Jumat, 03 November 2017

Setelah Kongres Partai Komunis China

Setelah Kongres Partai Komunis China
Imron Cotan  ;   Duta Besar RI untuk Australia (2002-2005);
Duta Besar RI untuk RRC (2010-2013)
                                                    KOMPAS, 02 November 2017



                                                           
Pertemuan lima tahunan Kongres Nasional Partai Komunis China selama seminggu telah usai pada 25 Oktober lalu. Menjelang dan semasa kongres, perhatian para pengamat Republik Rakyat China tertuju ke Beijing dan didominasi spekulasi tentang susunan baru Komite Tetap Politbiro, organ politik tertinggi pengambil keputusan di RRC.

Berdasarkan ketentuan, 5 dari 7 anggota komite itu (Zhang Dejiang, Yu Zhensheng, Liu Yunshan, Wang Qishan, dan Zhang Gaoli) akan diganti karena telah melampaui batas usia pensiun (68 tahun) sehingga hanya menyisakan Presiden Xi Jinping (64) dan PM Li Keqiang (62).

Spekulasi juga marak tentang kemungkinan Presiden Xi mempertahankan Wang Qishan mengingat peran besarnya dalam memerangi kasus korupsi di negara itu, yang telah menaikkan popularitas Presiden Xi secara signifikan di mata rakyat China.

Berdasarkan tradisi pergantian kepemimpinan nasional RRC, calon pengganti Presiden Xi diharapkan akan dimunculkan pada kongres kali ini. Namun, yang terjadi justru antiklimaks. Kelima anggota baru Komite Tetap Politbiro (Li Zhanshu, Wang Yang, Wang Huning, Zhao Leji, dan Han Sheng) rata-rata telah berusia di atas 60 tahun sehingga tak satu pun dari mereka punya masa bakti yang cukup menggantikan Presiden Xi pada 2022.

Selama kongres, perhatian pengamat juga tercurah kepada salah satu bintang partai, Chen Min’er (57), sebab menjelang penyelenggaraan kongres ia mendadak dipromosikan menjadi Sekretaris Partai Komunis China (PKC) Kota Chongqing menggantikan Sun Zhengcai yang dipecat karena melanggar disiplin partai (korupsi). Kota Chongqing dikenal sebagai daerah ”penyemaian” pemimpin nasional RRC bersama selain Shanghai, Tianjin, dan Guangzhou. Ternyata Chen tak terpilih jadi salah satu anggota Komite Tetap Politbiro.

Dengan tak ditetapkannya seorang calon pengganti, masa bakti Presiden Xi tak dapat diprediksi walaupun konstitusi memberi batasan maksimal 10 tahun bagi seseorang untuk menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKC dan presiden. Dalam sejarah PKC hanya Mao Zedong dan Deng Xiaoping yang menyimpang dari ketentuan dimaksud.

Kemungkinan bagi Presiden Xi memerintah RRC sampai batas waktu yang tak dapat ditentukan diperkuat pula oleh kenyataan bahwa kongres memutuskan memasukkan pemikirannya ke dalam konstitusi partai sebagai panduan bagi partai menuju masa depan. Pencantuman nama Presiden Xi dalam konstitusi PKC itu mengandung makna bahwa ”serangan” terhadap diri- nya akan juga dipandang sebagai ”serangan” atas partai. Kembali, di dalam sejarah kontemporer RRC, hanya Mao Zedong dan Deng Xiaoping yang menyandang status sakral itu.

Pemimpin utama

Pertanda bahwa Presiden Xi akan mengikuti jejak kedua pemimpin besar RRC itu sesungguhnya telah dapat terdeteksi ketika PKC pada 2016 memberinya gelar ”pemimpin utama” (lingdao hexin). Penetapannya sebagai lingdao hexin serta pemasukan namanya ke dalam konstitusi pada dasarnya menegaskan bahwa pengambilan keputusan di negara itu saat ini sepenuhnya berada di tangan Presiden Xi. Dengan kata lain, yang bersangkutan diberi kebebasan menyusun konsep dan strategi mewujudkan RRC sebagai negara yang relatif makmur pada 2035 serta ”negara sosialis modern yang sejahtera, kuat, demokratis, berbudaya tinggi, harmonis, serta indah” pada 2050.

Terpilihnya Xi Jinping sebagai pengganti Presiden Hu Jintao tampak berjalan secara alamiah. Kedua faksi yang mendominasi politik dalam negeri RRC, faksi princelings (pemimpin yang berdasarkan garis keturunan tokoh revolusi) dan faksi tuanpai (pemimpin yang berasal dari Liga Pemuda), dapat menerima Xi sebagai calon pengganti Presiden Hu Jintao. Kedua faksi ”nyaman” dengan penampilan Xi yang rendah hati dan sederhana selama jadi pemimpin teras partai, termasuk ketika ia wakil presiden.

Sesungguhnya hal itu cerminan kemampuan dan kepiawaian pribadi Xi beradaptasi dan bermanuver di koridor kekuasaan di Beijing sehingga tidak dirasakan sebagai ancaman bagi para tetua partai. Selama 10 tahun penantian, sebagai wakil presiden, Xi hanya tampil dalam upacara seremonial dan menahan diri tak mengeluarkan pernyataan yang dapat memancing permusuhan.

Namun, itu tidak berarti bahwa Xi terbebas dari pergulatan kepemimpinan di RRC mengingat beberapa tokoh senior partai, seperti Zhou Yongkang dan Bo Xilai, berkolaborasi dengan pemimpin militer senior, seperti Jenderal Guo Boxiong dan Jenderal Xu Caihu, tetap berupaya keras menjegal Xi. Manuver mereka gagal. Setelah menjabat sebagai presiden, Xi memenjarakan keempat pejabat teras itu dengan tuduhan pelanggaran disiplin partai. Mereka dipecat dari PKC, suatu hukuman terberat dalam sistem ketatanegaraan RRC. Gerakan pembersihan Presiden Xi itu telah berhasil memenjarakan ribuan pejabat senior dan yunior PKC dan militer lainnya.

Dengan mandat politik yang luas itu, serta ditopang pertumbuhan ekonomi yang tinggi (sekitar 7 persen per tahun), cadangan devisa yang besar (sekitar 3,5 triliun dollar AS), serta alat utama sistem persenjataan yang cukup canggih dapat dipastikan RRC di bawah kepemimpinan Presiden Xi akan lebih trengginas dalam mengerahkan seluruh potensi kekuatan nasional negara itu memengaruhi pengambilan keputusan dan juga arah perkembangan kawasan dan global.

Cepat atau lambat, ketrengginasan RRC dimaksud akan menimbulkan dilema, sementara saat ini Amerika Serikat sebagai kompetitor strategis tak dapat diandalkan memainkan peran sebagai kekuatan penyeimbang, mengingat AS sedang disibukkan serangkaian agenda politik dalam negeri yang mendesak.

Pascakongres

Perkembangan baru RRC paskakongres tersebut seyogianya segera diantisipasi negara-negara di kawasan agar ketegangan yang selama ini memang telah berlangsung, terutama di kawasan sengketa Laut China Selatan, Laut China Timur, dan Semenanjung Korea, tidak semakin meningkat. Kegagalan negara-negara di kawasan mengelola dinamika itu akan berdampak jangka panjang, terutama terhadap upaya mereka meningkatkan rasa saling percaya, memelihara stabilitas kawasan, serta mempererat kerja sama kolektif di berbagai bidang.

Karena itu, merupakan suatu keharusan bagi negara-negara di kawasan untuk lebih erat merangkul dan meningkatkan dialog dengan RRC agar lingkungan kondusif yang dibutuhkan bagi kelangsungan program pembangunan mereka tetap terpelihara. Upaya RRC memenuhi aspirasinya menjadi kekuatan regional atau global tidak harus mengorbankan kepentingan nasional negara-negara di kawasan.

Sudah tiba saatnya bagi Indonesia menggagas aliansi strategis dengan India dan Jepang untuk secara kolektif menyelenggarakan serangkaian dialog dengan pemimpin baru RRC pascakongres agar kawasan ini tetap menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dunia. Sejauh ini, arsitektur kawasan berbasis ASEAN bak sebuah ”rumah kartu” yang mudah runtuh jika salah satu kartu (negara anggota) ditarik atau mendapatkan tekanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar