Isu
Kebangkitan PKI Jadi Ritual Tahunan
|
Sebenarnya saya sudah sangat bosan bicara tentang isu
kebangkitan PKI, tetapi tetap saja telah jadi ritual tahunan setiap bulan
September/Oktober. Bacaan saya semuanya ini terkait dengan perjuangan
kekuasaan di Indonesia yang ibarat api dalam sekam sejak beberapa tahun yang
lalu. Resonansi pada 11 dan 18 Juli 2017 di bawah judul “PKI dan Kuburan
Sejarah” telah berupaya mendudukkan masalah ritual tahunan ini sebaik
mungkin. Saya paham dan merasakan betul betapa ngerinya langkah politik PKI
pada masa jayanya.
Tetapi juga betapa perihnya nasib mereka yang
dikategorikan sebagai keturunan PKI diperlakukan selama bertahun-tahun pada
era Orde Baru (Orba). Luka sejarah ini harus disembuhkan demi masa depan
Indonesia yang lebih beradab. Langkah penyembuhan ini telah dengan manis
ditunjukkan oleh putri Njoto Svetlana dan putri DI Panjaitan Catharine,
sebagaimana yang saya tulis dalam Resonansi 18 Juli di atas. Di masa PKI jaya
sangat populer nama trio Aidit-Lukman-Njoto sebagai pimpinan puncak partai
komunis terkuat ketiga setelah Uni Soviet dan Cina. Dan trio ini dapat payung
perlindungan dari penguasa saat itu. Kini semuanya sudah berlalu, sudah remuk
berkeping-keping dan berdarah-darah dengan meninggalkan kenangan suram dan
pahit.
Tidak saja PKI yang remuk, lawan politik paling depannya,
Partai Masyumi, telah lebih dulu
diremukkan pada akhir tahun 1960 antara lain karena dorongan sangat
kuat dari PKI. Sekali lagi, ini semua sudah berlalu, sekalipun masih tersisa
dalam ingatan kolektif sebagian kita. Sebagai simpatisan berat Masyumi di era
itu, perasaan saya saat partai ini diperintahkan bubar tidak saja marah,
tetapi juga memendam rasa dendam bertahun-tahun, mengapa partai pembela
demokrasi dan konstitusi ini dizalimi dengan dalih sebagian pemimpinnya
terlibat dalam PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Bukankah
Ketua Umum Masyumi ketika itu adalah Prawoto Mangkusasmito yang sama sekali
tidak turut dalam PRRI?
Kemudian saya sadar bahwa memelihara dendam itu tidak ada
gunanya, bahkan bisa merusak batin kita sendiri. Maka dendam AD (Angkatan
Darat) kepada PKI sekalipun dapat
dipahami karena para senior mereka dibunuh secara keji, tetapi tidak boleh
dipelihara terus melalui ritual tahunan yang hanya akan merusak keutuhan dan
persatuan bangsa. Langkah anak bangsa Svetlana Njoto dan Catharine Panjaitan
harus ditiru dan dijadikan arus besar agar kita tidak lagi menghabiskan
energi secara sia-sia yang telah berjalan selama puluhan tahun. Di tahun
1960-an Njoto dan Jenderal DI Panjaitan berada pada kubu yang saling
mengintai. Sekarang, kedua putrinya dengan jiwa besar telah merajut
persahabatan erat sesama anak bangsa yang sama-sama telah menjadi korban
sejarah di masa lampau yang kelam.
Isu kebangkitan PKI yang masih dijadikan jargon untuk
berkuasa oleh sementara politisi adalah pertanda dari keadaban politik bangsa
ini masih rendah dan murah. Akan lebih arif, dicari isu lain seperti
ketimpangan sosial-ekonomi, korupsi, dan penguasaan tanah oleh konglomerat
yang demikian masif, tentu akan lebih rasional dan terhormat untuk diusung.
Menggunakan ungkapan asing dan aseng dengan nuansa politik yang kental, tanpa
menyiapkan generasi muda bangsa untuk tampil sebagai pengusaha pribumi yang
tangguh, hanyalah akan mempertinggi tempat jatuh dan akan mengabadikan
mentalitas budak yang sejak lama kita derita.
Anak bangsa ini jika diarahkan kepada hal-hal yang positif
dan konstruktif pasti bisa bersaing dengan siapa pun. Oleh sebab itu para
konglomerat yang sudah terlalu kaya menikmati hasil bumi, laut, dan udara
Indonesia wajib mempertanggungjawabkan hartanya itu kepada mahkamah sejarah
bangsa ini. Masalah ketimpangan sosial ini jika terus berlanjut bisa
mengundang kelompok-kelompok rentan mana pun, tidak perlu dengan mengusung
isu PKI melalui ritual tahunan yang tidak mendidik, untuk tampil sebagai
//pseudo// pahlawan yang dapat meruntuhkan semua yang sudah kita bangun.
Akhirnya, sebagai bangsa dan negara yang sudah merdeka
sejak 17 Agustus 1945, kita semua ditantang untuk berpikir jernih, stabil,
dan berdasarkan fakta yang kuat untuk menyalurkan hasrat berkuasa dalam
sistem demokrasi sehat dan beradab yang sudah disepakati secara
konstitusional. ●
|
Sumber
: Ahmad Syafii Maarif (Mantan
Ketua Umum PP Muhammadiyah),
REPUBLIKA
26 September 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar