Nasionalisme
Tuan Presiden
Donny Gahral Adian ; Konsultan Politik
di
Hendropriyono and Associates Strategic Consulting
|
KOMPAS,
22 April 2014
PEMILIHAN
presiden tinggal sebentar lagi. Setiap kandidat pun sudah mengobral janji
politiknya kepada publik. Satu yang mengikat semua kandidat adalah ideologi
tua bernama nasionalisme. Semua, misalnya, berjanji akan mengedepankan
kepentingan nasional jika terpilih nanti.
Tidak
ada lagi impor beras, garam, dan bawang merah. Sumber-sumber ekonomi akan
dikelola putra-putri terbaik bangsa sendiri. Nasionalisme sudah menjadi
jargon pokok di setiap kampanye.
Padahal,
kita semua tahu banyak yang lain di mulut lain pula di hati. Nasionalisme
hanya berdetak saat kampanye. Nasionalisme ibarat puisi yang enak didengar.
Persoalannya, saat terpilih, pemimpin akan memerintah tidak dengan puisi,
tetapi prosa. Dan prosa itu bernama ketergantungan di segala bidang.
Kepentingan nasional
Banyak
yang salah kaprah mengeja nasionalisme. Nasionalisme bukan mengisolasi diri
dari relasi-relasi global. Nasionalisme justru memanfaatkan relasi-relasi
global demi kepentingan nasional. Kita tidak boleh menolak kemungkinan untuk
memperoleh gas murah dari negara lain.
Namun,
syaratnya, negara tersebut harus membuka pasar tekstilnya bagi Indonesia.
Nasionalisme tidak anti impor. Nasionalisme hanya mengutuk impor barang
ekonomi yang dapat dihasilkan bangsa sendiri secara lebih efisien dan murah.
Nasionalisme bukan kata-kata belaka. Dia
harus bisa diraba. Nasionalisme berbeda dengan berbagai ujar populis yang
beredar di ruang publik belakangan ini. Beberapa kandidat, misalnya, berjanji untuk lebih berpihak kepada pelaku
ekonomi lokal. Persoalannya, keberpihakan itu butuh langkah-langkah nyata.
Bagaimana
keberpihakan tersebut dapat maujud jika subsidi pertanian terus- menerus
dipangkas. Izin untuk waralaba asing terus-menerus diumbar. Ikan di perairan
sendiri terus-menerus dicuri nelayan asing tanpa sanksi. Harga solar untuk
nelayan kecil terus menerus dinaikkan. Nasionalisme membutuhkan keberanian
dan bukan jargon atau puisi kacangan.
Para kandidat presiden harus mampu
melindungi kepentingan nasional secara bijaksana. Paling tidak, ada tiga
kepentingan nasional yang perlu dijadikan agenda utama bagi mereka yang
berkepentingan di tahun politik ini.
Pertama
adalah ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah kepentingan nasional
sebab bertanggung jawab terhadap nafkah bagi jutaan keluarga. Petani tembakau
saat ini, misalnya, sedang kebingungan akibat regulasi yang menuntut
diversifikasi tanaman tembakau. Padahal, sektor ini menghidupi banyak sekali
keluarga. Pemimpin berikut harus memiliki keberpihakan yang jelas terhadap
sentra- sentra ekonomi kerakyatan di republik ini.
Kedua
adalah energi. Energi menentukan hidup-mati sebuah bangsa. Indonesia memiliki
sumber energi yang melimpah, baik yang terbarukan maupun tidak. Ini tentu
saja akan menarik banyak sekali investor asing untuk menanamkan modalnya.
Investasi asing bukan sesuatu yang haram. Namun, energi sebagai kepentingan
nasional harus dilindungi dengan memberlakukan aturan yang ketat.
Investasi
bukan berarti eksploitasi tanpa batas. Investasi harus menguntungkan bangsa
sendiri. Kepentingan nasional kita sebagai bangsa adalah ketersediaan energi
yang murah dan berlimpah. Hak istimewa bagi korporasi-korporasi energi milik
bangsa sendiri bukan sesuatu yang haram untuk diberikan.
Ketiga
adalah ideologi. Pancasila adalah kepentingan nasional yang wajib dilindungi
mati-matian oleh siapa pun yang mengelola republik ini. Perlindungan yang
dimaksud bukan dengan menghidupkan lagi aparatus ideologis seperti Badan
Pelaksana Pembinaan dan Pendidikan P4 (BP7) dulu. Demokrasi memiliki limitasi
terhadap upaya-upaya indoktrinasi ideologis. Pemimpin harus melindungi
Pancasila melalui jalan kebudayaan.
Hakikat
kultural Pancasila adalah solidaritas atau dalam bahasa Bung Karno: ”gotong royong”. Gotong royong” berlawanan
dengan individualitas keras model liberalisme atau kolektivisme sempit ala
fundamentalisme. Artinya, segala agenda yang berporos pada kedua ”isme”
tersebut patut diwaspadai sebagai ancaman
terhadap kepentingan nasional.
Lalu siapa?
Pertanyaannya
berikut, siapa lalu yang mampu mengelola republik ini di bawah panji-panji
nasionalisme? Beberapa nama sudah berseliweran. Rakyat pun sudah kenyang
dihujani berbagai janji. Persoalannya, janji adalah ujaran yang tak bersandar
pada kekinian. Janji melulu soal masa depan.
Siapa
pun bisa berjanji di tahun politik ini. Namun, kita harus awas membedakan
antara janji dan komitmen. Janji tak bersandar pada rekam jejak, sementara
komitmen justru sebaliknya. Seorang mantan koruptor bisa saja berjanji untuk
memberantas korupsi. Namun, dia tidak bisa berkomitmen terhadap janjinya sebab
rekam jejak berkata lain.
Nasionalisme
membutuhkan rekam jejak yang gamblang. Komitmen seorang terhadap nasionalisme
diuji pada saat-saat kritis. Saat, misalnya,
kepala daerah menghadapi pilihan yang sulit: memberikan izin kepada
waralaba asing atau merehabilitasi pasar tradisional. Keduanya berkontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, yang pertama berpihak pada konsumerisme
kelas menengah, sementara yang kedua pada lapangan pekerjaan bagi para pelaku
usaha kecil.
Rekam
jejak menyimpan integritas. Integritas adalah konsistensi dan ketahanan etis.
Nasionalisme membutuhkan konsistensi. Seorang pemimpin tidak bisa sesekali
memperhatikan kepentingan nasional, tetapi di lain waktu meloloskan protokol
internasional yang mengancam kepentingan nasional. Dia juga tidak bisa meneken undang-undang jaminan
sosial nasional, tetapi mengulur-ulur terbitnya peraturan turunan akibat lobi
perusahaan asuransi asing.
Nasionalisme
juga membutuhkan keberanian. Keberanian bukan sesuatu yang sekadar
diteriakkan di atas podium. Pemimpin harus berani menegosiasi ulang semua
kontrak karya yang merugikan republik. Semua pinjaman luar negeri dengan
bunga yang tidak masuk akal harus berani ditolak. Segenap hibah dengan
syarat-syarat tertentu yang di kemudian hari merugikan juga harus ditolak.
Nasionalisasi
perusahaan asing juga bukan sesuatu yang tabu dilakukan. Saat-saat kritis
menuntut langkah-langkah dramatis. Pemimpin kita nanti jangan kalah dengan
seorang perempuan Argentina bernama Cristina Fernandez. Cristina berani menasionalisasi
perusahaan Spanyol demi kepentingan rakyatnya.
Seorang
presiden bisa datang dari beragam latar belakang, mulai dari pengusaha,
akademisi, sampai militer. Namun, nasionalisme tidak mengenal latar belakang.
Seorang akademisi bisa saja lebih nasionalis ketimbang mantan petinggi
militer. Profesi tidak sebangun dengan konsistensi terhadap ideologi.
Konsistensi tersebut ditempa oleh pengalaman politik yang lama dan penuh
dinamika.
Oleh
sebab itu, siapa pun dia haruslah seorang politisi. Politisi bukan
dia yang piawai merebut kekuasaan, tetapi cakap memanfaatkan kekuasaan bagi
kepentingan bangsa dan negaranya. Dia
yang memakai kekuasaan untuk mendapatkan komisi dari lembaga-lembaga keuangan
asing jelas bukan politisi.
Apa pun,
tahun ini kita akan mendapatkan presiden baru. Sekilas, semua kandidat
sepertinya berpegang pada nasionalisme. Mereka tampil layaknya pembela
terdepan kepentingan bangsa dan negaranya. Namun, nasionalisme tidak bisa
ditemukan pada kesan-kesan yang dibangun iklan. Nasionalisme, sekali lagi,
tersimpan dalam rekam jejak, konsistensi, dan keberanian. Semoga kita
memperoleh pemimpin sedemikian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar