Melawan
Kotak Kosong dalam Pilkada
Jannus TH Siahaan ; Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran
|
DETIKNEWS,
31 Januari
2018
Melawan kotak kosong dalam Pilkada
sebenarnya memalukan, bukan justru membanggakan. Mengapa saya katakan
demikian? Karena ada cara pandang mainstream bahwa melawan kotak kosong
bermakna dominasi satu kandidat, baik popularitas maupun elektabilitas. Dominasi
semacam ini, dalam kacamata personal sang kandidat, adalah sebuah
"kehebatan". Bagaimana tidak, nyaris tak ada yang berani menantang
lantaran superdominasi tersebut.
Dalam kacamata sang kandidat, melawan kotak
kosong adalah sebuah indikasi ketangguhan yang berlebihan, sampai tak ada
yang bernyali untuk bersaing dalam kontestasi. Padahal, Pilkada adalah salah
satu mekanisme demokrasi yang sudah sedemikian rupa didesain agar semua pihak
berkesempatan untuk ikut bertanding. Kemudian pertanyaannya, apakah demokrasi
di tingkat lokal di mana Pilkada ternyata hanya mampu melahirkan satu
pasangan calon dianggap gagal? Boleh jadi demikian.
Tapi, apakah perlu kita menyalahkan
demokrasi? Toh selama ini demokrasilah yang kita jadikan justifikasi untuk
menumbangkan segala rezim yang aneh-aneh. Demokrasi kita jadikan
peluru-peluru untuk menyalahkan dan membenarkan banyak pihak. Dan, demokrasi
pula yang kita jadikan landasan untuk menjalankan Pilkada tersebut. Jadi,
agak kurang etis jika kita salahkan. Jika masih tetap bersemangat untuk
mencari yang salah, maka sebaiknya salahkan saja kotak kosong tersebut,
sepaket dengan lawan dan partai-partai yang mendukungnya.
Lebih dari itu, saya kira kita memang perlu
melirik demokrasi dalam kacamata pemerataan. Apakah demokrasi elektoral sudah
menyebar secara merata ke seluruh Indonesia dalam makna nan substantif atau
belum. Karena ternyata dari data yang ada, ada sekira 19 daerah yang akan
melangsungkan Pilkada kali ini mengalami defisit calon pemimpin. Di setiap
daerah tersebut, satu pasangan kandidat digadang-gadang akan berhadapan head
to head dengan kotak kosong.
Lihat saja, beberapa hari lalu Komisi
Pemilihan Umum (KPU) telah memastikan Pilkada 2018 di 19 daerah hanya akan
diikuti satu pasang calon atau calon tunggal. Jumlah calon tunggal lawan
kotak kosong pada Pilkada tahun ini meningkat dari Pilkada 2017. Pada tahun
lalu, dari 101 daerah yang menggelar pilkada, hanya ada sembilan daerah yang
diikuti satu pasangan calon. Memang, dapat dipahami mengapa terjadi peningkatan.
Salah satunya karena jumlah daerah yang mengadakan pun jauh lebih banyak
dibanding dua pilkada serentak sebelumnya.
Lantas apa kira-kira yang dirasakan oleh
pasangan calon yang ternyata harus berhadapan dengan kotak kosong? Pertama,
pastilah bahagia karena kemenangan langsung ada di depan mata. Tidak perlu
banyak pengorbanan politik lagi, terutama logistik. Kedua adalah bangga.
Merasa tak tertandingi. Merasa sebagai the only king in the town. Sebenarnya
lucu juga, dalam sebuah mekanisme demokrasi justru yang lahir adalah calon
raja.
Tak ada yang berani menyemplungkan diri
untuk bertanding dengan mereka karena yang dilawan adalah raja, alias yang
merajai daerah tersebut. Bedanya tipis saja, dalam kerajaan tak mengenal
wakil raja. Tapi, di dalam demokrasi elektoral lokal, kandidat raja sepaket
dengan wakilnya. Dan, jangan-jangan semua inkubator kepemimpinan di daerah
tersebut diketuai oleh mereka pula. Atau, setidaknya, kandidat tunggal
tersebut satu-satunya patron politik untuk semua pemimpin organisasi-organisasi
(inkubator kepemimpinan) di daerah tersebut. Ini baru sekedar asumsi saya
alias sekedar "jangan-jangan" saja. Semoga tidak.
Dan, yang ketiga...ya, semestinya ada jenis
perasaan ketiga yang dirasakan oleh kandidat yang akan berhadapan dengan kota
kosong, yakni malu. Kata yang saya asumsikan di awal tulisan ini. Mengapa?
Karena pertandingan yang seru adalah pertandingan yang dilakoni oleh dua atau
beberapa pihak dengan kapasitas kemampuan yang hampir sama (level playing
field). Ibarat memakai logika komparatif, harus apple to apple.
Nah, lantas jika kandidat di 19 daerah
tersebut harus melawan kotak kosong, maka dalam logika komparatif di atas,
sang kandidat pun sebenarnya berbeda tipis dengan kotak kosong yang menjadi
lawannya. Atau, jika mau sedikit menyopankan bahasanya, maka bisa dimaknai
kotak kosong selevel dengan para kandidat di 19 daerah tadi.
Tampaknya secara logika boleh jadi tak
terlalu salah, sekalipun saya hakul yakin tak ada satu pun dari kandidat di
19 daerah tersebut bersedia mengamininya. Tapi, ya begitulah. Secara logika
komparatif, pemenangnya sebenarnya adalah kotak kosong itu sendiri. Pasalnya,
sekalipun sebenarnya pemenangnya secara meyakinkan adalah pasangan tunggal
tersebut, toh level lawannya hanya kotak kosong. Jadi ya sama sajalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar