Inilah
Pekerjaan Yang akan Hilang
Akibat
"Disruption"
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
18 Oktober
2017
Mungkin Anda sempat menerima
video tentang Google Pixel Buds. Wireless headphone seharga 159 dollar AS
yang akan beredar bulan depan ini, dipercaya berpotensi menghapuskan
pekerjaan para penerjemah.
Headphone ini mempunyai akses
pada Google Assistant yang bisa memberikan terjemahan real time hingga 40
bahasa atas ucapan orang asing yang berada di depan Anda.
Teknologi seperti ini
mengingatkan saya pada laporan PBB yang dikeluarkan oleh salah satu komisi
yang dibentuk PBB – On Financing Global
Opportunity – The Learning Generation (Oktober 2016).
Dikatakan, dengan pencepatan
teknologi seperti saat ini, hingga tahun 2030, sekitar 2 miliar pegawai di
seluruh dunia akan kehilangan pekerjaan. Tak mengherankan bila mulai banyak
anak-anak yang bertanya polos pada orang tua, “mama, bila aku besar, nanti
aku bekerja di mana?”
Otot Diganti Robot
Perlahan-lahan teknologi
menggantikan tenaga manusia. Tak apa kalau itu membuat kita menjadi lebih
manusiawi. Semisal kuli angkut pelabuhan yang kini diganti crane dan
forklift.
Tak hanya di pelabuhan, di
supermarket pun anak-anak muda beralih dari tukang panggul menjadi penjaga di
control room. Itu sebabnya negara perlu melatih ulang SDMnya secara
besar-besaran dan menyediakan pekerjaan alternatif seperti pertanian atau
jasa-jasa lain yang masih sangat dibutuhkan.
Tetapi teknologi tak hanya
mengganti otot. Manusia juga menggunakan teknologi untuk menggantikan
pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.
Di sini kita sudah melihat
robot dipakai untuk memasuki rumah yang dikuasai teroris dan memadamkan api.
Sekarang kita mendengar
tenaga-tenaga kerja yang bertugas di pintu tol akan diganti dengan mesin.
Pekerjaan di pintu-pintu tol semakin hari memang semakin berbahaya, baik bagi
kesehatan (asap karbon kendaraan), keamanan maupun kenyamanan (tak dilengkapi
toilet).
Sehingga, memindahkan mereka ke
control room atau pekerjaan lain tentu lebih manusiawi.
Tetapi, teknologi juga
menggantikan jarak sehingga pusat-pusat belanja yang ramai dan macet
tiba-tiba sepi karena konsumen memilih belanja dari genggaman tangannya dan
barangnya datang sendiri.
Maka sejak itu kita menyaksikan
pekerjaan-pekerjaan yang eksis 20 tahun lalu pun perlahan-lahan akan pudar.
Setelah petugas pengantar pos, diramalkan penerjemah dan pustakawan akan
menyusul.
Bahkan diramalkan profesi dosen
pun akan hilang karena kampus akan berubah menjadi semacam EO yang
mengorganisir kuliah dari ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Kasir di supermarket,
sopir taksi, loper koran, agen-agen asuransi, dan sejumlah besar akuntan juga
diramalkan akan berkurang.
Kita tentu perlu memikir ulang
pekerjaan-pekerjaan yang kita tekuni hari ini.
Pekerjaan-pekerjaan Baru
Sebulan yang lalu, di Cambridge
– UK, saya menerima kunjungan dari mentee-mentee saya yang sedang melanjutkan
study S2. Salah satunya, Icha yang sedang duduk di program S2 bidang
perfilman.
Saya pun menggali apa saja yang
ia pelajari dan rencana-rencana ke
depan yang bisa dijembatani yayasan yang saya pimpin.
Icha bercerita tentang ilmu
yang didapatnya.
“Kami disiapkan untuk hidup
mandiri,” ujarnya.
“Masa depan industri perfilman
bukan lagi seperti yang kita kenal. Semua orang kini bisa membuat film tanpa
produser dan middleman seperti yang kita kenal. Kami diajarkan menjadi
produser indies, tanpa aktor terkenal dengan kamera sederhana, dan pasarkan
sendiri via Netflix.
Ucapan Icha sejalan dengan
Adam, putera saya yang sedang mengambil studi fotografi di School of Visual
Arts, New York. Ia tentu tidak sedang mempersiapkan diri menjadi juru potret
seperti yang kita kenal selama ini, melainkan mempersiapkan keahlian baru di
era digital yang serba kamera.
Adam bercerita tentang arahan
dosennya yang mirip dengan Icha di UK. “Sepuluh tahun pertama, jangan
berpikir mendapatkan gaji seperti para pegawai. Hidup mandiri, membangun
keahlian dan persiapkan diri untuk 20 tahun ke depan. Tak mau susah, tak ada
masa depan,” ucapnya menirukan advis para dosen yang rata-rata karyanya
banyak bisa kita lihat di berbagai galeri internasional.
Adam dilatih hidup mandiri, berjuang
sedari dini dari satu galeri ke galeri besar lainnya. Dari satu karya ke
karya besar lainnya.
Memang, pekerjaan-pekerjaan
lama akan banyak memudar walau tidak hilang sama sekali. Seperti yang saya
ceritakan dalam buku baru saya, Disruption, pada pergantian abad 19 ke abad
20, saat mobil menggantikan kereta-kereta kuda. Ribuan peternak dan pekerja
yang menunggu pesanan di bengkel-bengkel kereta kuda pun menganggur. Namun
pekerjaan-pekerjaan baru seperti montir, pegawai konstruksi jalanan, pengatur
lalu lintas, petugas asuransi, dan sebagainya pun tumbuh.
Kereta-kereta kuda tentu masih
bisa kita lihat hingga hari ini, mulai dari jalan Malioboro di Yogyakarta
sampai di kota New York, Paris, atau London melayani turis. Tetap ada, namun
tak sebanyak pada eranya.
Namun pada saat ini kitapun
menyaksikan munculnya pekerjaan-pekerjaan baru yang tak pernah kita kenal
10-20 tahun lalu: Barista, blogger, web developer, apps creator/developer,
smart chief listener, smart ketle manager, big data analyst, cyber troops,
cyber psichologyst, cyber patrol, forensic cyber crime specialist, smart
animator, game developer, smart control room operator, medical sonographer,
prosthodontist, crowd funding specialist, social entrepreneur, fashionista
and ambassador, BIM Developer, Cloud computing services, cloud service
specialist, Dog Whisperer, Drone operator dan sebagainya.
Kita membaca postingan dari
para bankir yang mulai beredar, sehubungan dengan tawaran-tawaran untuk
pensiun dini bagi sebagian besar karyawannya mulai dari teller, sampai
officer kredit.
Kelak, bila Blockchain
Revolusion seperti yang ditulis ayah-anak Don-Alex Tapscott menjadi
kenyataan, maka bukan hanya mesin ATM yang menjadi besi tua, melainkan juga
mesin-mesin EDC. Ini tentu akan merambah panjang daftar pekerjaan-pekerjaan
lama yang akan hilang.
Jangan Tangisi Masa Lalu
Di beberapa situs kita pasti
membaca kelompok yang menangisi hilangnya ribuan atau bahkan jutaan
pekerjaan-pekerjaan lama. Ada juga yang menyalahkan pemimpinnya sebagai
masalah ekonomi. Tentu juga muncul
kelompok-kelompok penekan yang seakan-akan sanggup menjadi “juru selamat”
PHK.
Namun perlu disadari
gerakan-gerakan itu akan berujung pada kesia-siaan. Kita misalnya menyaksikan
sikap yang dibentuk oleh tekanan-tekanan publik seperti itu dari para
gubernur yang sangat anti bisnis-bisnis online.
Mungkin mereka lupa, dunia
online telah menjadi penyedia kesempatan kerja baru yang begitu luas.
Larangan ojek online misalnya, bisa mematikan industri kuliner dan olahan
rumah tangga yang menggunakan armada go-food dan go-send.
Berapa banyak tukang martabak
yang kini tumbuh seperti jamur di musim hujan, rumah makan ayam penyet dan
pembuat sabun herbal yang juga diantar melalui gojek.
Sama halnya dengan menghambat
pembayaran noncash di pintu-pintu tol, kita mungkin kehilangan kesempatan
untuk memberikan pelayanan-pelayanan baru yang lebih manusiawi dan lebih
aman.
Satu hal yang pasti, kita harus
mulai melatih anak-anak kita menjadi pekerja mandiri menjelajahi
profesi-profesi baru. Ketika mesin dibuat menjadi lebih pandai dari manusia,
maka pintar saja tidak cukup.
Anak- anak kita perlu dilatih
hidup mandiri dengan mental self-driving, self-power, kreatifitas dan
inovasi, serta perilaku baik dalam melayani dan menjaga tutur katanya di dunia
maya (yang sekalipun memberi ruang kebebasan dan kepalsuan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar