Empati Media atas Korban Kejahatan
Agus Sudibyo ; Direktur
Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS, 18 Juni 2015
Pasal 5 Kode Etik
Jurnalistik menyatakan, "Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan
menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas
anak yang menjadi pelaku kejahatan".
Banyak media telah
mengabaikan pasal ini dalam memberitakan anak perempuan yang menjadi korban
pembunuhan dan pemerkosaan di Pulau Dewata sebagaimana ramai diperbincangkan
publik belakangan. Hampir semua media secara eksplisit menyebutkan nama si
anak, tidak sedikit media dengan gamblang
menayangkan fotonya.
Jika etika jurnalistik
di atas dilaksanakan secara konsekuen, bahkan penyebutan inisial pun harus
dihindari, demikian juga dengan penyebutan nama orangtua atau sekolah. Namun,
demikianlah faktanya. Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik itu dalam praktiknya
begitu sering diabaikan pers Indonesia. Bahkan, beberapa pihak mengusulkan
agar pasal ini direvisi saja karena kenyataannya tidak efektif untuk
melindungi identitas korban kejahatan susila dan anak-anak yang menjadi
pelaku kejahatan.
Banyak media atau
wartawan tampaknya berpikir, jika identitas si korban sudah telanjur
terungkap dan diketahui khalayak, untuk apalagi ditutup-tutupi? Jika media lain
telanjur menyebut identitas korban, mengapa suatu media tidak melakukan hal
yang sama? Jika korban sudah meninggal dan tidak punya masa depan lagi, masih
perlukah disembunyikan identitasnya?
Moralitas jurnalistik
Pertama-tama perlu
ditegaskan, etika jurnalistik sesungguhnya berurusan dengan sikap moral
individu wartawan atau institusi media. Obyek penegakan etika jurnalistik
bukan pers secara umum, melainkan setiap wartawan dan setiap institusi media.
Etika jurnalistik mengandaikan proses personalisasi dan internalisasi
norma-norma moral pada diri setiap wartawan atau setiap media sehingga
bertindak secara etis kemudian jadi urusan personal wartawan atau media
masing-masing. Diandaikan seorang wartawan akan berusaha menaati Kode Etik
Jurnalistik tanpa peduli apakah wartawan lain melakukan hal yang sama atau
tidak. Setiap media juga akan berusaha menjaga moralitasnya sendiri tanpa
terlalu memperhatikan moralitas media lain.
Dengan kata lain,
moralitas jurnalistik tidak ditentukan oleh seberapa banyak wartawan atau
media yang menerapkan moralitas itu atau sebaliknya. Moralitas jurnalistik
ditentukan oleh kriteria-kriteria tentang kerja jurnalistik yang layak dan
baik sebagaimana tertuang dalam Kode Etik Jurnalistik yang bersifat universal
dan berlaku sama di semua tempat.
Memang ada beberapa
etika jurnalistik yang bersifat kondisional, penerapannya dapat disesuaikan
perkembangan situasi. Namun, kewajiban melindungi perasaan traumatik korban
atau meringankan beban penderitaan korban adalah jenis etika jurnalistik yang
harus didahulukan wartawan atau media dalam kondisi apa pun.
Solidaritas, empati,
dan kepekaan sosial harus mendasari setiap bentuk ruang publik, tanpa
terkecuali ruang publik media. Perlu
digarisbawahi, pengertian korban di sini bukan hanya mereka yang jadi obyek
langsung kekerasan, tetapi juga keluarga, orang-orang sekitar, juga
masyarakat yang mengalami trauma atas kekerasan yang terjadi. Oleh karena
itu, fakta bahwa korban telah meninggal bukanlah alasan yang memadai bagi
media untuk membuka identitas korban atau keluarganya.
Etika jurnalisme atau
etika media dalam praktiknya memang berjalan dinamis. Banyak standar etis
yang dulu dipegang teguh pelaku media, belakangan semakin longgar
penerapannya. Di masa lalu, pemuatan "iklan jaket" di halaman muka
media cetak dianggap sebagai sesuatu yang kurang etis dan kurang menghargai
hak-hak pembaca. Namun, saat ini, banyak media melakukan pemuatan "iklan
jaket" ini. Praktik semacam ini seperti menemukan pembenarannya karena
kenyataannya tidak ada reaksi kritis yang signifikan sebagaimana lazim
terjadi pada masa lalu.
Elastisitas etika media
Di suatu era, banyak
media dengan ketat menolak fasilitas untuk wartawan yang mengikuti kunjungan ke luar negeri atau ke lokasi
perusahaan yang disediakan instansi pemerintah atau perusahaan. Namun, pada
era lain, mayoritas media mengizinkan wartawannya menerima fasilitas tersebut
dengan batasan atau syarat yang semakin longgar. Semakin jarang terdengar
perusahaan media membiayai sendiri wartawannya yang mengikuti muhibah
Presiden ke luar negeri atau media visit perusahaan-perusahaan pertambangan.
Kembali pada kasus di
atas, pers Indonesia kini juga dihadapkan pada perkembangan baru yang
mengondisikan praktik jurnalistik yang mengabaikan perlindungan atas
identitas korban kejahatan susila dan pelaku kekerasan di bawah umur.
Perkembangan yang
dimaksud adalah terpaan jurnalisme media online dan diskusi media sosial
dengan beberapa cirinya: hiperaktualitas, interaktivitas serta kemustahilan
menghapus apa yang sudah telanjur tersebar dan kesulitan untuk meramalkan
arah suatu diskusi.
Jika identitas korban
kejahatan susila telanjur dibuka di ruang diskusi media sosial, media online
pun segera terpancing untuk membuka identitas tersebut. Jika media sosial dan
media online sudah membuka identitas tersebut, media cetak atau media
televisi seperti kehilangan alasan untuk tidak melakukan hal yang sama. Maka,
sulit sekali untuk menahan atau menghapus informasi dan data yang telanjur
tersebar di media sosial dan media online.
Di satu sisi, hal ini
bermakna positif karena informasi begitu mudah diakses masyarakat. Masyarakat
mendapatkan informasi yang melimpah dan aktual tentang suatu masalah
sekaligus dapat menyampaikan pendapatnya. Namun, di sisi lain, keterbukaan
yang berlebihan juga dapat menggerus rasa kemanusiaan dan empati kita
terhadap mereka yang sedang kesusahan. Kita menjadi lebih mementingkan rasa
penasaran publik, tanpa memperhatikan betul perasaan dan nasib sedikit orang
yang menjadi obyek rasa penasaran itu. Kita menjadi lebih mementingkan
kontribusi positif pemberitaan terhadap hak masyarakat atas informasi tanpa
memperhatikan benar apakah pemberitaan itu telah dilaksanakan secara etis dan
proporsional.
Etika media dalam
perjalanannya memang tidak pernah terwujud sepenuhnya. Penghormatan praktisi
media terhadap etika media selalu mengalami pasang surut. Namun, pasang surut
ini sebenarnya justru menunjukkan ada yang perlu senantiasa dievaluasi dalam
praktik bermedia kita terkait dengan persoalan profesionalisme dan tanggung
jawab sosial. Fungsi media tidak sekadar menyebarluaskan informasi, tetapi
juga mencerdaskan dan memberadabkan masyarakat. Oleh karena itu,
standar-standar etis sesungguhnya menjadi kebutuhan yang tak lekang oleh
perubahan zaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar