Rabu, 01 November 2017

Praksisme Pancasila

Praksisme Pancasila
Ahmad Syafii Maarif  ;   Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
                                                   REPUBLIKA, 17 Oktober 2017



                                                           
Jika masih ada saja orang yang mempersoalkan Pancasila sebagai dasar filosofi dan ideologi negara, maka orang tersebut jelas buta sejarah dan bacaannya sungguh sangat terbatas dan tidak bermutu. Atau mereka itu hidup dalam angan-angan sesat yang sarat dengan utopia.

Dulu PKI memandang Pancasila cuma sebagai alat pemersatu, bukan sebagai filosofi dan ideologi negara. Sementara itu partai-partai Muslim yang semula mengajukan Islam sebagai dasar negara, melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang menegaskan “bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut,” maka sebenarnya sebuah kompromi ideologis kenegaraan sudah tercapai, sekalipun ada partai Muslim yang tidak puas.

Dekrit 5 Juli itu telah mengakhiri secara formal periode Demokrasi Parlementer yang dimulai secara konstitusional sejak 1950 di bawah payung UUDS 1950. Sejalan dengan perubahan mendasar ini, maka sejak 5 Juli 1959 setiap gerakan atau pendapat tentang dasar negara yang bertujuan mengganti Pancasila menjadi tidak mungkin dan tidak dibenarkan, kecuali bila Majelis Permusyawaratan Rakyat pilihan rakyat menghendakinya sesuai dengan Fasal 37 UUD 1945.

Ditinjau dari nuansa zaman tahun 1959 itu, Dekrit 5 Juli itu bagi sebagian partai dipandang sebagai pemaksaan penguasa agar kekuasaan negara terpusat di satu tangan.

Ada tiga butir isi Dekrit itu: 1. Pembubaran Majelis Konstituante; 2. Menetapkan UUD 1945 berlaku kembali dan UUDS tidak lagi berlaku; 3. Pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara) dalam waktu singkat. Jika kemudian Dekrit 5 Juli telah melahirkan sistem politik otoritarian, sungguh patut disesalkan, sesuatu yang menyimpang jauh Pancasila.

Sebenarnya Pancasila sebagai Dasar Negara dengan redaksi yang sedikit berbeda, tidak pernah tersingkir dari konstitusi-kontitusi Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan. Tetapi rumusan yang digunakan sejak Dekrit 5 Juli adalah rumusan yang terdapat dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dengan catatan tujuh perkataan yang semula mengiringi sila pertama Ketuhanan yang berbunyi:”…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” dihilangkan pada 18 Agustus 1945, demi keutuhan bangsa dan persatuan nasional.

Sila pertama ini kemudian disempurnakan menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa pada 18 Agustus 1945. Begitu juga seluruh butir dalam Pembukaan UUD 1945 adalah warisan Piagam Jakarta minus tujuh perkataan yang dihilangkan itu.

Sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai hari ini redaksi Pancasila tidak pernah lagi mengalami perubahan, sudah berjalan selama 58 tahun. Pertanyaan utamanya tetap saja tak berubah: apakah sila ke-5 Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai tujuan kemerdekaan bangsa sudah menjadi kenyataan? Jawabannya: sama sekali belum! Masalah keteledoran fundamental inilah yang mengganggu perjalanan sejarah modern Indonesia untuk maju lebih cepat dan percaya diri.

Ke depan tidak ada pilihan kecuali negara wajib mengarahkan seluruh langkahnya untuk memecahkan masalah yang sangat serius ini. Jika proses keadilan ini tetap tersedat-sendat, kita cemas kerusuhan sosial bisa meledak lagi. Ini akan menghancurkan semua yang sudah dengan susah payah dibangun dengan biaya yang tinggi.

Tetapi alangkah sukarnya para politisi Indonesia diajak untuk bersama-sama negara mau memusatkan perhatian kepada tegaknya keadilan sosial ini dalam tempo yang tidak lama.

Tuntutan rakyat itu sebenarnya tidak banyak. Sekiranya sudah cukup pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan buat anak-anaknya, mereka sudah bahagia. Indonesia dengan sumber daya alamnya yang masih tersisa, jika tidak salah urus, sebenarnya dapat jadi contoh bagi bangsa Muslim lainnya dalam hal tegaknya keadilan dan meratanya kemakmuran. Pesan Pancasila untuk meraih tujuan mulia ini sudah terang benderang, tetapi mengapa para elitenya tidak juga faham?  

Kerentanan dan kegelisahan masyarakat miskin ini sungguh sangat beralasan. Dalam Resonansi di bawah judul “Nasionalisme Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa” tertanggal 20 Juni 2017, saya mengaitkannya dengan masalah penguasaan tanah yang sangat tidak adil: 93 persen tanah Nusantara berada di tangan konglomerat (domestik 80 persen, asing 13 persen). Sisanya yang tinggal 7 persen inilah yang menjadi sumber penghidupan lebih dari 250 juta rakyat Indonesia.

Ketimpangan yang serius ini terjadi di sebuah negara dengan Pancasila sebagai dasar filosofisnya. Angka statistik ketimpangan ini saya kemukakan lagi dalam rapat UKP-Pancasila pada 4 Oktober 2017 yang lalu untuk disadari bersama secara mendalam dalam upaya mempertautkan idealisme Pancasila dengan dimensi praksismenya yang dibiarkan telantar sekian lama.

REPUBLIKA, 24 Oktober 2017


Tetapi harus diingat bahwa ketimpangan penguasaan tanah di atas tidak semata-mata karena ulah konglomerat. Negara --dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah—yang memberi fasilitas kepada mereka mesti bertanggung jawab mengapa para konglomerat itu diberi izin sampai sejauh itu.

Juga karena konglomerat itu pasti menggunakan jasa perbankan, maka para bankir mesti pula ikut menanggung dosanya. Oleh sebab itu, masalahnya sudah sangat mendesak agar negara melalui UU Agraria secepatnya menata dan mengatur kembali hak penguasaan tanah itu, demi pulihnya wibawa dan penguatan Pancasila dalam bentuknya yang kongkret, bukan dalam teori dan kajian akademis.

Itu baru contoh di bidang pertanahan. Di bidang lain, seperti dalam perundangan-undangan amat perlu dikaji kembali mana-mana yang sejalan dengan Pancasila yang harus diperkuat dan bagian mana pula yang berlawanan dengannya yang harus diubah. Ini jelas pekerjaan besar yang memerlukan otak besar dan kemauan politik dari negara. Tanpa gerakan besar ke arah tegaknya keadilan ini, Indonesia akan tetap saja digoyang oleh berbagai kegaduhan dan kerentanan sosial yang bisa mengancam masa depan eksistensi bangsa dan negara ini, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Dari berbagai sumber yang dapat dipercaya didapat keterangan bahwa pemerintah Jkw-JK dalam tenggat waktu tiga tahun telah membangun infrastuktur yang luar biasa hebatnya di seluruh negara. Sepengetahuan saya, pembangunan raksasa ini belum pernah terjadi sebelumnya sejak kita merdeka.

Minggu pertama Oktober ini, seorang menteri menemui saya di Jakarta untuk menceritakan betapa seriusnya pemerintah membangun infrastuktur yang sekian lama terbengkalai. Juga harus dicatat pada periode yang lalu terdapat puluhan proyek besar yang mangkrak yang menjadi beban pemerintah berikutnya.

Tuan dan puan bisa membayangkan berapa triliun rupiah yang menguap akibat kecerobohan pembangunan ini. Proyek pusat olahraga Hambalang hanyalah salah satu di antara yang mangkrak itu, selain sekitar 15 proyek rumah sakit yang tidak dirampungkan oleh pemerintah sebelumnya. Sejak proklamasi kemerdekaan, terutama sejak 1959, karena kelemahan perencanaan dan pengawasan pembangunan nasional kita, sungguh bangsa dan negara ini telah membuang waktu secara sia-sia selama puluhan tahun dengan dana APBN dalam jumlah ribuan triliun. 

Pembangunan infrastuktur ini tentu tidak bisa cepat dirasakan hasilnya, tetapi harapan perbaikan sudah berada di depan mata. Semua orang dapat menyaksikannya. Bahwa di sana-sini masih banyak terdapat kebocoran anggaran, itu semua sudah jadi rahasia umum karena mentalitas koruptif bangsa ini yang belum sembuh juga, jika bukan malah semakin parah. Yang masih hangat adalah proyek E-KTP yang heboh itu dengan melibatkan nama-nama besar.

Negara Indonesia memang sarat dengan situasi yang serba antagonistik. Pembangunan nasional berlangsung dengan gencar, tetapi korupsi yang menggerogotinya juga tidak kurang dahsyatnya. Maka jadilah Indonesia terjepit dan tersandra antara pembangunan dan rongrongan korupsi yang tidak pernah jera. Nyaris saban hari kita diberi tahu adanya OTT KPK terhadap pejabat publik yang jumlahnya sudah ratusan.

Kelakuan hitam mereka yang telah mengkhianati sumpah jabatannya itu bila disandingkan dengan idealisme Pancasila, alangkah sangat memalukan dan telah menghancurkan martabat mereka sebagai manusia beradab. Sebagian mereka malah terus tersenyum, padahal tangannya sedang diborgol. Jenis makhluk macam apa ini?

Indonesia raya kini sedang berada dalam pertarungan dan benturan ketegangan antara idealisme Pancasila yang serba luhur dan dimensi praksismenya yang masih tunakeadilan dan tunakeadaban. Maka sila kedua dan kelima Pancasila: “Kemanusiaan yang adil dan berdab” dan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” wajib memenangkan pertarungan itu, sebab kekuatan daya tahan bangsa ini akan sangat tergantung kepada capaian kemenangan itu.

Jika kita semua sudah sadar akan makna tanggung jawab kita terhadap bangsa dan negara, maka kita harus  bergerak bersama dengan tekad yang padu untuk secepatnya mendekati tujuan kemerdekaan. Yakinlah bahwa kemenangan itu pasti akan berada di pihak praksisme Pancasila yang sudah bergandengan tangan dengan dimensi idealismenya karena berhasil dibawa turun ke bumi kenyataan. Oleh sebab itu, elite bangsa ini harus berhenti menelikung Pancasila dengan kelakuan koruptif dan busuk, seperti dipertontonkan selama ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar