Membaca
Arah Politik Kaum Muda
Anna Luthfie ; Ketua Bidang Pemuda DPP Partai Perindo
|
KORAN SINDO, 04 Mei 2015
Gerakan demokrasi di
negeri ini menemukan momentumnya pada Era Reformasi 1998 dengan runtuhnya
kekuasaan Orde Baru.
Sepanjang 17 tahun
terakhir pascareformasi, bangsa ini tengah dihadapkan pada tantangan untuk
membangun konsolidasi demokrasi. Dinamika politik pun tidak bisa dihindari,
termasuk juga apa yang disebut dengan komodifikasi dari demokrasi. Di sinilah
peran kelas menengah, sekaligus pemilih muda menemukan momentumnya. Mengapa
kaum muda dan kelas menengah?
Merekalah yang
memberikan kontribusi terhadap jalannya proses perubahan. Banyak hasil survei
menempatkan ada kecenderungan lonjakan partisipasi pemilih muda yang terlibat
dalam panggung politik memberi ruang terhadap ekspresi, kreasi, dan sekaligus
demonstrasi. Demokrasi memberi ruang-ruang itu sebagaibagiandari
panggilandari sistem demokrasi itu sendiri.
Perilaku pemilih
mulamuda, diakui atau tidak, cenderung rasional. Mereka memiliki kemampuan
mengakses beragam media untuk mendapat informasi. Jumlah pemilih mula terus
meningkat dari sekitar 24 juta (2004), kemudian sekitar 36 juta (2009), dan
saat Pemilu 2014 kemarin diperkirakan ada 53 juta dari sekitar 186 juta
pemilih, dan diperkirakan pada Pemilu 2019 ada sekitar 60jt-an pemilih mula
yang berpotensi akan menggunakan hak pilih.
Artinya, paling tidak
ada sekitar 30% dari total pemilih yang berusia 17-27 tahun. Dengan jumlah
30%, partisipasi pemilih muda bisa mengubah peta politik. Dengan karakter
pemilih muda yang berharap besar akan sebuah perubahan, bukan tidak mungkin
peta politik di negeri ini akan bergantung pada pemilih mula dan muda.
Kelompok pemilih ini paling menentang ada kondisi status quo.
Mereka sangat
merindukan perubahan. Jika kita coba tengok ke belakang, momentum kemenangan
Joko Widodo, baik di Pemilihan Gubernur DKI 2012 maupun Pemilihan Presiden
2014, banyak diperankan oleh kaum muda. Peran pemilih mula dan muda yang
notabene juga representasi dari kelas menengah juga telah membawa arus
komodifikasi dari demokrasi.
Mereka membawa dunia
digital sebagai bagian dari demokratisasi. Lihat saja bagaimana para
pendukung kedua kubu, antara Prabowo dan Jokowi, misalnya dalam pemilihan
Presiden 2014. Mereka melakukan kampanye melalui media sosial. Puncaknya
dengan konser dua jari yang dilakukan oleh Jokowi menjelang pemungutan suara
pemilihan presiden yang dinilai banyak pihak menjadi pemicu orang kemudian
berbondongbondong memberikan pilihannya ke Jokowi.
Peran Dunia Digital
Perkembangan dunia
digital dengan maraknya penggunaan media sosial turut mengubah wajah
demokrasi di negeri ini. Kaum muda banyak mengambil peran di perkembangan
dunia digital ini, termasuk dalam konteks memanfaatkan jejaring dunia maya
sebagai upaya menggalang gerakan untuk perubahan.
Sebuah buku berjudul ”
Grown Up Digital”, karya Don Tapscott (2008) menguatkan bagaimana pengaruh
dunia maya dalam menggerakkan gerakan dan perubahan. Pengalaman pada
pemilihan presiden di Amerika Serikat menjadi salah satu latar belakang dari
penulisan buku tersebut.
Buku ini sebenarnya
hasil dari proyek penelitian untuk mempelajari fenomena The Net Generation,
generasi kaum muda yang sadar akan internet di 12 negara dalam tiga benua.
Buku ini ditulis bersamaan dengan pertarungan Obama dan Hillary Clinton dalam
konvensi Demokrat menuju Pilpres Amerika 2008. Melihat pemetaan kekuatan,
semua tahu Hillary sudah satu langkah di depan.
Clinton sudah berhasil
menghimpun dana besar sekali dan mengumpulkan barisan pendukung yang luar
biasa, serta sebuah tim konsultan gaya lama yang sangat berpengalaman dengan
keterampilan memanipulasi media. Tim konsultan gaya lama ini perlu digaris
tebal, yang membedakan dengan apa yang dilakukan Obama. Obama merekrut anak
muda bernama Chris Hughes yang waktu itu berusia 23 tahun.
Hughes jelas mewakili
profil Net Generation. Hughes merupakan arsitek kemenangan Obama, sebagai
direktur pengorganisasian urusan online. Dia mengatakan, ”jika Obama ingin
menang, dia memerlukan kampanye yang didukung banyak orang. Dan, tidak ada
cara lain untuk melakukannya selain internet”.
Upaya-upaya online
yang diorganisasikan oleh Hughes yang berpusat di my.barackobama.com mengubah
cara politik dimainkan di internet (online) maupun darat (offline). Alat-alat
digital yang digunakan pada situs jejaring sosial membantu membentuk
komunitas online beranggotakan lebih dari 1 juta orang.
Perubahan paling
signifikan adalah pesan kampanye tidak dikendalikan dari markas besar
kampanye seperti yang masih dilakukan dalam kampanye tradisional (politik
dari atas ke bawah), melainkan memberi tiap individu dalam komunitas online
untuk mengorganisasikan diri dalam berbagi informasi, pembentukan
pawai-pawai, sampai penggalangan dana.
Sifat dari kampanye
ini lebih pada cara-cara CrowdSourcing dan CrowdFundingyang tentu saja
menjadi kekuatan luar biasa, gambaran spektakuler tentang kekuatan NetGener
yang mampu menggagalkan konvensi, menggulingkan otoritas, dan berpotensi
mengubah dunia.
Hughes adalah seorang
cracker yang membuat retakan baru seperti yang pernah ditulis oleh Rhenald
Kasali dalam Cracking Zone. Politik tidak akan pernah sama seperti dahulu.
Generasi internet sedang berubah menjadi sebuah mesin raksasa politik di abad
ke-21, menyapu habis model politik broadcast konvensional dengan gaya kerja
”kalian memilih, kami memerintah.” Ini tentu saja mengubah sifat dasar
demokrasi itu sendiri. Fenomena ini disebut sebagai Demokrasi 2.0, demokrasi
yang digerakkan oleh generasi internet.
Politik Kaum Muda
Tentu membaca politik
kaum muda tidak akan bisa lepas dari bagaimana perilaku politik mereka saat
ini. Mengomunikasikan kampanye politik dengan dunia digital, dunia yang
berdekatan dengan kaum muda, adalah sebuah keniscayaan.
Perubahan-perubahan
politik tidak akan cukup hanya berdiskusi dilorong-lorong gelap. Apalagi
kecenderungan saat inibudaya membaca menjadi problem besar bagi bangsa ini.
Nah, melakukan pendekat-an dengan media sosial, duniamaya, untuk memberikan
pendidikan politik bagi kaum muda, yang rata-rata berperan sebagai netizen,
adalah sebuah keharusan sekaligus kebutuhan politik.
Bagaimanapun demokrasi
bukanlah barang sekadar jadi, namun demokrasi juga harus dibangun pada
basis-basis kebutuhan masyarakat itu sendiri. Kebutuhan kaum muda adalah
perubahan yang cepat, rasional, dan tentu saja bisa merepresentasikan
kepentingan politik mereka. Media sosial adalah kekuatan politik baru yang
me-nyimpan energi besar untuk melahirkan perubahan.
Gelombang
demokratisasi di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir juga tidak lepas
dari fenomena media sosial. Meski demikian, media sosial dan dunia maya
sekadar alat, instrumen. Demokrasi digital adalah jawaban dan media bagi
kerja-kerja politik untuk membangun relasi dengan pemilih mula dan muda.
Ini tradisi baru dalam
berpolitik meski tidak akan menggantikan pada nilai-nilai politik itu sendiri
yang tetap merajut kepercayaan dan kejujuran demi terwujudnya sebuah keadilan
dan kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar