"Police
Line" untuk Kursi Plt Gubernur
Alfariz Maulana Reza ; Peneliti Muda di Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Universitas Andalas; Anggota KOMBAD JUSTITIA (Klub Debat dan Penulisan
Hukum) Universitas Andalas; Anggota ALSA LC Universitas Andalas
|
DETIKNEWS,
31 Januari
2018
Kekuasaan dan jabatan memang menjadi salah
satu kepuasan, tetapi untuk ada di posisi itu haruslah memperhatikan
garis-garis aturan. Belakangan ini terdengar kabar ditunjuknya jenderal aktif
sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara
menjelang dilangsungkannya Pilkada Serentak, Juni mendatang.
Usulan Mendagri tersebut tentu menimbulkan
pertanyaan dan kecurigaan dari berbagai kalangan. Banyak pro dan kontra
terkait seorang Jenderal Kepolisian aktif menduduki kursi tertinggi dalam
pemerintahan setingkat provinsi. Hal ini mengingatkan kembali pada zaman Orde
Baru di mana dikenal istilah Dwifungsi ABRI, yang menyebutkan ABRI mempunyai
dua tugas yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara, dan kedua
memegang kekuasaan, mengatur negara.
Dengan peran yang ganda itu militer
diizinkan untuk memegang posisi di pemerintahan, dan hal ini menyebabkan
militer terlalu jauh dalam pemerintahan, mempersempit ruang gerak sipil serta
adanya kecenderungan pemaksaan kehendak. Dan, lebih parahnya lagi ABRI tidak
bisa menjalankan tugas utamanya dengan baik yaitu menjaga keamanan.
Pasca 1998, Dwifungsi ABRI sudah dihapuskan
dan militer Indonesia sudah kembali ke rakyat, dan sekarang bisa lebih fokus
untuk menjaga keamanan negara dan mengayomi masyarakat. Pasca Orde Baru
struktur pemerintahan dan militer sudah disusun sedemikian rupa, juga bukan
tidak mungkin militer bisa mengisi jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) pada
instansi pusat dan jabatan tertentu di lingkungan TNI/POLRI yang bisa diduduki
Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi semua itu haruslah berdasarkan kompetensi
yang jelas.
Hal itu diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Pengisian jabatan ASN juga
harus memenuhi persyaratan kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan
pelatihan, rekam jejak jabatan, kesehatan, integritas, dan persyaratan
jabatan lain berdasarkan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Banyaknya faktor dan persyaratan yang harus
dipenuhi itu tentu diharapkan bisa menghasilkan output yang berkualitas pula,
tidak bisa hanya melihat satu faktor dan memaksakan kepentingan pribadi dalam
hal tersebut agar tak menjadi bumerang di kemudian hari. Menurut PP ini juga
prajurit TNI dan anggota Polri yang mengisi JPT pada instansi pemerintahan
selain instansi pusat tertentu sebagaimana dimaksud telah mengundurkan diri
dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang
ditetapkan melalui proses terbuka dan kompetitif.
Sejatinya untuk mengisi kekosongan jabatan
gubernur yang dapat menjadi pelaksana tugas (plt) adalah pejabat gubernur
yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan
gubernur sesuai dengan peraturan perundang-undangan; ini sudah tercantum
jelas dalam Pasal 201 Ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Tak
bisa dianalogikan jabatan tinggi di institusi Kepolisian/TNI dengan pimpinan
tinggi madya karena jabatan tinggi madya hanya untuk PNS, dan dalam bunyi
pasal tersebut tak disebutkan disebutkan juga kata "atau yang
sederajat".
Saat ramai publik membicarakan mengenai hal
ini, Kemendagri tampak mulai panik dan dengan cepat langsung menerbitkan
Permendagri No.1 Tahun 2018 yang ditandatangani pada 9 Januari 2018 di mana
dalam Pasal 4 ayat (2) berbunyi: Penjabat Gubernur berasal dari pejabat
pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi, dan
Permendagri ini menggantikan Permendagri sebelumnya yaitu Permendagri No. 74
Tahun 2016 di mana hanya membatasi PJ Gubernur hanya untuk pimpinan tinggi madya
Kementerian Dalam Negeri atau Pemda Provinsi.
Jika kita melihat kembali ke belakang, pada
tahun 2017 Mendagri juga pernah melantik Jenderal kepolisian menjadi seorang
Plt Gubernur yaitu Irjen Pol Carlo Brix Tewu yang menjadi Plt Gubernur
Sulawesi Barat, dan Mayjen Sudarmo di Aceh. Sekarang Mendagri mengusulkan
Jenderal aktif kepolisian untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur di
Sumatera Utara dan Jawa Barat yaitu Inspektur Jenderal Polisi M. Iriawan dan
Inspektur Jenderal Polisi Martuani Sormin dengan alasan untuk menjaga
stabilitas keamanan pra-pilkada, karena situasi pra-pilkada tentu akan sangat
panas dan berbeda dengan situasi sebelumnya.
Tetapi alasan tersebut sepertinya tidak
terlalu pas untuk menjadikan seorang jenderal aktif untuk memegang kendali
pemerintahan di suatu provinsi, karena urusan pengamanan di provinsi adalah
tugas kepolisian. Dan, Kapolda sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian provinsi
juga mempunyai tanggung jawab dalam hal ini. Kerawanan Pilkada tidak hanya
sebatas keamanan dari konflik saja tetapi banyak hal yang harus dijaga seperti
netralitas penyelenggara pemilu dan ASN, politik uang, dan SARA. Untuk itu
Plt Gubernur juga bisa berkoordinasi dengan Kapolda untuk menjaga stabilitas
keamanan pra-pilkada tersebut.
Walaupun jabatan plt itu hanya bersifat
sementara bukan berarti tak banyak masalah yang akan muncul nantinya. Tidak
hanya masalah keamanan tetapi bisa saja muncul masalah ekonomi, sosial,
politik, dan lain-lain. Untuk itu seorang plt gubernur haruslah orang yang
benar-benar bisa menjalankan pemerintahan dengan syarat-syarat yang mencukupi
atau pejabat yang mumpuni tidak hanya mengisi kekosongan kursi semata.
Mengusulkan pelaksana tugas (plt) memang
menjadi otoritas dari Mendagri, tetapi jangan sampai otoritas tersebut tidak
memperhatikan undang-undang yang ada, hingga pada akhirnya masyarakat
berpikir bahwa undang-undang yang ada hanya menjadi hiasan saja. Oleh karena
itu pemerintah seharusnya bisa lebih berhati-hati dan terus memperhatikan
garis-garis aturan yang ada, jangan sampai melewatinya dalam membuat suatu keputusan.
Jangan sampai masyarakat menganggap
pemerintah tak profesional dalam menjalankan tugasnya tersebut. Apakah harus
menunggu publik heboh dan banyak kritik yang masuk baru mulai memperbaharui
payung hukumnya? Dan, semoga saja pemerintah menjadi "anak yang
baik" dengan selalu mengikuti aturan-aturan yang sudah ada; bukannya
sudah ramai dibicarakan barulah kebakaran jenggot untuk bisa memuluskan
jalannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar