Sabtu, 20 Juni 2015

Empati Media atas Korban Kejahatan

Empati Media atas Korban Kejahatan

Agus Sudibyo  ;  Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
KOMPAS, 18 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menyatakan, "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan".

Banyak media telah mengabaikan pasal ini dalam memberitakan anak perempuan yang menjadi korban pembunuhan dan pemerkosaan di Pulau Dewata sebagaimana ramai diperbincangkan publik belakangan. Hampir semua media secara eksplisit menyebutkan nama si anak, tidak sedikit media dengan gamblang  menayangkan fotonya.

Jika etika jurnalistik di atas dilaksanakan secara konsekuen, bahkan penyebutan inisial pun harus dihindari, demikian juga dengan penyebutan nama orangtua atau sekolah. Namun, demikianlah faktanya. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik itu dalam praktiknya begitu sering diabaikan pers Indonesia. Bahkan, beberapa pihak mengusulkan agar pasal ini direvisi saja karena kenyataannya tidak efektif untuk melindungi identitas korban kejahatan susila dan anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Banyak media atau wartawan tampaknya berpikir, jika identitas si korban sudah telanjur terungkap dan diketahui khalayak, untuk apalagi ditutup-tutupi? Jika media lain telanjur menyebut identitas korban, mengapa suatu media tidak melakukan hal yang sama? Jika korban sudah meninggal dan tidak punya masa depan lagi, masih perlukah  disembunyikan identitasnya?

Moralitas jurnalistik

Pertama-tama perlu ditegaskan, etika jurnalistik sesungguhnya berurusan dengan sikap moral individu wartawan atau institusi media. Obyek penegakan etika jurnalistik bukan pers secara umum, melainkan setiap wartawan dan setiap institusi media. Etika jurnalistik mengandaikan proses personalisasi dan internalisasi norma-norma moral pada diri setiap wartawan atau setiap media sehingga bertindak secara etis kemudian jadi urusan personal wartawan atau media masing-masing. Diandaikan seorang wartawan akan berusaha menaati Kode Etik Jurnalistik tanpa peduli apakah wartawan lain melakukan hal yang sama atau tidak. Setiap media juga akan berusaha menjaga moralitasnya sendiri tanpa terlalu memperhatikan moralitas media lain.

Dengan kata lain, moralitas jurnalistik tidak ditentukan oleh seberapa banyak wartawan atau media yang menerapkan moralitas itu atau sebaliknya. Moralitas jurnalistik ditentukan oleh kriteria-kriteria tentang kerja jurnalistik yang layak dan baik sebagaimana tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik yang bersifat universal dan  berlaku sama di semua tempat.

Memang ada beberapa etika jurnalistik yang bersifat kondisional, penerapannya dapat disesuaikan perkembangan situasi. Namun, kewajiban melindungi perasaan traumatik korban atau meringankan beban penderitaan korban adalah jenis etika jurnalistik yang harus didahulukan wartawan atau media dalam kondisi apa pun.

Solidaritas, empati, dan kepekaan sosial harus mendasari setiap bentuk ruang publik, tanpa terkecuali ruang publik media.  Perlu digarisbawahi, pengertian korban di sini bukan hanya mereka yang jadi obyek langsung kekerasan, tetapi juga keluarga, orang-orang sekitar, juga masyarakat yang mengalami trauma atas kekerasan yang terjadi. Oleh karena itu, fakta bahwa korban telah meninggal bukanlah alasan yang memadai bagi media untuk membuka identitas korban atau keluarganya.

Etika jurnalisme atau etika media dalam praktiknya memang berjalan dinamis. Banyak standar etis yang dulu dipegang teguh pelaku media, belakangan semakin longgar penerapannya. Di masa lalu, pemuatan "iklan jaket" di halaman muka media cetak dianggap sebagai sesuatu yang kurang etis dan kurang menghargai hak-hak pembaca. Namun, saat ini, banyak media melakukan pemuatan "iklan jaket" ini. Praktik semacam ini seperti menemukan pembenarannya karena kenyataannya tidak ada reaksi kritis yang signifikan sebagaimana lazim terjadi pada masa lalu.

Elastisitas etika media

Di suatu era, banyak media dengan ketat menolak fasilitas untuk wartawan yang mengikuti  kunjungan ke luar negeri atau ke lokasi perusahaan yang disediakan instansi pemerintah atau perusahaan. Namun, pada era lain, mayoritas media mengizinkan wartawannya menerima fasilitas tersebut dengan batasan atau syarat yang semakin longgar. Semakin jarang terdengar perusahaan media membiayai sendiri wartawannya yang mengikuti muhibah Presiden ke luar negeri atau media visit perusahaan-perusahaan pertambangan.

Kembali pada kasus di atas, pers Indonesia kini juga dihadapkan pada perkembangan baru yang mengondisikan praktik jurnalistik yang mengabaikan perlindungan atas identitas korban kejahatan susila dan pelaku kekerasan di bawah umur.

Perkembangan yang dimaksud adalah terpaan jurnalisme media online dan diskusi media sosial dengan beberapa cirinya: hiperaktualitas, interaktivitas serta kemustahilan menghapus apa yang sudah telanjur tersebar dan kesulitan untuk meramalkan arah suatu diskusi.

Jika identitas korban kejahatan susila telanjur dibuka di ruang diskusi media sosial, media online pun segera terpancing untuk membuka identitas tersebut. Jika media sosial dan media online sudah membuka identitas tersebut, media cetak atau media televisi seperti kehilangan alasan untuk tidak melakukan hal yang sama. Maka, sulit sekali untuk menahan atau menghapus informasi dan data yang telanjur tersebar di media sosial dan media online.

Di satu sisi, hal ini bermakna positif karena informasi begitu mudah diakses masyarakat. Masyarakat mendapatkan informasi yang melimpah dan aktual tentang suatu masalah sekaligus dapat menyampaikan pendapatnya. Namun, di sisi lain, keterbukaan yang berlebihan juga dapat menggerus rasa kemanusiaan dan empati kita terhadap mereka yang sedang kesusahan. Kita menjadi lebih mementingkan rasa penasaran publik, tanpa memperhatikan betul perasaan dan nasib sedikit orang yang menjadi obyek rasa penasaran itu. Kita menjadi lebih mementingkan kontribusi positif pemberitaan terhadap hak masyarakat atas informasi tanpa memperhatikan benar apakah pemberitaan itu telah dilaksanakan secara etis dan proporsional.

Etika media dalam perjalanannya memang tidak pernah terwujud sepenuhnya. Penghormatan praktisi media terhadap etika media selalu mengalami pasang surut. Namun, pasang surut ini sebenarnya justru menunjukkan ada yang perlu senantiasa dievaluasi dalam praktik bermedia kita terkait dengan persoalan profesionalisme dan tanggung jawab sosial. Fungsi media tidak sekadar menyebarluaskan informasi, tetapi juga mencerdaskan dan memberadabkan masyarakat. Oleh karena itu, standar-standar etis sesungguhnya menjadi kebutuhan yang tak lekang oleh perubahan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar