Minggu, 19 November 2017

Serangan Balik Ustaz Felix

Serangan Balik Ustaz Felix
Irfan L Sarhindi  ;  Pengurus Salamul Falah; Lulusan University College London; Associate Researcher Akar Rumput Strategic Consulting
                                                DETIKNEWS, 17 November 2017



                                                           
HTI, khilafah, dan Felix Siauw. Dalam banyak hal, ketiganya sering disatu-porsikan sebagai paket lengkap. Walau yang disebut belakangan juga dikenal oleh sebab bukunya yang berjudul Udah Putusin Aja! tapi ide-ide khilafah ala HTI tidak bisa lepas dari filsafat hidup Felix Siauw. Seiring dengan keyakinan bahwa Pancasila adalah tidak islami, bahwa khilafah (ala HTI) adalah kunci kebahagiaan dan janji Allah, tumbuh keyakinan bahwa Islam sedang, secara terstruktur, dilemahkan dan dihancurkan, baik oleh kafir Barat maupun oleh penguasa —presiden, politisi— yang "anti-Islam".

Felix tidak menyebut dirinya sebagai Pengurus HTI, tetapi ia mengakui bahwa keislamannya di-wasilahi oleh HTI, sehingga secara tidak langsung, popularitasnya bisa disituasikan untuk HTI melebarkan pengaruh dan doktrinnya. Sebagai ustaz yang aktif di Twitter, Felix suatu waktu secara terang-terangan pernah nge-tweet bahwa nasionalisme itu tidak ada dalil dan pahalanya. Tweet itu tidak mengejutkan mengingat konsep khilafah ala HTI memang bersifat internasionalisme, dan cinta Tanah Air dianggap tidak diajarkan Nabi Muhammad. Padahal, kalau Felix jeli mengamati adegan hijrah Nabi, dia akan menemukan fakta bagaimana Nabi amat cinta Tanah Airnya, Mekah.

Tetapi kita akan bergerak lebih cepat di sini. Nama Felix belakangan banyak disebut di mana-mana, terutama kaitannya dengan drama "pengusiran" di Bangil. Muncul sebagai tokoh yang diantagoniskan, dalam sudut pandang Felix dan pendukungnya, adalah Banser dan GP Ansor. Pengantagonisan itu eksplisit dalam "surat pernyataan" yang ditulis Felix dan kemudian menjadi viral: menjadi bahan rujukan olok-olok terhadap Banser; memicu pro-kontra bahkan di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) sendiri.

Bagi saya, dengan menggunakan analogi sepakbola, drama Bangil ini adalah serangan balik dari Felix. Walau NU kerap diposisikan secara diametris dengan Salafi Wahabi, dukungan NU terhadap Perppu Ormas (yang melegitimasi pembubaran HTI), membuat NU harus bertanding melawan HTI. Singkatnya, sebagaimana kita tahu, oleh sebab Perppu Ormas ini HTI dibubarkan, dan NU —sebagai lembaga— menyambut gembira hal tersebut. Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum HTI, bahkan sampai "mengingatkan" NU bahwa apa yang hari ini menimpa HTI, esok lusa bisa menimpa NU.

Tentu, bagi pengurus dan simpatisan HTI, Perppu Ormas telah berlaku diskriminatif dan mereka kemudian mulai "menantang" penguasa untuk membuktikan apa benar mereka anti-Pancasila. Agak mengherankan sebetulnya, mengingat Pancasila sejak lama mereka anggap sebagai thagut, demokrasi sebagai bukan anti-kekhilafahan, dan Indonesia dengan sistem ideologinya ini adalah negara kafir. Tak terkecuali Felix Siauw. Tapi menariknya, beberapa waktu setelah pembubaran HTI, Felix mengikuti maiyahan Cak Nun.

Felix secara eksplisit dalam akun pribadinya memuji dan berdecak kagum pada pengajian (dan pemikiran) Cak Nun. Baginya, Cak Nun telah melampaui "ustaz-ustaz lain", dan harmonisasi antara budaya dan Islam menjadi demikian mesra di tangan Cak Nun. Felix mengaku terinspirasi dari Cak Nun untuk mendakwahkan Islam secara lebih bijak dan kreatif. Kejadian ini memicu respons beragam. Di kalangan NU sendiri, kehadiran Felix dianggap sebagai pertanda untuk NU merangkul Felix, menawarkan sudut pandang Islam yang "Nusantarawi".

Di sisi lain, muncul juga pro kontra ihwal Cak Nun dan konsep kekhilafahan. Hal ini muncul ketika Cak Nun banyak menulis tentang khilafah pasca kehadiran Felix di pengajiannya. Tentu saja ini menjadi berita yang viral: Cak Nun mendukung khilafah! Seakan untuk membuktikan bahwa ke-anti-an khilafah yang dipertontonkan NU adalah salah dan keliru. Tetapi, Cak Nun kemudian mengklarifikasi bahwa pemahamannya akan khilafah berbeda (jauh) dengan pemahaman khilafah ala HTI. Alhasil, jika kehadiran Felix di pengajian Cak Nun bisa dianggap sebagai serangan balik dia terhadap NU (yang secara tidak langsung ikut "bertanggung jawab" atas bubarnya HTI), maka boleh jadi serangan balik ini tidak terlalu berhasil.

Kemudian, terjadilah demo menolak Perppu Ormas. Menolak PKI sekaligus menolak Perppu. Felix turut hadir dalam demo tersebut, bahkan memberikan orasi. Dalam kesempatan tersebut, Felix menyebut rezim Jokowi sebagai rezim Firaun, dan bahwa Perppu Ormas ini menandai deislamisasi. Islam, singkatnya, dalam realm pemikiran Felix, sedang dihancurkan, didomestikasi. Demo ini berakhir dengan riak-riak yang sepertinya tidak terlalu besar karena masyarakat disibukkan dengan pelbagai isu lain seperti kesaktian Setya Novanto.

Lalu, terjadilah peristiwa Bangil tersebut. Bukan kali pertama Felix "dilarang" untuk memberikan ceramah. Felix juga bukan satu-satunya. Tetapi, drama "pelarangan" dan "pengusiran" ini kemudian terasa bagai serangan balik yang cukup taktis dan merepotkan. NU yang menguasai "pertandingan" sepertinya terlena sehingga "terkejut" dengan serangan balik ini. Serangan balik ini menjadi "mengejutkan" dan "merepotkan" sejak pernyataan Felix yang memposisikan dia sebagai korban kezaliman "oleh ormas yang mengaku paling toleran", yang justru memperlihatkan sikap "anti Islam". Felix merasa didiskriminasi dan dijebak oleh Banser. Dengan kicauannya, diskursus yang muncul adalah: NU ternyata (juga) radikal, Banser tidak pro Islam, mereka punya double standard karena anti khilafah tapi "pemaaf" terhadap PKI.

Dari sana, kita diributkan oleh perdebatan yang seperti tiada habisnya. Meme, postingan, berita yang valid maupun tidak bergerak viral secara cepat. GP Ansor memberikan klafirikasi. Mereka beritikad baik menawarkan tiga persyaratan demi menjaga agar dakwah Felix tidak bermuatan ide khilafah ala HTI. Justru Felix sendirilah yang menolak dan memilih pergi. Felix, dengan demikian, dianggap playing victim. Dan, dengan memerankan diri sebagai korban ia sedang membangkitkan rasa iba dan dukungan, setidak-tidaknya dari para fansnya —dan/atau orang-orang yang tidak suka terhadap NU.

Tetapi, kejadian Bangil juga rupanya direspons tidak seragam di tubuh NU. Sebagian menyalahkan Banser yang dianggap ceroboh. Nadirsyah Hosen sampai harus mengklarifikasi dan mengajak NU satu suara. Banser, ujarnya, selama ini menjadi garis depan menjaga NKRI, masak kita sebagai keluarganya juga malah mendiskreditkan mereka? Dengan polemik model demikian, tidak diragukan lagi bahwa serangan balik ini cukup membahayakan —walau terlalu jauh untuk bilang serangan ini berbuah gol pembalik keadaan.

Hanya, perlu diingat pula bahwa hal serupa pernah terjadi juga saat drama "pengusiran" Khalid Basalamah. Simpati kepada "korban" meningkat di satu sisi, citra negatif terhadap Banser juga meningkat di sisi lain. Buah simalakama, memang. Maju kena mundur kena. Apalagi kalau Felix, dengan narasi yang ia bangun, kemudian mengkomparasi "kezaliman" yang menimpanya sebagai mirip dengan yang dialami oleh Rasul. Repotlah.

Tentu butuh kedewasaan di era cepat dan mudahnya informasi bergulir. Dan, dengan mempertimbangkan kemampuan literasi masyarakat Islam di Indonesia yang masih rendah, sepertinya kita masih seperti sekumpulan kanak-kanak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar