Sepatu
Baru Amir di Pintu "E-Tol"
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah
Perubahan;
Guru Besar Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS.COM,
16 Oktober
2017
Mungkin beginilah respons
sebagian orang saat diwajibkan melakukan sesuatu yang baru. Termasuk
pembayaran nontunai, menggunakan helm (bagi pemotor) atau sabuk pengaman
(pengemudi mobil), menyalakan lampu (sepeda motor) saat mengemudi, mengikuti
aturan three in one dan seterusnya.
Amir, 20 tahun yang lalu, masih
duduk di kelas satu SMP. Hari pertama masuk sekolah, Amir gelisah. Mukanya
masam. Teman-temannya, selain anak komplek tentara yang menjadi tetangganya
di seberang sekolah, terlihat menjauh. Wali kelas yang menyapanya tidak
disambut hangat.
Tak banyak yang tahu hari itu
Amir memakai sepatu baru. Namun berbeda dengan sepatu baru yang dipakai
teman-temannya, sepatu Amir adalah pilihan ibu. Ia kesal bukan karena
modelnya, melainkan karena yang memutuskan untuk memakainya orang lain. Dalam
hal ini Amir menyalahkan ibunya.
Tak enak melawan ibu, Amir pun
melimpahkan kekesalan dan rasa sakitnya pada guru dan teman-teman
terdekatnya. Amir marah-marah, bicaranya tak enak didengar.
Psikologi Permulaan
Bersimpuh di pusara ibunda Amir
sesenggukan menangisi perbuatannya 20 tahun lalu.
Amir kini adalah dosen di
sebuah sekolah bisnis yang mengajarkan cara nembesarkan start-up. Ia selalu berpesan pada mahasiswanya,
“ingat ya, yang susah itu selalu hanya awalnya saja."
Entah dari mana literaturnya,
ia menyebutnya sebagai psikologi permulaan. “Ya,” ujarnya.
“Setiap permulan itu pasti
mengalami kesulitan. Saya 20 tahun yang lalu pun merasakan, saat dipaksa ibu
memakai sepatu baru, sakitnya minta ampun. Belakangan saya jadi tahu bahwa
sepatu baru yang pas di kaki awalnya selalu menyakitkan. Ini saya pakai
sepatu yang dari awal sudah enak, ternyata yang enak itu malah kelonggaran,
jalannya jadi kurang gagah.”
Amir lalu melanjutkan kuliahnya
sambil bercerita tentang seseorang juragan sapi yang mempunyai bisnis
pemotongan hewan di daerah Ujung Aspal Bekasi.
"Pak Sanin,"
lanjutnya, "adalah pengusaha ternak potong terbesar di Jabodetabek.
Namun masalahnya, sedari muda sampai sekarang, ia harus bekerja dari jam 8
malam hingga pukul 6 di pagi hari.
Malam hari sapi masuk mesin
jagal, lalu dini hari pedagang daging dan bakso sudah antre di rumah
pemotongan hewan miliknya.
“Tak ada yang memaksa untuk
menjadi tukang jagal. Kalau pekerjaan ini bau, mengantuk dan meletihkan mau
menyalahkan siapa? Sakitnya karena kita yang mau sendiri,” ujarnya.
Ia mencontohkan, para pemilik
mobil yang berceloteh di media sosial tentang antrean di pintu tol.
“Dikasih yang lebih bagus
mereka melawan, maunya tetap bayar tunai di antrean yang semakin panjang.
Sebentar mereka mempersoalkan kartu yang tidak lancar, padahal mereka pinjam
sama mobil di belakangnya sehingga yang lain terganggu."
"Lalu ada yang
mempersoalkan Undang-undang. Katanya alat pembayaran yang sah hanya rupiah.
Padahal uang elektronik itu juga rupiah. Ada lagi yang mempersoalkan tenaga
kerja yang bakal menganggur. Padahal sebagian dari mereka bakal pindah ke
control room yang tak lagi harus menghisap karbon knalpot tuan-tuan besar
yang duduk manis di dalam mobil. Mereka marah karena, 'sakitnya' dipaksa
orang lain,” tambahnya.
Mereka memilih untuk memilih
sendiri, bukan dipaksa. Adalagi yang mengatakan sosialisasi kurang. Duh,
kemana aja sih? Pembayaran nontunai sudah ada sejak tahun 2009 dan terlalu
jelas terpampang di pintu tol.
Amir melanjutkan teorinya.
“Pertama, tak ada permulaan yang mudah. Kedua, selalu ada yang
mengompor-ngompori agar kita beramai-ramai tak melanjutkan usaha kita. Lihat
saja orang-orang yang sok jadi pahlawan di gerakan nontunai.
Mereka mengompori bahwa akan
ada banyak orang bakal kena PHK, walaupun operatornya sudah bilang tak ada
PHK. Ketiga, efeknya akan berbeda antara dipaksa dengan mau sendiri.
"Idealnya memang kita
melakukan sesuatu itu suka rela, tidak perlu dipaksa-paksa. Jadi seperti
juragan sapi dalam cerita Amir tadi, “kalau sakit, mau komplain sama siapa?
Wong maunya sendiri kok!”
Namun, kadang saya berpikir
sebaliknya. Katanya dalam hal tertentu negara memang harus intervensi. Sebab
kita ini bukan negara liberal yang semau-maunya. Pembayaran elektronik sudah
ada sejak tahun 2009. Tetapi proses perpindahannya sangat lamban.
Sampai awal tahun 2017
diperkirakan kurang dari 20 persen kendaraan yang sudah menggunakannya.
Sebagai pengguna jalan tol dan
sudah lama memakai jalur nontunai, saya sih senang-senang saja. Sejak awal
menggunakannya, kendaraan yang saya tumpangi selalu bablas, sementara ratusan
mobil lainnya memilih antre di jalur pembayaran tunai.
Kata sebagian orang, uang
mereka terbatas. Tetapi kalau saya lihat merek mobil dan penumpangnya, saya
sungguh tidak percaya. Terlihat mereka mampu. Saya tak tahu persis mengapa
mereka tak bisa melihat ada jalur lewat yang tak perlu mengantre.
Nah begitu “dipaksa” harus
pindah nontunai (bukan non rupiah lho!) keluarlah letupan-letupan itu.
Ini persis cerita Amir tadi.
Dongkol sama ibunya (dalam hal ini kebijakan nontunai ditetapkan oleh Bank
Indonesia), orang-orang yang dipaksa itu menyalahkan teman terdekatnya (dalam
hal ini operator jalan tol).
Mungkin Amir ada benarnya. Kita
berada di depan pintu gerbang perubahan yang amat besar. Makanya disebut
disruption. Ini adalah inovasi besar yang menyebabkan segala hal yang kita
lakukan di masa lalu menjadi ketinggalan jaman. Ditinggalkan karena tak bisa
memenuhi tuntutan baru. Bahkan disertai kekacauan kalau kita melawannya.
Jalan-jalan tol baru, uang
elektronik, bandara dan terminal baru, jalur kereta api dan jenis-jenis
kereta baru, belanja dan mal online, taxi online, semua diikuti dengan
perubahan besar perilaku dan tuntutan baru. Satu pekerjaan hilang, banyak
pekerjaan baru yang lebih manusiawi muncul.
Kata Psikolog cyber Mary Aiken,
sejak dulu hidup kita diperkaya dan dipoles teknologi. “Namun tak ada yang
menimbulkan dampak yang lebih besar dari teknologi digital,” tambahnya.
Segalanya serba baru. Bagi yang
voluntarily (karena inisiatifnya sendiri), kesakitan itu bisa dinikmati.
Tetapi bagi laggards (yang terlambat beradaptasi) atau bahkan yang menolak
peradaban baru dan harus dipaksa, sudah pasti berteriak. Dan jangan lupa,
selalu ada “kompor” yang memanas-manasi agar kita tidak berubah.
Mungkin begitulah psikologi
permulaan yang barangkali belum ada studinya juga. Entahlah, kita tanya saja
pada ahli-ahlinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar