Garda Depan Bahari
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 18 Juni 2015
Belakangan mulai
banyak pihak yang bicara tentang sebuah terma populer, tetapi obskur dalam
pemaknaan, apalagi aplikasinya: bahari atau maritim (maritime). Sejak lebih satu dekade lalu saya menulis banyak
perihal lema itu. Tidak hanya makna kata tersebut dapat menjadi penjelas
realitas faktual, historis, dan kultural jati diri kita, tetapi juga
sesungguhnya dapat menjadi solusi terbaik bagi realitas eksistensial dalam menjawab
semua persoalan kontemporernya.
Tentu saja, penjelasan
untuk itu tidak dapat diselesaikan dengan satu pukulan saja. Berapa pun
jumlah halaman dan buku tentang hal itu, kata atau terma itu harus menjadi
diskursus kolektif kita sehingga menjadi komprehensi bersama,
terinternalisasi bersama, dan menjadi konsensus yang menghasilkan semacam
Weltanschauung atau sangkan paraning dumadi-nya orang Jawa ataupun berbagai
bentuk visi kehidupan dari berbagai suku. Dari situ kita akan paham kenyataan
konstitutif tentang kita: ada di mana, dari mana, akan ke mana, dan bagaimana
caranya.
Bangunan dasar budaya
peradaban bahari adalah kenyataan aktual dan faktual negeri kita yang 2/3-nya
air. Kenyataan geografis ini memberi dampak ikutan, baik secara natural
maupun nurtural, yang sangat kompleks: membentuk satu kebudayaan dengan
unikum dan varian yang luar biasa.
Dalam ringkasan (yang
mungkin menyesatkan pikiran ini), budaya bahari ditandai oleh simbol yang
diambil dari samudra: garis horizon atau cakrawala. Tempat di mana
orang-orang bahari mencari dan menemukan eksistensi diri hingga
Gusti-Pangerannya. Horizon adalah garis lurus yang bermakna kesetaraan,
kebebasan, toleransi-akseptansi, keterbukaan, penerimaan-persaudaraan,
kosmopolitan, interkultural dan multikutural sebagaimana basic values di
bandar-bandar seluruh Nusantara.
Semua karakter itu,
dalam bahasa modernnya adalah liberté, égalité, fraternité, open-mind,
melting society, dan seterusnya, yang notabene adalah basic values dari yang
kita sebut demokrasi (yang sesungguhnya). Secara primordial, realitas adab
kita sebagai bangsa adalah manusia atau masyarakat semacam itu, yang dalam
praksisnya menjelma menjadi manusia atau masyarakat yang dermawan, gotong
royong, pekerja keras, jujur, tekun, dan kreatif. Dulu.
Ya, dulu, sebelum
semua itu ditutupi, dikelabui, diimperialisasi, dan akhirnya menjadi realitas
artifisial oleh kolonialisme atau penjajahan yang represif, mengisap, dan
eksploitatif.
Tidak mengherankan
jika manusia dan bangsa Indonesia masa kini merasa dirinya sejati dalam
budaya modern, rasional-logosentrik, progresif, positivistik,
materialitik-hedonik, hingga hiper-pragmatis, lalu mengidentifikasi diri
dalam keserupaan (yang secara kontradiktif) homogenik dengan manusia lain di
sudut dunia mana pun, tetapi pada saat bersamaan menindas kesejatian
primordialnya di atas. Bahkan, sampai ke tingkat biadab dan menghina keadaban
kita.
Tak ada yang bertahan,
kecuali satu dua yang mempertahankan kultural-primordialnya, seperti di Kubu,
Badui, Naga, Asmat, dan Toraja. Di luar itu, kita sebagai generasi mengalami
titik terendah dalam perjalanan kebudayaan dan kebangsaan kita.
Satu kekecualian lagi,
walau juga tidak sempurna, sebagai representasi terakhir dari adab bahari
kita adalah wilayah yang memang istimewa: Yogyakarta.
Mataram bahari
Secara pribadi saya
tidak pernah menetap di Yogyakarta. Saya mengenalnya lewat lagu, puisi,
roman, sejarah, dan orang-orangnya. Dalam relasi yang berjarak itu, harus
diakui, saya merasa Yogyakarta menjadi seperti rumah kedua setelah Jakarta,
tempat saya lahir dan tumbuh.
Akseptansi personal
ini bukanlah persoalan remeh. Selain hal itu dirasakan banyak sekali
pendatang, Yogyakarta juga berhasil menjadi semacam ruang di mana tumpahan
dan limpahan ekspresional siapa pun dapat berlangsung hampir tanpa hambatan.
Inilah kehidupan bahari sebuah bandar macam Yogyakarta.
Dari realitas inter
dan multikultural itu dapatlah kita menandai, bagaimana orang Flores, Batak,
Minang, dan Makassar dapat eksis di Yogyakarta tanpa sentimen picik
kedaerahan.
Tidak aneh jika
orang-orang berbagai suku bangsa, bahkan asing, tidak hanya mampu berbahasa
Jawa, tetapi beradat, bersantun, dan berperilaku Jawa. Inilah proses
pemberadaban khas bahari yang ada hampir di seluruh pelosok negeri, yang
belakangan terkikis karena racun kuasa ekonomi dan politik.
Maka, sebenarnya,
Yogyakarta tak pernah merasa risi atau fobi terhadap hal baru atau asing.
Semua diterima dan diserap menjadi bagian dari identitas Jawa khas Yogyakarta
yang selalu berkembang. "Kenapa ada persoalan dengan Ahmadiyah, kalau
sejak 1926 ia sudah hadir dan hidup di Yogyakarta," kata Sultan
Yogyakarta saat merespons konflik "aliran" Ahmadiyah.
Kita pun melihat
Yogyakarta saat ini sebagai wilayah terdepan dalam menghasilkan
seniman-seniman mumpuni di segala genre. Perhatikan bagaimana produk-produk
kesenian dan kebudayaannya yang hampir pada umumnya tidak elitis, berpretensi
high-art atau grand-art, tetapi sebagaimana seni bahari, ia berorientasi pada
rakyat kecil, dengan tema, bahasa, dan bentuk-bentuk yang membumi.
Cukup banyak yang
dapat ditengahkan sebagai contoh kebahariaan dari Yogyakarta, dan membuatnya
menjadi berbeda secara signifikan dengan banyak kota lain, bahkan dengan kota
yang selalu dianggap sebagai induk budaya (Mataram)-nya, Solo.
Tidak dapat dipelak,
semua itu terjadi karena sistem kuasa, pemerintahan, yang notabene diberi roh
oleh Keraton Ngayogyakarta, yang telah menciptakan ruang dan waktu kondusif
untuk berlangsungnya semua proses budaya dan pemberadaban. Sebuah sistem yang
pernah saya tegaskan kepada Sultan Yogyakarta, juga para ahli yang merumuskan
kebudayaan Yogyakarta, bahwa negeri pesisir ini bukanlah lanjutan adab
kontinental dari kerajaan-kerajaan pedalaman.
Jika mau disebut tetap
Mataram, Yogyakarta adalah Mataram Bahari. Islam-nya pun Bahari (Nusantara).
Tidak kontinental seperti kerajaan-kerajaan Islam lain di bagian lain negeri
ini.
Raja yang membumi
Di sinilah saya
berpendapat, kita mendapatkan konteks dalam beberapa Sabda dan Dhawuh yang
belakangan disampaikan Sultan Hamengku Bawono X. Saya tak hendak membahas
keseluruhan makna Sabda dan Dhawuh itu sebelum kita umumnya dapat
mengomprehensi bagaimana adab dan budaya (kita) berlangsung lewat mekanisme
yang tidak sekadar material dan profan.
Apa yang saya ingin
perlihatkan hanya bagaimana realitas kebaharian dari Kesultanan Yogyakarta
dipertegas oleh Sabda dan Dhawuh itu. Di mana, misalnya, "Tahta untuk
Rakyat" itu tidak bermakna sebagai ketinggian yang turun (menetes) ke
bawah, semacam trickle down effect dalam pembangunan kontinental, tetapi
semata bermakna "Raja bersama rakyat" dalam segala dimensinya. Saya
kira, Hamengku Buwono IX banyak memberi contoh.
Artinya, raja atau
sultan hanyalah sebuah simbol dari kekuasaan, tetapi manusia yang menjadi
raja adalah juga manusia, sebagaimana rakyat pada umumnya. Inilah adab
bahari. Inilah juga karakter Nabi Besar Muhammad SAW sehingga membuat Islam
menjadi agama kontinental yang sangat bahari.
Jika Nabi Besar saja
mengakui dirinya hanya manusia, padahal ia adalah wakil-Nya, lalu dalam
posisi apa seorang raja mengangkat dirinya lebih tinggi, sebagaimana terjadi
pada banyak raja kontinental?
Sabda dan Dhawuh
Sultan Hamengku Bawono, dalam semua barisnya, menunjukkan dengan sangat
bagaimana hati Raja adalah (dan ada di hati) rakyat meski singgasananya ada
di pucuk menuruti struktur piramidal kontinental. Saya pribadi mengalami itu
persis, saat belasan tahun lalu mengobrol dengannya di Keraton selama empat
jam penuh. Beberapa hari lalu, bersama beberapa teman, kami berbincang tiga
jam hingga dini hari. Saya menemukan Raja yang bersandal jepit dan makan
gudeg di karton yang sama itu mengepulkan asap rokoknya ke atas supaya
terhindar dari lawan bicaranya.
Inilah pemimpin yang
tak berjarak. Seperti Yogyakarta (penduduk, adat, dan budayanya) yang tak
memberi jarak pada siapa pun. Betapa Sabda dan Dhawuh itu sesungguhnya telah
membuat Keraton Yogyakarta lebih membumi (tetapi dengan tanggung jawab dan
visi lebih semesta), lebih tunduk dan sujud pada keilahian yang ternyata
tidak berada di ketinggian (atas/langit) seperti adab kontinental, tetapi di
kerendahan, di Bumi, di ibu, di pertiwi, sebagaimana spiritualitas bahari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar