadu plus pemberian bantuan kredit kepada masyarakat yang dikembalikan dalam bentuk padi dengan melibatkan Badan penyuluhan, Perusahaan Negara Pertani, Bank Rakyat Indonesia, dan Badan Penyediaan Sarana Produksi Padi (Saprodi). Namun, program itu pun gagal. Di tengah krisis pangan yang hebat melanda masyarakat dan stabilitas politik yang juga kurang kondusif, pemerintahan Soekarno akhirnya dijatuhkan (Mubyarto, 2008).

Pemerintahan sekarang memang menghadapi situasi yang tak serumit era Soekarno. Saat ini, tingkat pendidikan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat sudah berubah. Namun, perlu diingat, tingkat daya beli rakyat menengah ke bawah yang masih minim dan kultur masyarakat yang menjadikan beras sebagai `makanan bergengsi' (Samantha 2012) yang masih terpelihara, bukan tak mungkin hal itu akan merepetisi kekecewaan publik sebagaimana era Orde Lama.

Karena itu, pemerintah mau tidak mau harus proaktif melaksanakan kebijakan penyelamatan pangan, antara lain dengan mengusut tuntas jalur-jalur tikus impor beras ilegal, termasuk siapa saja dalang pengedar beras plastik. Mereka yang terlibat dalam kejahatan pangan harus diberi hukuman semaksimal mungkin. 

Secara politik, langkah itu penting artinya sebagai bagian dari politik menyelamatkan muka pemerintah dan jalannya pemerintahan dari potensi ancaman krisis kepercayaan publik. Bukan justru dengan melempar pernyataan yang kerap membingungkan, yang membuat gaduh atau bahkan menyalahkan dan mengambinghitamkan rakyat.

Pangan, sebagaimana pidato Soekarno di Gedung Fakultas Pertanian UI, Bogor, pada 27 April 1952, ialah soal mati hidup rakyat, bangsa, dan tentu saja mati hidupnya politik pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar