Pangan
Politis dan Kekuasaan
Umbu TW Pariangu ; Dosen
Fisip Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Juni 2015
HARIAN Media Indonesia dalam bebe
rapa pekan ini kerap mengingatkan pemerintah tentang pentingnya menjaga
pasokan pangan demi memperkuat stabilitas politik dan kepercayaan publik,
seperti bunyi Editorial Media Indonesia, Jumat (5/6) yang berjudul `Jangan
Sepelekan Harga Pangan'.
Beberapa waktu lalu, rakyat juga
sempat dihebohkan isu beras plastik. Meski uji sampel beras plastik oleh
Puslabfor Polri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, BPOM, dan
BPPT hasilnya negatif, pendirian PT Sucofindo tidak berubah lewat hasil uji
sampelnya bahwa beras yang ditemukan Dewi Septiani mengandung polyvinyl
chlorida (bahan dasar pipa paralon).
Menurut pihak Polri, laboratorium
Sucofindo terkontaminasi unsur plastik sehingga hasil ujinya berbeda dengan
uji laboratorium pemerintah. Padahal, PT Sucofindo merupakan perusahaan BUMN
inspeksi pertama di Indonesia yang tak diragukan kompetensinya. Sebesar 95%
saham perusahaan yang usianya mendekati 60 tahun itu dikuasai negara dan 5%
oleh Societe Generale de Surveillance
Holding SA (SGS). Karena kredibilitasnya, sangat banyak perusahaan
nasional dan multinasional yang menjadi kliennya.
Tidak bijak
Apalagi, jenis beras yang sama
juga ditemukan di Bekasi, Bogor, Gunungkidul (Yogyakarta), Kendari (Sulawesi
Tenggara), Kutai Barat (Kalimantan Timur). Sampai kini, tak pernah dijelaskan
ke publik alasan argumentatif penyebab perbedaan uji sampel beras tersebut. Untuk
antisipasi, aparat kepolisian mestinya bersikap lebih jauh, termasuk mengusut
dalang penyebar beras yang diduga palsu. Sebab, menurut aturan hukum pidana,
pengedar beras plastik bisa dijerat dengan UU Darurat Nomor 7 Tahun 1955
tentang Pengusutan Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Beras plastik sebenarnya bukan
milik Indonesia dan baru kali ini beredar. Di Hong Kong, beras sejenis
beredar luas dan membikin heboh pada 2012 dengan bahan campuran kentang, ubi
jalar, dan resin sintetis industri yang dapat merusak ginjal manusia.
Awalnya, beras tersebut dijual bebas di Kota Taiyuan, Provinsi Shaanxi,
Tiongkok. Menurut kajian dari kesehatan pangan setempat, memakan tiga mangkuk
nasi palsu tersebut sama dengan memakan satu kantong plastik (Asianews.it, 9/4/2012). Karena itu,
para pengedar beras palsu harus diganjar dengan hukuman berat.
Pada 1950, di zaman kepemimpinan
Soekarno, sempat juga beredar `beras atom', yang wujudnya sama dengan beras
plastik. Beras impor itu dibagi ke masyarakat untuk mengatasi kelaparan
dengan jatah 2 kg per keluarga miskin. Baru pada 1960-an beras atom hilang
dari peredaran seiring dengan lengsernya Soekarno.
Kita sepakat pengedar beras
plastik harus dipenjarakan. Arahan presiden dan wakil presiden, yakni tidak
membesar-besarkan berita beras plastik, merupakan respons persuasif yang
bagus. Namun, Menteri Perdagangan tak perlu menyalahkan masyarakat atau
pedagang yang tidak meneliti dari mana asal beras itu sebelum mengonsumsinya
karena hal itu dirasa berlebihan.
Pemerintah memiliki otoritas penuh
mengawasi jalur distribusi perdagangan, termasuk menjamin kualitas dan
keamanan konsumsi beras di masyarakat. Secara politis, manajemen perberasan
merupakan urusan perut rakyat yang harus diurus serius pemerintah. Keinginan
swasembada demi ketahanan dan kedaulatan pangan khususnya beras pada 2016
lewat penambahan dana alokasi khusus (DAK) bidang pertanian sebesar Rp4
triliun dan komitmen menutup pintu impor beras harus disertai perangkat hukum
dan pengawasan yang kuat agar pergerakan mafia pangan dapat diredam.
Ancaman
Spekulasi adanya motif nonekonomi
di balik peredaran beras plastik perlu menjadi refleksi pemerintah bahwa
urusan kebutuhan pokok masyarakat sangat sensitif dijadikan komoditas
sekaligus pesan kepentingan partikular para pemburu rente untuk menyabotase
pendistribusian hak dan kebutuhan pangan rakyat. Dengan kata lain,
ketidakmampuan mengendalikan operasi dan distribusi pangan yang layak bisa
melahirkan krisis kepercayaan publik.
Kita masih ingat seriusnya Soekarno
pada 1950-an terhadap isu ketersediaan makanan bagi rakyat sehingga di
jajaran kabinetnya pada waktu itu ada pos khusus untuk Menteri Persediaan
Makanan Rakyat yang dijabat oleh IJ Kasimo. Ia pernah menerbitkan program
rencana produksi pertanian lima tahun lewat aksi penyuluhan dan efisiensi
sistem bertani yang sengaja dirancang untuk mencapai swasembada pangan.
Namun, program itu gagal karena masalah pendidikan masyarakat yang masih
rendah.
Pemerintah Soekarno tak patah
arang. Ia meluncurkan program bimbingan massal (Bimas) lewat pendirian sentra
padi dengan luas 50 hektare pada 1962. Ia pun menggalakkan sistem penyuluhan
terpadu plus pemberian bantuan kredit kepada masyarakat yang dikembalikan
dalam bentuk padi dengan melibatkan Badan penyuluhan, Perusahaan Negara
Pertani, Bank Rakyat Indonesia, dan Badan Penyediaan Sarana Produksi Padi
(Saprodi). Namun, program itu pun gagal. Di tengah krisis pangan yang hebat
melanda masyarakat dan stabilitas politik yang juga kurang kondusif,
pemerintahan Soekarno akhirnya dijatuhkan (Mubyarto, 2008).
Pemerintahan sekarang memang
menghadapi situasi yang tak serumit era Soekarno. Saat ini, tingkat
pendidikan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat sudah berubah. Namun, perlu
diingat, tingkat daya beli rakyat menengah ke bawah yang masih minim dan
kultur masyarakat yang menjadikan beras sebagai `makanan bergengsi' (Samantha 2012) yang masih terpelihara,
bukan tak mungkin hal itu akan merepetisi kekecewaan publik sebagaimana era
Orde Lama.
Karena itu, pemerintah mau tidak
mau harus proaktif melaksanakan kebijakan penyelamatan pangan, antara lain
dengan mengusut tuntas jalur-jalur tikus impor beras ilegal, termasuk siapa
saja dalang pengedar beras plastik. Mereka yang terlibat dalam kejahatan
pangan harus diberi hukuman semaksimal mungkin.
Secara politik, langkah itu
penting artinya sebagai bagian dari politik menyelamatkan muka pemerintah dan
jalannya pemerintahan dari potensi ancaman krisis kepercayaan publik. Bukan
justru dengan melempar pernyataan yang kerap membingungkan, yang membuat
gaduh atau bahkan menyalahkan dan mengambinghitamkan rakyat.
Pangan, sebagaimana pidato
Soekarno di Gedung Fakultas Pertanian UI, Bogor, pada 27 April 1952, ialah
soal mati hidup rakyat, bangsa, dan tentu saja mati hidupnya politik
pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar