Laporan Diskusi
Panel Ahli Ekonomi Kompas
( "Bagaimana agar Target Pertumbuhan Ekonomi 2015 Tercapai?"
)
Masih
Diliputi Kerentanan
Dewi Indriastuti ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS, 19 Mei 2015
Dalam
beberapa waktu terakhir, negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi atau
pasar yang bertumbuh bersiap menghadapi risiko akibat membaiknya perekonomian
Amerika Serikat. Indonesia, sebagai salah satu pasar yang bertumbuh, turut
bersiap menghadapi kemungkinan naiknya suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).
Jika
suku bunga The Fed, yang saat ini 0,25 persen, naik, hampir dipastikan
dana-dana investor yang semula ditanamkan di negara-negara pasar yang
bertumbuh akan bergerak ke AS. Risiko pembalikan dana secara tiba-tiba dan
dalam jumlah besar itu bisa memengaruhi pasar keuangan Indonesia. Apalagi,
porsi kepemilikan asing di pasar obligasi Indonesia cukup besar.
Berdasarkan
catatan Kompas, kepemilikan asing terhadap surat berharga negara per 29 April
2015 adalah Rp 507,6 triliun. Jumlah ini setara dengan 38,6 persen dari
posisi saat ini surat berharga negara (SBN).
Data
Neraca Pembayaran Indonesia menunjukkan porsi modal asing dalam penanaman
modal asing (PMA) dan portofolio di Indonesia cukup besar. Pada 2014 modal
asing yang masuk melalui PMA, yang lebih lama investasinya, sebesar 25,686
miliar dollar AS. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang
23,407 miliar dollar AS. Namun, peningkatan lebih signifikan terjadi pada
investasi portofolio, dari 12,148 miliar dollar AS pada 2013 menjadi 23,407
miliar dollar AS pada 2014.
Indonesia
memang sudah bersiap-siap menghadapi risiko ini, antara lain dengan menaikkan
suku bunga acuan (SBA) Bank Indonesia secara bertahap sejak Juni 2013. Saat
ini SBA BI 7,5 persen. Diyakini bahwa dengan suku bunga sebesar itu,
Indonesia memiliki daya tahan memadai terhadap risiko pembalikan modal
investor asing.
Hingga
kini The Fed belum menaikkan suku bunga. Risiko pembalikan modal belum
dihadapi hingga saat ini. Namun, tahun ini Indonesia berhadapan dengan faktor
global lain, antara lain terus merosotnya harga komoditas, turunnya harga
minyak dunia, dan tertahannya perekonomian Tiongkok.
Sebagai
negara yang sampai saat ini masih bergantung pada ekspor komoditas, Indonesia
harus menghadapi kenyataan merosotnya nilai ekspor. Mengutip data Bloomberg
yang dikemukakan pembicara dalam diskusi panel Kompas, harga batubara per 31
Maret 2015 turun 14,9 persen dibandingkan dengan harga pada 31 Desember 2014.
Pada periode yang sama harga minyak sawit mentah turun 7,2 persen, harga
karet turun 6,5 persen, dan harga timah turun 6,5 persen.
Bisa dapat untung
Harga
komoditas yang turun itu antara lain akibat merosotnya permintaan dunia.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok, sebagai salah satu importir komoditas, tahun
ini diperkirakan tak sekuat tahun-tahun sebelumnya. Padahal, selama ini
Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor nirmigas terbesar Indonesia.
Dampak
melambatnya perekonomian Tiongkok menjadi "hanya sekitar 7 persen"
pada 2015 sudah mulai terlihat pada kinerja ekspor Indonesia triwulan I-2015.
Pada Januari-Maret 2014, ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok sebesar 4,933
miliar dollar AS. Namun, pada Januari-Maret 2015, merosot menjadi 3,132
miliar dollar AS, atau anjlok 36,51 persen dalam setahun.
Dari
sisi harga minyak dunia yang merosot, Indonesia justru bisa mendapatkan
keuntungan. Pada triwulan I-2015, nilai impor minyak dan gas Indonesia
mencapai 6,102 miliar dollar AS. Jumlah itu turun 44,53 persen dibandingkan
dengan kurun Januari-Maret 2014 yang sebesar 11,002 miliar dollar AS.
Namun,
yang tidak boleh dilupakan adalah melemahnya nilai tukar rupiah terhadap
dollar AS. Meskipun secara umum nilai tukar mata uang dunia cenderung melemah
terhadap dollar AS, pelemahan rupiah patut diwaspadai terkait utang luar negeri
Indonesia, khususnya utang swasta.
Per
Februari 2015 utang luar negeri Indonesia sebesar 298,888 miliar dollar AS.
Jumlah itu terdiri dari utang luar negeri pemerintah dan swasta 134,755
miliar dollar AS serta utang swasta 164,133 miliar dollar AS. Utang swasta
tersebut sekitar 54,9 persen dari total utang luar negeri Indonesia.
Dengan
pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, begitu pula Indonesia, kinerja
korporasi tidak akan terlalu cemerlang. Utang bisa menjadi satu ancaman
tersendiri. Dengan segala faktor yang disebut tadi, cukuplah kiranya bahwa
Indonesia-seperti halnya negara-negara pasar yang bertumbuh lain-akan
diliputi kerentanan. Kondisi rentan inilah yang harus diubah agar menjadi
lebih baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar