Menimbang
Rapor Keuangan
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan;
Mantan Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS,
19 Oktober
2017
Pada 20 Oktober 2017, tepat
tiga tahun Joko Widodo-Jusuf Kalla memimpin Indonesia. Apa hasilnya? Dari sisi
ekonomi dan keuangan, secara ringkas, inflasi terkendali, nilai tukar rupiah
stabil dan ekonomi tumbuh di level 5 persen.
Bagaimana kinerja dan capaian
di sektor perbankan? Apa saja tantangan ke depan? Statistik Perbankan
Indonesia yang terbit 19 September 2017 menunjukkan, kredit tumbuh 7,85
persen dari Rp 3.974 triliun per Juli 2016 menjadi Rp 4.286 triliun per Juli
2017. Dana pihak ketiga (DPK) tumbuh lebih subur 9,03 persen dari Rp 4.407
triliun menjadi Rp 4.805 triliun. Pertumbuhan kredit dan DPK yang tak
seimbang itu telah mendorong penurunan rasio kredit (loan to deposit
ratio/LDR) dari 90,18 persen menjadi 89,20 persen, masih dalam ambang batas
78-92 persen. Pertumbuhan kredit yang ”hanya” 7,85 persen kurang mampu
menyuburkan pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,17 persen pada 2017.
Namun, di tengah ekonomi yang
sedang kurang darah, bank masih dapat meningkatkan laba sebelum pajak 16,24
persen dari Rp 141 triliun menjadi Rp 164 triliun. Akibatnya, imbal hasil
aset (return on assets/ROA) menebal dari 2,35 persen menjadi 2,49 persen.
Singkatnya, kualitas aset membaik.
Aneka tantangan
Lantas, apa tantangan ke depan?
Pertama, bagaimana laju kredit hingga akhir 2017? Mampukah kredit perbankan
mencapai dua digit sampai akhir tahun? Berat. Alasannya, permintaan kredit
dari sektor riil belum optimal. Hal itu tersurat pada fasilitas kredit yang
sudah disetujui, tetapi belum dicairkan (undisbursed loan) yang naik 10,84
persen dari Rp 1.246 triliun per Juli 2016 menjadi Rp1.381 triliun per Juli
2017. Data itu menyiratkan aktivitas sektor riil masih belum berjalan dengan
kapasitas produksi secara penuh (full capacity).
Secara serius, pemerintah telah
mendorong sektor riil supaya terus berproduksi sehingga roda perekonomian
bisa berjalan lebih kencang. Tekad itu diwujudkan dengan meluncurkan 16
kebijakan ekonomi, tetapi belum ”nendang” juga. Karena itu, Bank Indonesia
(BI) dengan gagah perkasa menurunkan suku bunga acuan BI 7 Day Repo Rate 25
basis poin (0,25 persen) berturut-turut pada minggu ketiga Agustus dan
September 2017 menjadi 4,25 persen. Hal itu bertujuan untuk mendorong
pertumbuhan kredit perbankan.
Sayangnya, penurunan suku bunga
itu datang terlambat sehingga dikhawatirkan kurang mampu mengangkat pertumbuhan
kredit secara optimal pada kuartal IV-2017. Mengapa? Sebab, transmisi
kebijakan moneter itu memerlukan waktu sekitar tiga bulan untuk sampai pada
penurunan suku bunga kredit.
Sebelumnya, bank akan mengulas
profil risiko dan imbal hasil bank dalam rapat asset and liability committee
(ALCO). Rapat berfungsi untuk mengetahui, mengawasi, dan memantau likuiditas
secara menyeluruh dan posisi neraca bank untuk mitigasi risiko likuiditas.
Risiko likuiditas adalah risiko ketika bank tak mampu memenuhi komitmen
keuangan kepada nasabah, kreditor, dan atau investor saat jatuh tempo. Rapat
juga membahas risiko pendanaan (funding risk) dan risiko suku bunga (interest
risk). Setelah itu bank baru bisa memutuskan menurunkan atau tidak suku bunga
deposito dan bunga kredit.
Kedua, pemerintah melalui
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu ”memaksa” empat bank pemerintah, yakni
Bank Mandiri, BRI, BNI, dan BTN, serta enam bank papan atas lainnya untuk
menjadi pionir dalam penurunan suku bunga kredit yang diawali dengan penurunan
suku bunga deposito.
Karena 10 bank papan atas itu
menguasai sebagian besar pangsa pasar (market share) perbankan, alhasil, suka
tak suka bank umum kegiatan usaha (BUKU) lainnya akan segera mengikuti
penurunan suku bunga kredit itu. Jika tidak, pangsa pasar mereka akan makin
tergerus.
Selain itu, pemerintah juga
perlu mendorong sisi permintaan. Bagaimana kiatnya? Segera menurunkan suku
bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 9 persen menjadi 7 persen seperti
rencana awal. KUR ditujukan kepada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM) dengan plafon kredit di atas Rp 10 juta hingga Rp 25 juta (mikro) dan
hingga Rp 500 juta (KUR ritel). Untuk plafon kredit hingga Rp 10 juta,
tersedia ultra mikro (UMI) dengan suku bunga kredit 2-4 persen (Paul Sutaryono,
Kompas, 9/10/2017). Inilah langkah strategis untuk membangun ekonomi dari
pinggir.
Ketiga, keterbatasan ruang
fiskal. Saat ini pembangunan dititikberatkan pada pembangunan infrastruktur
yang membutuhkan dana amat besar. Untuk membiayai proyek infrastruktur pada
2014-2019, Indonesia membutuhkan dana Rp 6.541 triliun. Dana sebesar itu
untuk membiayai 225 proyek dan program kelistrikan, termasuk 52 pembangunan
jalan, 19 proyek jaringan kereta api, 17 bandara, 13 pelabuhan, dan 25
kawasan ekonomi.
Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) hanya mampu membiayai Rp 1.555 triliun atau sekitar 24 persen
(Kompas, 5/5/2017). Namun, di tengah tekad pemerintah untuk menggenjot
pembangunan infrastruktur dengan capaian yang menggembirakan itu, kemampuan
fiskal pemerintah mulai terbatas karena pendapatan negara yang tak memenuhi
target. Pendapatan negara meliputi penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak,
dan hibah. Data mencatat penerimaan pajak mencapai Rp 770,7 triliun atau 60
persen dari target Rp 1.283,57 triliun per September 2017, padahal semestinya
penerimaan pajak mencapai minimal 75 persen.
Rasanya pemerintah tak akan
menambah utang luar negeri karena defisit APBN Perubahan (APBN-P) 2017 sudah
ditetapkan 2,9 persen. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara menitahkan bahwa rasio defisit APBN dibatasi 3 persen dari produk
domestik bruto (PDB).
Selain itu, Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah Kumulatif Defisit
APBN, APBD, dan Jumlah Kumulatif Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah menitahkan bahwa jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD dibatasi tidak
melebihi 3 persen dari PDB tahun bersangkutan.
Menembus kebuntuan fiskal
Untuk menembus kebuntuan
fiskal, terdapat beberapa alternatif solusi. Pemerintah wajib melakukan
penghematan besar-besaran dengan mengerem pengeluaran kementerian atau
lembaga. Pun, pemerintah perlu melakukan penjadwalan kembali proyek
infrastruktur dan memprioritaskan proyek yang memberikan dampak positif
langsung pada masyarakat luas seperti irigasi (bendungan dan bendung) dan
jalan kereta api termasuk kereta bawah tanah (mass rapid transit/MRT) dan
kereta ringan (light rail transit/LRT).
Selain itu, pemerintah juga
perlu mendesak bank papan atas selain bank pelat merah yang sudah rajin
menggarap proyek infrastruktur untuk ikut membiayai, terutama bank papan atas
yang masuk 10 besar sehingga tidak hanya getol membiayai kredit konsumsi.
Terakhir, pemerintah wajib mendorong swasta untuk berperan aktif membiayai
proyek infrastruktur sebagaimana saran Bank Dunia.
Keempat, Jokowi-JK hendaknya
menggugah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) agar
merevitalisasi koperasi. Dengan demikian, koperasi tidak tergoda untuk
menawarkan investasi dengan skema ponzi yang merugikan masyarakat luas.
Investasi model ponzi merupakan investasi yang menawarkan imbal hasil
selangit dalam sekejap. Keuntungan investasi bukan bersumber dari investasi
yang sebenarnya, melainkan dari uang yang disetor investor. Cukuplah
investasi bodong di Koperasi Pandawa, Depok, Jabar, menjadi kasus terakhir.
Sudah sepatutnya koperasi
kembali ke khitahnya menjadi soko guru pembangunan ekonomi rakyat dengan ikut
mengucurkan KUR dan UMI. Koperasi lebih dituntut untuk membiayai sektor
produktif pada segmen yang relatif kecil. Namun, koperasi memiliki kesempatan
sangat luas untuk memberikan kontribusi besar dalam menyangga ekonomi
nasional. Inilah tantangan koperasi yang mencapai 152.282 unit dengan 26,8
juta anggota per 5 Juli 2017.
Kelima, efektif 1 Juni 2017,
suku bunga kartu kredit telah menipis dari maksimal 2,95 persen per bulan
atau 35,40 persen per tahun menjadi 2,25 persen per bulan atau 26,95 persen
per tahun. Itu berarti angsuran per bulan menjadi lebih ringan.
Akan tetapi, bandingkan dengan
suku bunga kartu kredit bank-bank di Malaysia yang ternyata jauh lebih rendah
7,99-15 persen per tahun, seperti Maybank, CIMB, RHB, BSN, Affin Bank, Public
Bank, Alliance Bank, Bank Islam, AmBank, Citibank, dan HSBC. Tak hanya itu,
mayoritas bank di Malaysia tak mengenakan biaya tahunan. Suku bunga kartu
kredit berkisar 0,67-1,25 persen per bulan jauh lebih rendah daripada bank
nasional 2,25 persen per bulan. Sarinya, masih ada ruang bagi BI untuk
menurunkan kembali suku bunga kartu kredit.
Keenam, pelonggaran moneter
berupa loan to value (LTV) spasial untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dan
kredit kendaraan bermotor (KKB) yang sedang digodok BI bakal menjadi stimulus
tersendiri. Kelak akan terdapat LTV menurut wilayah atau provinsi. Penurunan
suku bunga kartu kredit dan LTV spasial dapat mendorong pertumbuhan KPR dan
KKB sehingga mengerek pengeluaran konsumsi rumah tangga. Hingga kuartal
II-2017, konsumsi rumah tangga telah memberikan kontribusi tertinggi terhadap
PDB 55,6 persen disusul investasi 31,3 persen dan ekspor 19,1 persen.
Ketujuh, saatnya OJK menggeber
bank syariah agar makin tinggi dalam memberikan kontribusi pada pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan kredit perbankan syariah hanya sekitar 5 persen dari
total kredit perbankan Rp 4.286 triliun per Juli 2017. Itu jumlah yang
terlalu kecil, padahal basis nasabah (customer
base) begitu luas lantaran mayoritas penduduk Indonesia Muslim. Inilah
tantangan sejati bagi bank syariah. Nah, ketika aneka tantangan demikian
dapat teratasi, maka amat diharapkan pertumbuhan ekonomi akan kian subur di
tangan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar