Warning
Perekonomian Nasional
Firmanzah ; Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar
FEB Universitas Indonesia
|
KORAN SINDO, 04 Mei 2015
Dalam beberapa pekan
terakhir, kinerja perekonomian nasional masih terus tertekan. Sejumlah
indikator ekonomi menunjukkan tren negatif baik di sektor riil maupun
keuangan dan pasar modal.
Bank sentral dan
beberapa kalangan memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I
2015 relatif melambat atau bergerak tidak lebih dari 5%. Kondisi ini tentunya
berpotensi akan semakin mempersulit ruang gerak pemerintah mewujudkan
janji-janji politik yang tertuang dalam Nawacita Presiden Joko Widodo
(Jokowi).
Sebelumnya, sejumlah
kalangan, baik dalam negeri maupun lembaga asing, juga telah menunjukkan
indikasi perlambatan ekonomi Indonesia sehingga membutuhkan kesigapan
penyusunan kebijakan pemerintah yang tepat dan terukur. Tulisan saya di media
ini (20/4) juga telah menjelaskan tren perlambatan ekonomi Indonesia.
Meski merupakan tren
global saat ini, perlambatan dan penurunan kinerja perekonomian nasional
menjadi sinyal penting sekaligus peringatan bagi pemerintah untuk tidak
lengah dari ancaman tsunami ekonomi lanjutan. Dunia masih menunggu kapan The
Fed akan menaikkan suku bunga dan sedang mengantisipasi segala kemungkinan
yang muncul akibat kebijakan tersebut.
Di tengah tekanan
ekonomi global yang relatif landai, pemerintah perlu memperhatikan tingkat
probabilitas ancaman shock ekonomi nasional yang masih cukup tinggi, terlebih
ketika penurunan daya beli masyarakat merosot. Antisipasi gejala global
maupun domestik memerlukan sikap tanggap dan kecermatan pemerintah agar
kinerja ekonomi yang telah dibangun selama ini tetap terjaga.
Proyeksi pertumbuhan
negara-negara berkembang oleh Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan
perlambatan pada tahun 2015 sebesar 4,3% (dari tahun lalu 4,5%). Sebaliknya
proyeksi pertumbuhan negara maju diperkirakan lebih positif di 2,4% (dari
tahun lalu 1,8%). Bank Dunia juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia
berpotensi hanya sebesar 5,2% untuk tahun ini.
Bahkan pertumbuhan
ekonomi masih dapat di bawah proyeksi Bank Dunia kalau kita memasukkan
variabel The Fed. Dalambeberapawaktukedepan, The Fed akan menyesuaikan
tingkat suku bunga. Penyesuaian ini berpotensi berimbas pada eksodus modal
dari negaranegara berkembang dan dinaikkannya BI Rate.
Hingga akhir April
2015, sejumlah indikator ekonomi nasional mempertegas potensi ancaman
guncangan ekonomi. Pertama, penyerapan APBN pada kuartal I 2015 yang hanya
berkisar 20%, yang berdampak pada sejumlahkegiatan ekonomi lainnya. Harus
kita akui, selama ini kebijakan APBN menjadi salah satu penggerak
perekonomian nasional, terlebih ketika sektor-sektor lain menghadapi tekanan.
Kedua, akibat serapan
APBN yang rendah, sejumlah proyek pembangunan infrastruktur melambat yang
kemudian berandil besar dalam penurunan penyaluran kredit perbankan dan
melemahnya konsumsi domestik. Bank sentral merilis penyaluran kredit
perbankan nasional triwulan I 2015 akan berada pada level 11- 12% atau lebih
rendah dari tahun sebelumnya yang di atas 18%. Ketiga, sektor industri
relatif menunjukkan pelemahan sepanjang triwulan I 2015.
Hasil Survei Kegiatan
Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan Bank Sentral menunjukkan saldo bersih
tertimbang (SBT) triwulan I tumbuh 4,83%, lebih rendah dibandingkan triwulan
IV 2014 sebesar 11,03%. Hasil SKDU juga menunjukkan ratarata kapasitas
produksi terpakai hanya sebesar 73,06% atau turun dibandingkan triwulan IV
2014 sebesar 79,78%.
Begitu pula indeks
manufaktur triwulan I 2015 sebesar 45,08% atau lebih rendah dari triwulan IV
2014, 48,89%. Keempat, nilai tukar rupiah sepanjang pekan terakhir April 2015
hingga pada penutupan sesi perdagangan Kamis (30/4) terdepresiasi 4 poin
(0,03%) ke level Rp12.937per dolar Amerika Serikat (AS) berdasarkan referensi
Jakarta Interbank Spot Dollar Rate yang dikeluarkan BI.
Kelima , Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan Kamis (30/4) melemah di level 5.086,42
atau turun dari sesi perdagangan Senin (27/4), 5.254,46. Penurunan indeks ini
banyak dikontribusi aksi jual asing sepanjang pekan terakhir April 2015.
Penjualan bersih asing sepanjang sepekan di akhir April 2015 mencapai Rp6,9
triliun. Besarnya arus modal asing keluar ini kemudian menggerus kapitalisasi
pasar modal nasional.
BEI mencatat
kapitalisasi pasar modal per Kamis (30/4) sebesar Rp 5.164 triliun atau turun
Rp315 triliun dari posisi Jumat (24/4) sebesar Rp5.479 triliun. Keluarnya
dana asing dari pasar modal kita setelah sejumlah emiten besar memublikasikan
kinerja triwulan I 2015 yang tidak sesuai harapan. Praktis, hampir setiap
sektor seperti ritel, infrastruktur dan alat berat, perbankan, automotif,
mineral dan tambang menunjukkan pelemahan kinerja keuangan.
Hal ini seolah menjadi
cerminan bahwa perekonomian nasional memasuki fase baru, yaitu perlambatan
pertumbuhan ekonomi. Salah satu faktor penting penyumbang perlambatan ekonomi
adalah penurunan kontributor terbesar dalam pembentukan produk domestik bruto
(PDB) nasional, yaitu daya beli masyarakat. Belanja domestik selama ini
menyumbang rata-rata 54-56% PDB Indonesia.
Indikator-indikator di
atas tentunya menjadi warning bagi pemerintah dalam mengelola dan mengambil
kebijakan ekonomi, terlebih di tengah ketidakpastian yang masih cukup tinggi.
Belum lagi dengan rencana penyesuaian suku bunga The Fed yang tentunya akan
berpotensi menekan perekonomian nasional. Kebijakan penyesuaian suku bunga
The Fed ini akan menekan lebih dalam perekonomian nasional apabila tidak ada
skenario mitigasi dan antisipasi dari pemerintah.
Potensi eksodus modal
ada di depan mata mengingat struktur dana asing di pasar modal yang mencapai
lebih dari 40%. Kepemilikan asing di pasar obligasi juga mencapai 60% yang
bisa menjadi potensi ancaman ke depan. Berdasarkan data-data di atas,
seyogianya pemerintah terus mendorong kebijakan antisipatif yang dapat
menahan tekanan ekonomi di waktu ke depan.
Kebijakan antisipatif
ini tidakhanyadisektorfiskal, tetapi juga di sektor riil mengingat
indikator-indikator di atas pada akhirnya bermuara pada kekuatan daya beli
atau konsumsi domestik. Sejumlah agenda mendesak yang perlu diperhatikan
pemerintah untuk merespons data-data di atas, pertama, mendorong penyerapan
belanja negara khususnya untuk proyekproyek pembangunan infrastruktur.
Kedua, kebijakan yang
lebih pro-sektor UMKM perlu lebih diperluas untuk membantu sektor yang selama
ini berkontribusi besar dalam penyerapan tenaga kerja dan menjaga daya beli
masyarakat di level menengah ke bawah. Ketiga, koordinasi kebijakan secara
intensif di sektor moneterfiskal- riil oleh sejumlah lembaga seperti Bank
Indonesia, OJK, Kementerian Keuangan, Kemenko Perekonomian, dan Bappenas. Hal
ini dimaksudkan agar efek tekanan tidak lebih dalam.
Keempat, sektor
perdagangan perlu terus dipacu sehingga bisa menjadi penyeimbang ditengah
kebijakan pembatasan sektor migas. Kelima, menghindari kebijakan-kebijakan
ekonomi yang kontra produktif atau setidaknya belum tepat untuk saat ini.
Keenam, Presiden
Jokowi perlu segera menginisiasi konsolidasi kebijakan ekonomi dalam waktu
dekat mengingat infrastruktur kebijakan, mekanisme, dan implementasinya
memerlukan tingkat koordinasi tinggi untuk mereduksi potensi bias di
lapangan.
Kita tentu dapat
belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi sejumlah
tekanan ekonomi baik yang berasal dari internal maupun eksternal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar