Laporan Diskusi
Panel Ahli Ekonomi Kompas
( "Bagaimana agar Target Pertumbuhan Ekonomi 2015 Tercapai?"
)
Mengatasi
Merosotnya Industrialisasi
Ignatius Kristanto ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 19 Mei 2015
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia dalam lima tahun terakhir menunjukkan gejala melambat.
Sektor yang diharapkan mampu mengangkat pertumbuhan adalah industri
pengolahan. Akan tetapi, sektor ini pun kondisinya justru menunjukkan gejala
penurunan. Perlu strategi industrialisasi baru yang terpadu untuk mendongkrak
perekonomian.
Industri
yang tumbuh baik saat ini adalah berbasis pertanian. Agribisnis sebagai
megasektor-mulai makanan-minuman hingga energi terbarukan-secara total terus
tumbuh, melebihi industri tekstil yang sepanjang sejarah Indonesia menjadi
andalan peraih devisa dari ekspor. Meski demikian, tidak terlihat ada
strategi industrialisasi nasional yang fokus kepada penguatan sektor-sektor
yang menjadi kekuatan kompetitif dan komparatif Indonesia. Termasuk perhatian
kepada sektor agribisnis yang menjawab persoalan saat ini, yaitu berbahan
baku lokal, menyerap tenaga kerja tidak terdidik yang jumlahnya lebih separuh
tenaga kerja, serta memeratakan kemakmuran antarwilayah, antarpulau, dan
kota-desa.
Penurunan
kinerja sektor industri dapat dilihat dari subsektor industri tekstil dan
produk tekstil (TPT). Industri TPT tergolong strategis karena menyerap 2,8
juta orang tenaga kerja atau 2,5 persen dari total tenaga kerja nasional.
Lima tahun terakhir nilai ekspor menurun. Dalam investasi, sejak 2010 hingga
2013 realisasi nilai investasi terus meningkat, tetapi pada 2014 menurun dari
Rp 9,5 triliun menjadi Rp 5,9 triliun. Dampak pelemahan adalah pengurangan
hari kerja. Industri penenunan, misalnya, mengurangi hari kerja dari tujuh
hari menjadi lima hari kerja per minggu.
Kebijakan kurang ramah
Permasalahan
pengembangan industri di Indonesia meliputi aspek internal dan eksternal.
Sisi internal didominasi aspek kebijakan yang kurang mendukung, seperti tarif
listrik, bunga bank tinggi, kebijakan pengupahan yang tidak konsisten, dan
pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada bahan baku impor.
Tarif
listrik di Indonesia tergolong tinggi dibandingkan dengan negara-negara di
ASEAN. Industri poliester di Indonesia masih menggunakan teknologi 1990-an
sehingga masih mengonsumsi 28 persen listrik PLN. Di Tiongkok, industri
seratnya menggunakan listrik dari proses produksi kimiawi internal yang
menghasilkan panas dan dikonversi menjadi energi listrik sehingga biaya
komponen listrik nol.
Suku
bunga kredit Indonesia konsisten hampir dua kali lebih tinggi dibandingkan
negara-negara Asia lain. Akibatnya banyak produsen mengalihkan pinjamannya ke
bank-bank di Singapura. Pengenaan PPN 10 persen pada kapas sebagai bahan baku
utama memberatkan produsen karena sebagian besar diimpor.
Indonesia
juga tidak memiliki strategi dan koordinasi antarlembaga dalam perdagangan
luar negeri. Indonesia seharusnya mencari mitra dagang yang produknya tidak
bersaing, tetapi saling melengkapi.
Contoh
paling gamblang adalah perdagangan dengan Tiongkok. Secara umum Indonesia
pada 2000 masih mencatat surplus, tetapi menjadi defisit 13 miliar dollar AS
saat ini. Pada 2010 nilai impor TPT 1,6 miliar dollar AS dan menjadi 5 miliar
dollar AS pada 2014. Sementara perdagangan dengan Jepang menguntungkan
Indonesia yang industrinya masih dalam taraf awal dibandingkan Jepang yang
sangat maju. Ekspor ke Jepang meningkat 400 persen setelah disetujuinya
perdagangan bebas.
Industrialisasi terpadu
Sejak
Orde Baru hingga sekarang, strategi industrialisasi yang dianut belum
berubah, yakni industrialisasi berspektrum luas. Dalam praktiknya, industri
yang berkembang berbahan baku impor dan terkonsentrasi di perkotaan. Sekitar
70 persen industri saat ini memiliki kandungan impor di atas 50 persen,
bahkan industri telematika mencapai 90 persen.
Struktur
industri inilah penyebab neraca transaksi berjalan terus defisit pada
sebagian besar waktu. Akibatnya, nilai rupiah terus terdepresiasi dan
perekonomian nasional kehilangan miliaran dollar AS setiap tahun. Pemerintah
hingga kini mengambil jalan keluar menutup utang tersebut dengan membuat
utang luar negeri. Untuk memutus rantai persoalan itu, perlu strategi
industrialisasi hulu ke hilir terpadu berbasis bahan baku lokal. Yang
memenuhi kriteria itu adalah sistem agribisnis.
Sistem
agribisnis mencakup empat subsistem, yakni agribisnis hulu, on-farm
(pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan), agribisnis hilir yang
mengolah produk pertanian, dan penyedia jasa agribisnis (perbankan,
perdagangan, logistik). Dengan lingkup megasektor agribisnis yang mencapai 51
persen PDB nasional, tenaga kerja yang terserap mencapai 60 persen.
Strategi
indutrialisasi agribisnis terpadu menghasilkan struktur industri nasional
yang berakar kuat pada sumber daya di setiap daerah yang mempunyai
karakteristik berbeda. Selain itu mampu menarik banyak tenaga kerja dan
melibatkan usaha kecil dan menengah.
Untuk
mendukung industrialisasi agribisnis perlu dukungan kebijakan suku bunga yang
"ramah", penyederhanaan perizinan usaha, penyediaan infrastruktur
yang kompetitif. Selain itu, diarahkan megasektor agribisnis harus didorong
untuk tujuan ekspor dan substitusi impor. Dengan strategi ini, Indonesia akan
berubah dari eksportir terbesar minyak sawit mentah menjadi eksportir terbesar
biodisel, biopelumas, serta mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku
industri pangan, minuman, dan energi.
Jika ini
dilaksanakan dengan baik, target pertumbuhan ekonomi 7 persen yang
dicanangkan pemerintahan Joko Widodo akan menjadi realistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar