Ada
Ananda di Antara Ahok dan Anies
Iswandi Syahputra ; Pengamat Komunikasi;
Dosen UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
15 November
2017
Seperti halnya Ahok, Anies juga
sesungguhnya adalah aset bangsa. Dalam skala berbeda, keduanya memberi
kontribusi yang juga berbeda pada bangsa Indonesia.
Tidak ingin membandingkan, tapi
ini harus diajukan untuk menjernihkan dan menetralisir fikiran.
Bahkan jauh sebelum menjadi
menteri Pendidikan dan Gubernur DKI Jakarta, Anies sudah aktif memberi
kontribusi pada bangsa melalui gerakan 'Indonesia Mengajar' pada tahun 2009.
Sebagai Rektor Paramadina, pada
rentang 2007-2015 Anies juga dikenal memiliki kontribusi pemikiran pada
berbagai persoalan bangsa. Paramadina, kampus yang mengusung gagasan tentang
relasi baru Keindonesiaan-Keislaman khas pemikiran Nurkholis Madjid ini
dikenal salah satu basis pemikiran sekuler. Itu pula sebabnya Anies sering
diplot masuk dalam barisan intelektual sekuler-liberal.
Jauh sebelum itu, saat menjadi
mahasiswa UGM, dengan kapasitas dan jabatannya sebagai Ketua Senat UGM tahun
1992, Anies dikenal memiliki pemikiran yang cemerlang. Pendirian BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa) merupakan salah satu gagasan cemerlang Anies saat itu.
Karena kecemerlangan dan kejernihannya Anies didapuk sebagai
moderator debat Capres 2009.
Saat menjadi pelajar, pada
tahun 1987, dia terpilih untuk mengikuti program pertukaran pelajar AFS dan
tinggal selama setahun di Milwaukee, Wisconsin, Amerika Serikat.
Kita telisik lebih jauh lagi,
Abdurrahman Baswedan kakek Anies juga merupakan diplomat cemerlang yang
pernah dimiliki Indonesia. Dia seorang nasionalis, jurnalis, pejuang
kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan juga sastrawan Indonesia. AR Baswedan
pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir,
Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota
Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. AR Baswedan adalah salah satu
diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de
facto pertama bagi eksistensi Republik Indonesia yaitu dari Mesir.
Saat menjadi aktivis mahasiswa,
tahun 1994 saya berkunjung ke rumah orang kakek Anies di kawasan Jalan Dagen,
tidak jauh dari Malioboro terlihat sederhana tapi memiliki pustaka dengan
kumpulan buku yang langka. Berbeda dengan rumah orang tua Ahok yang megah di
Belitung Timur yang saya kunjungi tahun ini.
Satu-satunya yang bikin saya
kecewa pada Anies saat dia masuk terperangkap dalam lembah saling
menyampaikan ujaran ketidaksukaan saat Pilpres 2014 lalu. Suatu sikap yang
jauh dari karakter Anies yang santun, jernih dan sejuk.
Tapi dari peristiwa itu saya memahami
pelajaran bahwa "memilih teman dan lingkungan dapat mempengaruhi
fikiran, ucapan dan tindakan".
Belakangan saat lakukan riset
tentang polarisasi netizen di media sosial awal tahun ini, saya jadi mengerti
ada 2 arus besar kelompok politik pada era post trust saat ini, konservatif
dan liberal. Dua polarisasi ini nanti kelak yang akan mewarnai wajah politik
domestik kita. Dari dua polarisasi ini pula kita bisa memahami sikap Walk Out
Ananda saat mengikuti perayaan HUT 90 tahun Kanisius yang dihadiri Anies
Baswedan.
Sekali lagi, tidak ingin
membandingkan, jika diajukan pertanyaan apa yang dilakukan Ahok untuk bangsa
ini pada tahun 1987, 1992, 2005, 2009, jauh saat Ahok belum menjadi Wakil
Gubernur DKI Jakarta 2012? Saya sendiri tidak bisa menjelaskannya.
Jernihkan fikiran dengan cara
membandingkan
tahun
2012 Ahok terpilih sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi.
Suatu kemenangan politik yang penuh drama, mengingat saat itu Jokowi dan Ahok
hanya orang daerah yang belum menjadi apa-apa. Tapi semua pihak menerimanya
dengan legawa. Pilkada persitiwa politik, politik adalah permainan dan
permainan sudah selesai.
Dalam pandangan saya, 100 hari
pertama kepemimpinan Jokowi-Ahok publik menerima dengan penuh harap ada
perubahan. Dalam pandangan saya, 100 hari pertama boleh dikata publik cukup
puas (paling tidak dalam pandangan saya) dengan kepemimpinan Jokowi-Ahok.
Tiga hal saja yang paling
tampak dilihat, keputusan membangun MRT, pembangunan taman kota dan berbagai
kejutan birokrasi melalui blusukan Jokowi.
Polemik publik mulai mencuat
saat Jokowi maju sebagai Capres. Sikap ini dianggap mengingkari janji. Tapi
sudahlah, itu urusan politik. Jokowi terpilih jadi Presiden, Ahok naik
menjadi Gubernur menggantikan Jokowi.
Hal ini berimplikasi pada penolakan
sekelompok kecil masyarakat hingga memunculkan Gubernur DKI tandingan saat
itu. Tapi ini tidak meluas, karena dianggap hanya mewakili identitas politik
Islam dari kelompok tertentu di Jakarta. Publik cukup fair memberi penilaian.
Artinya, umat Islam khususnya DKI Jakarta masih mampu berfikir rasional pada
kepemimpinan Ahok. Hingga 100 hari pertama kerja Ahok sebagai Gubenur nyaris
tidak ada hambatan dan tekanan.
Sampailah pada kasus 'Al-Maidah
51'. Ini menjadi titik puncak yang mengkonsolidasi polarisasi kelompok
konservatif dan liberal. Sebelumnya muncul berbagai isu kontroversial dari
kebijakan Ahok sebagai Gubernur DKI, mulai dari larangan takbir hari raya
hingga larangan memotong hewan kurban di kompleks sekolah. Jadi, memang sudah
ada semacam gejala memarjinalkan satu kelompok.
Momentum 'Al-Maidah 51' menjadi
puncak dari keresahan yang terpendam. Ini normal, bisa terjadi pada kelompok
manapun yang keyakinan religiusnya terusik.
Jika kita kembali pada
kepemimpinan Anies yang dilantik 16 Oktober lalu, belum melewati 100 hari
kepemimpinan, berbagai tekanan dan bully bertubi ditujukan pada Anies dan
Sandi. Seakan kita lupa bagaimana 100 hari pertama Ahok jadi Gubernur atau
100 hari pertama Jokowi jadi Gubernur.
Seperti Ahok, Anies butuh
Kritik bukan Intrik
Dalam
pandangan saya, sebaik-baiknya Ahok, dia tetap manusia yang punya salah.
Perlu dikritik, bukan dipuja dan dipuji. Sejak awal, kritik saya untuk Ahok
pada karakter kasar dan tempramentalnya yang selalu dipamerkan. Bagi saya ini
tidak baik untuk generasi mendatang.
Kritik saya untuk Anies, memang
sulit menjadi negarawan berkarakter pada era post trust saat ini. Dan
kelemahan Anies di mata saya adalah politik oportunis yang melekat dalam
dirinya. Kelemahan ini juga sebenarnya dimiliki Ahok. Oleh sebab itu, dalam
posisi sebagai aset bangsa, keduanya tetap perlu diberi kritik sebagai kritik
bukan kritik sebagai intrik.
Kasus Walk Out (WO) Ananda saya
menilai jauh dari kritik, ini cenderung pada aksi atau sikap politik. Bagi
saya ini hal wajar, ada bagusnya sebagai pola baru sistem kontrol publik
terhadap kekuasaan. Asal dilakukan dengan pertimbangan rasionalitas publik,
bukan dendam politik apalagi mendasarinya dengan kebencian dan dendam
politik.
Motif dan argumen WO Ananda
menjadi hal penting yang harus dinilai dan diperiksa oleh publik. Berita
menyebutkan bahwa Ananda WO karena sosok Anies yang diundang di acara itu
dinilai tak mencerminkan nilai-nilai ajaran Kanisius.
Saya tidak paham sikap Anies
yang seperti apa yang tidak mencerminkan ajaran Kanisius? Jikapun dalam
pandangan Ananda, Anies tidak mencerminkan ajaran Kanisius, apakah Ananda
yakin semua yang hadir dalam acara tersebut mencerminkan ajaran Kanisius?
Lantas, apakah sikap WO saat tamu yang diundang resmi itu mencerminkan ajaran
Kanisius?
Sebagai Canasian, Ananda
seharusnya ingat motto "Ad maiorem Dei Gloriam" (Demi semakin
bertambahnya kemuliaan Tuhan). Memuliakan manusia, bagian dari jalan
memuliakan Tuhan.
Sebagai peneliti media sosial,
saya melihat ini hanya sebagai aktualisasi gambaran dari polarisasi kelompok
politik liberal yang terpersonifikasi pada sosok Ahok yang semakin mengeras
di jagad media sosial. Jadi masih tidak jauh dari persoalan Pilkada DKI
Jakarta.
Jika pandangan saya ini benar,
tampaknya Ananda masih perlu belajar tentang toleransi (politik) dengan lebih
arif dan bijak.
Republik ini butuh kejernihan
politik, bukan kekeruhan politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar