Generasi
Milenial, Modal Sosial, dan
Keteladanan
Politik
Dimas Oky Nugroho ; Pengajar dan Pengamat Isu-Isu Sosial Politik,
Kepemudaan dan
Kewirausahaan Sosial
|
DETIKNEWS,
20 November
2017
Pengalaman dan kearifan kita
mengajarkan bahwa penekanan pada pembangunan ekonomi dan politik yang
meninggalkan konsentrasi secara sungguh-sungguh pada aspek human capital
(pembangunan manusia) serta aspek penguatan social capital (modal sosial)
hanya akan menghasilkan dampak persoalan yang akut dan kompleks. Mulai dari
kesenjangan sosial, ketidakmerataan pembangunan, ketimpangan sumber daya
manusia, rendahnya partisipasi, lemahnya daya saing, dominasi elite dalam
politik, eksploitasi dan korupsi, radikalisme, sampai masyarakat yang saling
curiga, mudah terprovokasi, dan rentan konflik.
Inti dari model pembangunan
yang esensial, berkemanusiaan dan berkelanjutan sejatinya adalah meletakkan
strategi pembangunan manusia dan penguatan modal sosial sebagai dua fondasi
yang terintegrasi. Kombinasi keduanya mengutamakan pentingnya aspek
kapasitas-integritas individu warga negara, serta kemampuan sosial,
kegotong-royongan, dalam membangun kolaborasi dan komunitas negara-bangsa.
Tujuh puluh dua tahun sudah
Indonesia Merdeka. Dengan segala drama politik dan turun-naik ekonominya,
satu hal secara hikmat dan bijaksana telah kita sadari. Bahwa, apapun upaya
pembangunan politik dan institusionalisasi demokrasi, proses pembangunan dan
produk pertumbuhan ekonomi, serta kehadiran regulasi dan usaha penegakan
hukum yang dijalankan oleh sebuah sistem akan menjadi timpang, rapuh,
konfliktual, inkonsisten dan nyaris sia-sia jika dilakukan tanpa strategi
membangun manusia dan komunitas (setting sosial-ekonomi individu dan
antarindividu) secara lebih serius, lebih fokus, lebih disiplin, dan lebih
kerja keras.
Pembangunan manusia ini dalam
konteks sosiologi meliputi faktor keberdayaan dan kualitas seorang manusia
dalam menjalani kehidupannya secara mandiri dan bernilai positif. Hal ini
khususnya meliputi aspek edukasi dan pengetahuan, bakat dan keahlian untuk
aksesnya terhadap perikehidupan yang layak, serta karakter positif, kebajikan
diri dan perilaku sosial yang diperlukan oleh setiap manusia secara merata
tanpa terkecuali, untuk berkembang secara sehat, otonom, produktif dan dapat
memberi manfaat bagi lingkungan masyarakatnya.
Dalam halnya individu atau
para-individu 'berdaya' yang bertemu, berjejaring, berkumpul dan bekerja sama
serta berkontribusi memberi keteladanan dan manfaat bagi masyarakatnya inilah
terletak sebuah lanskap modal sosial yang dibutuhkan sebuah bangsa. Dalam
perspektif sosiologis, modal sosial ini dapat bermakna jejaring sosial yang
dimiliki oleh individu yang dapat membawa peningkatan kapasitas, akses, dan
implikasi-implikasi sosial ekonomi dan sosial budaya pada individu atau
komunitas (Anderson, 2010).
Bagi peneliti modal sosial
bernama Nan Lin (2001), modal sosial harus lebih terukur. Ia terletak pada
sumber-sumber yang menjadi hasil atau implikasi sosial ekonomi dari
terjadinya koneksi sosial tadi. Yakni, berupa peningkatan posisi, akses
informasi, dan keuntungan ekonomis yang diperoleh dari jejaring yang dibangun
dan dimiliki tersebut. Namun, jika hanya merujuk pada hasil implikasi
keuntungan individu semata kita akan mudah terjebak pada individualisme,
pragmagtisme, dan dominasi dalam mengeksploitasi berbagai koneksi sosial yang
tersedia. Semua itu pada gilirannya mengakibatkan munculnya kesenjangan,
ketidakpedulian, ekstremisme, dan konflik.
Peneliti lainnya, Robert Putnam
(2000), sebaliknya melihat modal sosial lebih ditekankan pada aspek
keberadaan koneksi, jejaring atau relasi itu sendiri daripada aspek
sumber-sumber daya atau implikasi dari koneksi sosial tadi. Persahabatan,
komunitas, dan berbagai bentuk asosiasi sosial adalah sebuah wujud konkret
kekayaan sosial itu sendiri. Dalam pandangan Putnam, modal sosial lebih
mengutamakan aspek pembangunan relasi sosial dan keadaban publik yang
terjalin di atas koneksitas positif dan tulus yang berlangsung antara suatu
individu/komunitas yang satu dengan individu/komunitas yang lain.
Pancasila dan gotong royong
merupakan modal sosial paling fundamental bagi negara-bangsa Indonesia.
Ketika keberdayaan positif tiap-tiap individu (human capital) terjadi secara
merata lalu kebersatuan, keguyuban, dan kerja sama antarwarga yang majemuk
dapat dijalankan di tiap tingkat jejaring komunitas yang berkontribusi
membangun penguatan kolektivitas kebangsaan secara positif (social capital),
maka menurut saya pembangunan nasional Indonesia sudah berada di jalur yang
benar, mendasar, dan berkelanjutan.
Teladan dan Ikhtiar Kepemimpinan
Di tengah merebaknya
kesablengan dalam atmosfer politik Amerika hari-hari ini, sebuah acara
digagas oleh mantan presidennya, Barrack Obama. Ikhtiar dilakukan untuk
memperkuat aspek citizenship dan social capital yang mereka butuhkan untuk
menjawab antagonisme politik yang berkembang.
Sejumlah civil leader atau
pemimpin-pemimpin komunitas berpengaruh diundang ke Chicago untuk saling
berbagi dan berdiskusi. Mereka berasal dari berbagai latar belakang
sosial-suku-agama-profesi yang berbeda, tak hanya dari Amerika, namun juga
dari sejumlah negara. Dalam acara yang dinamakan #ObamaSummit tersebut, para
peserta yang diundang –kebanyakan kaum muda– adalah individu-individu yang
berkarakter positif, dan aktif berpartisipasi membangun komunitas serta
merekatkan dan memajukan bangsanya.
CEO Obama Foundation, David
Simas, yang juga mantan Direktur Politik di Gedung Putih era pemerintahan
Obama dalam kesempatan itu menyampaikan pernyataan yang inspiratif. Bahwa,
suatu perubahan hanya akan terjadi ketika tiap individu yang berdaya saling
berinteraksi secara inklusif, positif, dan saling menghormati (kemajemukan)
serta memperkuat satu sama lain. Dan, membawa semangat tersebut ke dalam
sebuah aksi bersama.
Sekilas jika diperhatikan
#ObamaSummit ini sesungguhnya sangat Pancasilais, Saudara-saudara! Di
Indonesia, inisiatif-inisiatif sedemikian harus kembali kita marakkan. Untuk
mewujudkannya negara harus lebih berperan, namun tak bisa lagi sendirian.
Negara harus melibatkan kolaborasi dari berbagai kekuatan masyarakat sipil,
dan juga inisiatif masyarakat ekonomi yang berintegritas.
Setahu saya tidak begitu banyak
saat ini program masyarakat sipil yang independen, konsisten, tulus, dan
berkelanjutan yang fokus dalam memperkuat akselerasi pembangunan human
capital dan social capital ini.
Di tengah kesablengan atmosfer
politik yang kurang lebih sama –antara lain ditandai dengan bertebarannya
hoax, fitnah politik, dan integritas para politisi, sejumlah anak muda
menggagas sebuah short course 'sekolah' pemimpin muda bernama Kader Bangsa
Fellowship Program (KBFP). Program yang telah masuk pada angkatan ketujuh ini
bertujuan mengundang champion-champion muda terpilih di masing-masing
komunitas, dari Aceh sampai Papua untuk diperkuat aspek human dan social
capital-nya. Harapannya kelak mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa
depan yang dapat menjadi teladan, bermanfaat, dan paripurna ikhtiar
kepemimpinannya.
Pada KBFP Angkatan III tahun
2011, para peserta saat itu beruntung bisa beraudiensi dengan seorang wali
kota inspiratif dari Solo yang mengutamakan pembangunan manusia, penguatan
kewargaan, dan modal sosial sebagai ikhtiar kepemimpinannya. Wali kota itu
bernama Ir. H. Joko Widodo. Saat itu pun, mendengar paparan pendekatan
kepemimpinan yang dilakukannya, baik panitia maupun peserta telah menduga
bahwa sosok ini layak, dan kelak —dan memang kemudian terbukti— menjadi
Presiden Indonesia.
Sebagai penutup, strategi
pembangunan manusia dan penguatan modal sosial ini sangat dibutuhkan dan
penting ditujukan bagi anak muda kekinian. Namun, harus disadari bahwa para
milenial ini tidak memerlukan basa-basi; yang utama bagi mereka adalah sebuah
keteladanan, ikhtiar nyata, dan kemuliaan para pemimpin baik itu di komunitas
terdekatnya, dan wawasan negara-bangsanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar