Kontroversi
Tragedi G 30 S/PKI
Tjipta Lesmana ; Anggota Komisi Konstitusi MPR 2004
|
JAWA
POS, 30
September 2017
Setiap mengenang Gerakan 30 September (G 30 S/PKI) tidak
terhindarkan pro dan kontra. Soal film Tragedi G 30 S/PKI, misalnya, banyak
yang mengkritik. Film tersebut
dituding film propaganda Orde Baru, sarat versi TNI. Mengenai inisiatif
Panglima TNI untuk menggelar nonton bareng film tersebut di kalangan prajurit
TNI juga mendapatkan serangan dari berbagai pihak. Untuk apa peristiwa 52
tahun lalu itu didengungkan kembali? Apa ada ancaman baru terhadap komunis di
negara kita?
Terakhir, ide Presiden Jokowi membuat versi baru film G 30
S/PKI juga mendapat kecaman, di samping persetujuan.
Mengapa bangsa Indonesia tidak bisa mempunyai satu
pandangan/sikap terhadap G 30 S/PKI? Istilah ’’pemberontakan’’ atau
’’kudeta’’ yang dipakai dalam artikel ini pasti juga mengundang pro dan
kontra. Aneh kan?
Kisah tentang tragedi G 30 S/PKI secara garis besar
terbagi dua versi yang sampai kapan pun tidak bisa
dikompromikan/direkonsiliasi: antara versi pemerintah (Orde Baru) dan versi
anti-Soeharto. Masalah pokok yang membelah tajam kedua kubu itu terletak
pada, pertama, apa sesungguhnya G 30 S? Kedua, siapa dalang G 30 S? Ketiga,
apa sesungguhnya yang terjadi pada 30 September–1 Oktober 1965? Keempat, apa
tujuan G 30 S? Kelima, bagaimana sesungguhnya posisi Presiden Soekarno? Dan,
keenam, apa yang terjadi pasca G 30 S?
Apa Itu G 30 S?
Gerakan 30 September jelas tindakan kudeta atau
pengambilalihan kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno yang dilancarkan PKI
–begitu pendapat kukuh (unchallenge
stand) pemerintah Orde Baru. Sebaliknya, ’’versi seberang’’ mengatakan
bahwa apa yang terjadi pada 30 September dan 1 Oktober 1965 adalah kudeta
menggulingkan kekuasaan Soekarno yang dilancarkan Mayjen Soeharto.
Soeharto-lah otak G 30 S.
Dalam Dekret I tanggal 1 Oktober 1965 yang dikeluarkan
Dewan Revolusi pimpinan Letkol Untung dan diumumkan oleh RRI ke seluruh
pelosok Indonesia, memang sama sekali tidak ada kata ’’PKI’’. Dekret itu
mengatakan, ’’Gerakan 30 September adalah gerakan semata-mata dalam tubuh
Angkatan Darat (AD) untuk mengakhiri perbuatan sewenang-wenang
jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal serta perwira-perwira lain yang
menjadi kaki tangan dan simpatisan anggota Dewan Jenderal. Gerakan tersebut
dibantu oleh pasukan-pasukan bersenjata di luar AD.’’
Jadi, menurut Untung cs, dalam tubuh AD ada ’’Dewan
Jenderal’’ yang secara sembunyi-sembunyi berkomplot menggulingkan Soekarno.
Nah, sebelum Dewan Jenderal melancarkan kudeta, Dewan Revolusi mendahului
pengambilalihan kekuasaan dari Soekarno.
Dalang G 30 S
Dalang G 30 S dalam Dekret I disebutkan secara eksplisit,
yaitu Dewan Revolusi. Tujuannya, menggagalkan rencana kudeta oleh
jenderal-jenderal AD yang bergabung dalam Dewan Jenderal. G 30 S dipimpin
(dikomando) oleh Untung sebagai komandan, Brigjen Supardjo, Letkol Udara
Heru, Kolonel Laut Sunardi, dan AKP Anwas masing-masing sebagai wakil
komandan. Fakta itu secara eksplisit ditulis dalam dekret Dewan Revolusi yang
diumumkan RRI secara nasional pada 1 Oktober 1965 pagi sekitar pukul 10.00.
Saat itu saya yang berusia 15 tahun mendengarkan langsung pengumuman tersebut
dan kaget ’’setengah mati’’ ketika mendengarkan bunyi pengumuman itu.
Bagaimana Soeharto bisa menuding PKI sebagai dalang G 30
S?
Predikat G 30 S secara resmi dipakai dan terus-menerus
disosialisasikan oleh Soeharto sejak digelarnya persidangan Mahmilub
(Mahkamah Militer Luar Biasa) Brigjen Soepardjo yang dituding oleh pihak
militer sebagai satu di antara dua tokoh utama pemberontakan G 30 S.
Dalam sidang IX Mahmilub atas Soepardjo, tampil saksi
kunci bernama Sudjono Pradigdo alias Sastroprawiro, penghubung Soepardjo
dengan Biro Khusus CCPKI. Sudjono-lah yang secara tegas mengatakan –di
hadapan majelis hakim– bahwa G 30 S dicetuskan oleh PKI. Dasarnya adalah
pengakuan Sjam, seorang tokoh kunci PKI, sebelum pecah G 30 S. Menurut Sjam
kepada Sudjono, akan ada gerakan dari perwira-perwira yang berpikiran maju
untuk melawan AD. Sudjono dalam persidangan Mahmilub juga mengutip pernyataan
D.N. Aidit kepada Djawadi bahwa ’’Daripada didahului [oleh AD], lebih baik
mendahului [pengambilalihan kekuasaan]’’.
Dalam pidatonya pada pembukaan Sidang Istimewa (SI) MPRS
Maret 1967, Soeharto selaku pengemban Supersemar menuturkan secara lengkap
peristiwa G 30 S, sebagian besar diambil dari kesaksian-kesaksian dari sidang
Mahmilub beberapa tokoh yang kemudian divonis hukuman mati. Untuk kali
pertama, pada forum SI MPRS itulah, Soeharto menggunakan istilah G 30 S/PKI
dan seterusnya.
Sebaliknya, lawan-lawan Soeharto sangat yakin bahwa dalang
G 30 S tidak lain adalah Soeharto sendiri. Setelah pecah pemberontakan itu,
Soeharto dengan bantuan penuh pemerintah Amerika (AS) dengan cepat
mengonsolidasikan kekuasaannya sekaligus meruntuhkan secara sistematis
kekuasaan Soekarno.
Buktinya: (a) Soeharto sebagai Pangkostrad pada 30
September 1965 malam mendapat laporan dari anak-buahnya, Kolonel Latief
–komandan Brigade Jakarta– tentang adanya konsentrasi pasukan tak dikenal di
sekitar Istana Negara. Soeharto ketika itu berada di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat (RSPAD), mendampingi anak bungsunya, Tommy, yang sakit karena kakinya
tersiram air panas. Anehnya, Pak Harto diam saja mendapat laporan itu. ’’Ah,
itu berarti Pak Harto sudah tahu kalau anak buahnya sebentar lagi akan
melancarkan operasi militer mengambil alih kekuasaan,’’ kata lawan-lawan Pak
Harto! (b) Letkol Untung selaku komandan G 30 S pernah menjadi anak buah
Soeharto di Jawa Tengah, bahkan Soeharto menghadiri acara khitanan anak
Untung. (c) Sebagian pasukan yang melancarkan operasi penculikan para
jenderal pada 1 Oktober 1965 pagi buta sebetulnya pasukan Soeharto di Jawa
Tengah. (d) Kenapa pasukan Kostrad cepat sekali mengetahui lokasi dan
melumpuhkan pasukan G 30 S di Halim Perdanakusuma, termasuk lubang sumur
tempat jenazah jenderal-jenderal dipendam? (e) Sejumlah penelitian ilmiah
yang dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto
dan CIA, antara lain Cornell Paper karya Benedict R.O’G. Anderson and Ruth T.
McVey (Cornell University) dan John Roosa: Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s
Coup d’État in Indonesia.
Tentu kebenaran karya-karya tulis tersebut tidak bisa
dijamin. Cornell Paper seolah menjadi referensi utama mengenai keterlibatan
langsung Soeharto pada G 30 S, tuding lawan-lawan politik Soeharto. Namun,
jangan lupa, ketika tulisan-tulisan tersebut terbit, hubungan
Washington-Jakarta mulai terjadi gesekan-gesekan dan pemerintah AS pun mulai
menjauhi Soeharto.
Pada 1 Oktober 1965 pagi buta terjadi operasi militer dari
kelompok Dewan Revolusi yang dipimpin Letkol Untung. Tujuannya, menculik dan melumpuhkan
pimpinan Angkatan Darat (AD), minus Pangkostrad Mayjen Soeharto. Modus
operandinya sama : Tentara bersenjata
lengkap memasuki secara paksa rumah para jenderal, termasuk Kepala Staf
Angkatan Bersenjata Jenderal AH Nasution dan Menteri/Panglima AD Letjen Ahmad
Yani.
Diberitahukan kepada mereka bahwa para jenderal dipanggil
menghadap presiden/panglima besar revolusi di istana saat itu juga. Bahkan,
ganti pakaian pun tidak diizinkan. Mereka langsung dipukuli di dalam rumah.
Sebagian didor dan diseret, lalu akhirnya jenazahnya dimasukkan ke sumur
’’Lubang Buaya’’ di kawasan Halim Perdanakusuma.
Orang-orang komunis percaya bahwa apa yang terjadi pada 30
September dan 1 Oktober 1965 murni klimaks dari konflik internal AD, antara
kekuatan reaksioner dan kelompok yang berpikiran maju alias revolusioner yang
sudah berlangsung sekian lama, sehingga tidak ada kaitan sama sekali dengan PKI.
Namun, jika kita simak secara kritis persidangan demi persidangan tokoh-tokoh
yang terlibat dalam G 30 S/PKI di Mahmilub, keterlibatan PKI amat gamblang!
Perwira-perwira ’’berpikiran maju’’ dalam tubuh AD sesungguhnya adalah
tentara yang sudah lama dibina PKI sehingga mereka memang sudah berkiblat ke
PKI.
Tujuan G 30 S
Versi para pelaku sebagaimana tertulis dalam Dekrit 1
Oktober 1965, tujuan G 30 S adalah mengambil alih kekuasaan dari Soekarno,
sebelum AD yang mengambil alih kekuasaan. Setelah itu, pihak komunis akan
melumpuhkan seluruh ’’kekuatan reaksioner’’ AD yang merupakan antek Amerika.
Pada akhirnya, tampuk kekuasaan akan dikembalikan kepada Soekarno.
Versi Orde Baru, G 30 S bertujuan untuk mengomuniskan
Indonesia, kulminasi dari konflik berkepanjangan antara kekuatan komunis dan
angkatan bersenjata, khususnya AD. Sebelumnya, PKI juga melancarkan
pemberontakan bersenjata di Madiun pada 1948, bahkan sudah mendeklarasikan
negara sendiri, menggantikan RI. Peristiwa Madium 1948 menambah yakin pimpinan
AD bahwa PKI memang tidak pernah berhenti berupaya mengomuniskan Indonesia.
Posisi Soekarno
Pada 1966–1967 banyak cerita yang berseliweran tentang
kecurigaan keterlibatan Bung Karno (BK) dalam G 30 S/PKI. Indikasinya: (a)
Mengapa pada saat-saat genting, BK bersembunyi di Halim yang merupakan sarang
para pemberontak; (b) Melalui order presiden pada 1 Oktober 1965, Soekarno
tidak membenarkan pengangkatan Soeharto sebagai pimpinan ad interim AD, malah
mengangkat Mayjen Pranoto sebagai pimpinan sementara AD.
(c) Dalam banyak pidatonya pasca G 30 S, Soekarno malah
sering memuji-muji PKI bahwa persatuan tiga kekuatan nasional, yaitu Nasakom
–nasionalis, agama, dan komunis– adalah fakta sejarah sejak dulu. Karena itu,
(d) Soekarno menolak keras tuntutan rakyat membubarkan PKI. Di mata Soekarno,
PKI tidak terlibat. Yang terlibat adalah sejumlah pimpinan PKI yang bertindak
keblinger (istilah ’’keblinger’’ diucapkan beberapa kali dalam pidato-pidato
Soekarno); (e) Soekarno mengecilkan arti pemberontakan G 30 S dengan
mengatakan peristiwa itu hanya riak kecil dalam laut.
Misteri ’’keterlibatan’’ Soekarno dalam G 30 S/PKI
akhirnya dimentahkan Soeharto. Dalam pidatonya di pembukaan Sidang Istimewa
MPRS pada Maret 1965, dengan tegas Soeharto mengatakan bahwa Soekarno tidak
terlibat apalagi menjadi dalang G 30 S!
Pasca G 30 S/PKI
Soeharto selaku pejabat presiden RI memerintah AD,
khususnya RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) pimpinan Kolonel Sarwo
Edhie, untuk melancarkan operasi militer besar-besaran membasmi PKI, terutama
di Pulau Jawa. Dalam operasi militer selama tiga tahun itu, ekses-ekses
memang tidak bisa dihindarkan. Yang dibunuh, tampaknya, bukan hanya anggota
PKI atau orang komunis, tapi siapa saja yang dicurigai ’’merah’’ atau
pendukung Soekarno. Operasi militer itu sampai ke Bali dan NTB. Tidak ada
angka resmi berapa korban yang tewas. Ada yang menyebut 500 ribu, bahkan
versi Barat hingga jutaan korban jiwa.
Para aktivis HAM dan LSM, setelah rezim Soeharto jatuh,
menuntut pengusutan tuntas terhadap aksi bersenjata militer yang
dikualifikasikan ’’pelanggaran berat HAM’’ itu. Namun, banyak pihak yang lupa
bahwa sebelum G 30 S/PKI pecah, konflik antara PKI dan ormas Islam, termasuk
NU, sudah meruncing. Banyak catatan dan bukti bahwa kaum muslim, khususnya di
Jawa Tengah dan Jawa Timur, dibantai orang-orang komunis. Jika kita bicara
tentang pelanggaran berat HAM, mengapa fokusnya hanya pada peristiwa pasca G
30 S/PKI? Mengapa tidak ada yang mengungkit-ungkit peristiwa serupa sebelum G
30 S/PKI?
Catatan Akhir
Tragedi G 30 S/PKI sangat kompleks. Tragedi itu harus
dilihat dari perspektif perang dingin antara Blok Barat dengan AS sebagai
pemimpinnya dan Blok Timur dengan Uni Soviet sebagai pemimpinnya. Indonesia
terseret dalam konflik antara dua gajah itu. Bahkan, Indonesia di bawah
kepemimpinan Soekarno cenderung berpihak ke blok komunis karena sikap
anti-Nekolim Soekarno yang sangat kuat sejak dia berusia muda.
Karena itulah, kekuatan PKI makin lama makin besar, bahkan
menjadi partai komunis terbesar di luar Soviet dan RRT. Karena itu pula,
Washington sangat benci kepada Soekarno dan berusaha terus menjatuhkan rezim
Soekarno. Soekarno lolos dari 10 kali lebih upaya pembunuhan atas dirinya.
Situasi dalam negeri semakin panas. Konflik antara AD dan
PKI pun semakin sengit setelah pada 1964 dokter-dokter ahli RRT mengabarkan
bahwa Soekarno menderita sakit keras, bahkan mungkin tidak bisa disembuhkan.
AD khawatir PKI akan merebut kekuasaan jika Soekarno meninggal.
Kekhawatiran serupa terjadi di kalangan pimpinan PKI: AD
pasti akan mengambil alih kekuasaan jika Soekarno wafat. Di antara
kekhawatiran yang kian memuncak itu, bermain pula agen-agen intelijen dari
berbagai negara –mulai CIA, KGB, serta intel RRT, Inggris, Australia, Ceko,
dll– untuk memperkeruh situasi. PKI terjebak dalam intrik-intrik intelijen
internasional yang kompleks tersebut, lalu melancarkan kudeta pada 1 Oktober
1965!
Maka tesis yang menyatakan bahwa Soeharto otak G 30 S/PKI
adalah tidak benar. Keterlibatan Soekarno pun tidak dapat dibuktikan. Soeharto
jenderal yang cerdik. Dia memanfaatkan G 30 S/PKI untuk ambisi kekuasaannya,
sebuah momentum emas yang dapat mengantarnya ke kursi presiden RI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar