Sabtu, 20 Juni 2015

Garda Depan Bahari

Garda Depan Bahari

Radhar Panca Dahana  ;  Budayawan
KOMPAS, 18 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Belakangan mulai banyak pihak yang bicara tentang sebuah terma populer, tetapi obskur dalam pemaknaan, apalagi aplikasinya: bahari atau maritim (maritime). Sejak lebih satu dekade lalu saya menulis banyak perihal lema itu. Tidak hanya makna kata tersebut dapat menjadi penjelas realitas faktual, historis, dan kultural jati diri kita, tetapi juga sesungguhnya dapat menjadi solusi terbaik bagi realitas eksistensial dalam menjawab semua persoalan kontemporernya.

Tentu saja, penjelasan untuk itu tidak dapat diselesaikan dengan satu pukulan saja. Berapa pun jumlah halaman dan buku tentang hal itu, kata atau terma itu harus menjadi diskursus kolektif kita sehingga menjadi komprehensi bersama, terinternalisasi bersama, dan menjadi konsensus yang menghasilkan semacam Weltanschauung atau sangkan paraning dumadi-nya orang Jawa ataupun berbagai bentuk visi kehidupan dari berbagai suku. Dari situ kita akan paham kenyataan konstitutif tentang kita: ada di mana, dari mana, akan ke mana, dan bagaimana caranya.

Bangunan dasar budaya peradaban bahari adalah kenyataan aktual dan faktual negeri kita yang 2/3-nya air. Kenyataan geografis ini memberi dampak ikutan, baik secara natural maupun nurtural, yang sangat kompleks: membentuk satu kebudayaan dengan unikum dan varian yang luar biasa.

Dalam ringkasan (yang mungkin menyesatkan pikiran ini), budaya bahari ditandai oleh simbol yang diambil dari samudra: garis horizon atau cakrawala. Tempat di mana orang-orang bahari mencari dan menemukan eksistensi diri hingga Gusti-Pangerannya. Horizon adalah garis lurus yang bermakna kesetaraan, kebebasan, toleransi-akseptansi, keterbukaan, penerimaan-persaudaraan, kosmopolitan, interkultural dan multikutural sebagaimana basic values di bandar-bandar seluruh Nusantara.

Semua karakter itu, dalam bahasa modernnya adalah liberté, égalité, fraternité, open-mind, melting society, dan seterusnya, yang notabene adalah basic values dari yang kita sebut demokrasi (yang sesungguhnya). Secara primordial, realitas adab kita sebagai bangsa adalah manusia atau masyarakat semacam itu, yang dalam praksisnya menjelma menjadi manusia atau masyarakat yang dermawan, gotong royong, pekerja keras, jujur, tekun, dan kreatif. Dulu.

Ya, dulu, sebelum semua itu ditutupi, dikelabui, diimperialisasi, dan akhirnya menjadi realitas artifisial oleh kolonialisme atau penjajahan yang represif, mengisap, dan eksploitatif.

Tidak mengherankan jika manusia dan bangsa Indonesia masa kini merasa dirinya sejati dalam budaya modern, rasional-logosentrik, progresif, positivistik, materialitik-hedonik, hingga hiper-pragmatis, lalu mengidentifikasi diri dalam keserupaan (yang secara kontradiktif) homogenik dengan manusia lain di sudut dunia mana pun, tetapi pada saat bersamaan menindas kesejatian primordialnya di atas. Bahkan, sampai ke tingkat biadab dan menghina keadaban kita.

Tak ada yang bertahan, kecuali satu dua yang mempertahankan kultural-primordialnya, seperti di Kubu, Badui, Naga, Asmat, dan Toraja. Di luar itu, kita sebagai generasi mengalami titik terendah dalam perjalanan kebudayaan dan kebangsaan kita.

Satu kekecualian lagi, walau juga tidak sempurna, sebagai representasi terakhir dari adab bahari kita adalah wilayah yang memang istimewa: Yogyakarta.

Mataram bahari

Secara pribadi saya tidak pernah menetap di Yogyakarta. Saya mengenalnya lewat lagu, puisi, roman, sejarah, dan orang-orangnya. Dalam relasi yang berjarak itu, harus diakui, saya merasa Yogyakarta menjadi seperti rumah kedua setelah Jakarta, tempat saya lahir dan tumbuh.

Akseptansi personal ini bukanlah persoalan remeh. Selain hal itu dirasakan banyak sekali pendatang, Yogyakarta juga berhasil menjadi semacam ruang di mana tumpahan dan limpahan ekspresional siapa pun dapat berlangsung hampir tanpa hambatan. Inilah kehidupan bahari sebuah bandar macam Yogyakarta.

Dari realitas inter dan multikultural itu dapatlah kita menandai, bagaimana orang Flores, Batak, Minang, dan Makassar dapat eksis di Yogyakarta tanpa sentimen picik kedaerahan.

Tidak aneh jika orang-orang berbagai suku bangsa, bahkan asing, tidak hanya mampu berbahasa Jawa, tetapi beradat, bersantun, dan berperilaku Jawa. Inilah proses pemberadaban khas bahari yang ada hampir di seluruh pelosok negeri, yang belakangan terkikis karena racun kuasa ekonomi dan politik.

Maka, sebenarnya, Yogyakarta tak pernah merasa risi atau fobi terhadap hal baru atau asing. Semua diterima dan diserap menjadi bagian dari identitas Jawa khas Yogyakarta yang selalu berkembang. "Kenapa ada persoalan dengan Ahmadiyah, kalau sejak 1926 ia sudah hadir dan hidup di Yogyakarta," kata Sultan Yogyakarta saat merespons konflik "aliran" Ahmadiyah.

Kita pun melihat Yogyakarta saat ini sebagai wilayah terdepan dalam menghasilkan seniman-seniman mumpuni di segala genre. Perhatikan bagaimana produk-produk kesenian dan kebudayaannya yang hampir pada umumnya tidak elitis, berpretensi high-art atau grand-art, tetapi sebagaimana seni bahari, ia berorientasi pada rakyat kecil, dengan tema, bahasa, dan bentuk-bentuk yang membumi.

Cukup banyak yang dapat ditengahkan sebagai contoh kebahariaan dari Yogyakarta, dan membuatnya menjadi berbeda secara signifikan dengan banyak kota lain, bahkan dengan kota yang selalu dianggap sebagai induk budaya (Mataram)-nya, Solo.

Tidak dapat dipelak, semua itu terjadi karena sistem kuasa, pemerintahan, yang notabene diberi roh oleh Keraton Ngayogyakarta, yang telah menciptakan ruang dan waktu kondusif untuk berlangsungnya semua proses budaya dan pemberadaban. Sebuah sistem yang pernah saya tegaskan kepada Sultan Yogyakarta, juga para ahli yang merumuskan kebudayaan Yogyakarta, bahwa negeri pesisir ini bukanlah lanjutan adab kontinental dari kerajaan-kerajaan pedalaman.

Jika mau disebut tetap Mataram, Yogyakarta adalah Mataram Bahari. Islam-nya pun Bahari (Nusantara). Tidak kontinental seperti kerajaan-kerajaan Islam lain di bagian lain negeri ini.

Raja yang membumi

Di sinilah saya berpendapat, kita mendapatkan konteks dalam beberapa Sabda dan Dhawuh yang belakangan disampaikan Sultan Hamengku Bawono X. Saya tak hendak membahas keseluruhan makna Sabda dan Dhawuh itu sebelum kita umumnya dapat mengomprehensi bagaimana adab dan budaya (kita) berlangsung lewat mekanisme yang tidak sekadar material dan profan.

Apa yang saya ingin perlihatkan hanya bagaimana realitas kebaharian dari Kesultanan Yogyakarta dipertegas oleh Sabda dan Dhawuh itu. Di mana, misalnya, "Tahta untuk Rakyat" itu tidak bermakna sebagai ketinggian yang turun (menetes) ke bawah, semacam trickle down effect dalam pembangunan kontinental, tetapi semata bermakna "Raja bersama rakyat" dalam segala dimensinya. Saya kira, Hamengku Buwono IX banyak memberi contoh.

Artinya, raja atau sultan hanyalah sebuah simbol dari kekuasaan, tetapi manusia yang menjadi raja adalah juga manusia, sebagaimana rakyat pada umumnya. Inilah adab bahari. Inilah juga karakter Nabi Besar Muhammad SAW sehingga membuat Islam menjadi agama kontinental yang sangat bahari.

Jika Nabi Besar saja mengakui dirinya hanya manusia, padahal ia adalah wakil-Nya, lalu dalam posisi apa seorang raja mengangkat dirinya lebih tinggi, sebagaimana terjadi pada banyak raja kontinental?

Sabda dan Dhawuh Sultan Hamengku Bawono, dalam semua barisnya, menunjukkan dengan sangat bagaimana hati Raja adalah (dan ada di hati) rakyat meski singgasananya ada di pucuk menuruti struktur piramidal kontinental. Saya pribadi mengalami itu persis, saat belasan tahun lalu mengobrol dengannya di Keraton selama empat jam penuh. Beberapa hari lalu, bersama beberapa teman, kami berbincang tiga jam hingga dini hari. Saya menemukan Raja yang bersandal jepit dan makan gudeg di karton yang sama itu mengepulkan asap rokoknya ke atas supaya terhindar dari lawan bicaranya.

Inilah pemimpin yang tak berjarak. Seperti Yogyakarta (penduduk, adat, dan budayanya) yang tak memberi jarak pada siapa pun. Betapa Sabda dan Dhawuh itu sesungguhnya telah membuat Keraton Yogyakarta lebih membumi (tetapi dengan tanggung jawab dan visi lebih semesta), lebih tunduk dan sujud pada keilahian yang ternyata tidak berada di ketinggian (atas/langit) seperti adab kontinental, tetapi di kerendahan, di Bumi, di ibu, di pertiwi, sebagaimana spiritualitas bahari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar