Defisit
Negarawan
Asep Salahudin ; Wakil Rektor I IAILM
Suryalaya Tasikmalaya;
Ketua Lakpesdam PWNU
Jawa Barat
|
KOMPAS,
18 Oktober
2017
Harus diakui hari ini kita
tengah mengalami masa-masa defisit negarawan dan surplus politikus. Keduanya
tentu saja berbeda. Yang pertama berpikir jangka panjang, visioner, dan lebih
mendahulukan kepentingan negara, sementara politikus justru kebalikannya. Di
tangan negarawan politik menjadi siasat untuk membangun jalan keadaban dan
menelurkan sekian kebijakan yang berpihak kepada khalayak, sementara bagi
politikus politik sekadar tujuan untuk menggapai kekuasaan, tangga memburu
takhta dan dalam rangka meraih sesuatu yang bersifat kebendaan dengan menjadikan kepentingan
kelompok sebagai kiblatnya.
Mencetak negarawan, inilah
seharusnya yang menjadi trajektori partai politik, ormas, perguruan tinggi,
dan institusi lain. Demokrasi yang
kita rayakan tidak sekadar berhenti sebatas hitungan suara (elektoral) dan
pemenuhan teknisnya (prosedural), tetapi juga
menyentuh sisi utamanya (substansial).
Ritual pemilu dan pilkada
minimal menjadi ajang menyeleksi calon pemimpin yang memiliki etos dan
karakteristik seorang negarawan,
melahirkan pemimpin yang mempunyai
kualifikasi moral, dedikasi, dan integritas tinggi. Cara seperti ini memang
tidak mudah. Namun, hanya lewat cara seperti ini pula permasalahan yang
menimpa bangsa bisa terurai. Supaya setiap daerah tidak sekadar memiliki
bupati-wali kota dan gubernur, tetapi benar-benar kehadiran kepala daerah itu
menjadi jawaban bagi masyarakatnya. Bukan malah menambah deret persoalan
dengan semakin banyaknya kasus operasi
tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tidak ada yang keliru dengan otonomi
daerah, tetapi yang cacat itu otonomi daerah dimaknai sebagai ruang untuk
membangun raja-raja kecil, ikhtiar menciptakan desentralisasi korupsi, dan
sisanya adalah persekongkolan politisi dengan para penguasa untuk menumpuk
rente, melanggengkan kekuasaan, dan atau mewariskan kepada istri dan
anak-anaknya. Sentralisasi yang menjadi ciri
khas negara despotik Orde Baru dikritik karena menjadi ajang bancakan, malah bancakan itu
sekarang digeser dari hulu ke hilir.
Monster
Tempo hari filsuf Nietzsche menggambarkan kerumunan politikus
tak ubahnya monster menakutkan yang melahap segala hal dan tak pernah kenyang
dengan kebutuhan dirinya. Tesis ini
tampaknya memiliki relevansi dengan konteks sekarang.
Politik bukan hanya menjadi
panglima, melainkan juga panglima tertinggi yang menentukan segenap hal.
Politik sebagai teknik kecermatan mengemas dusta sebagai kebenaran. Di tangan
mereka, jangankan budaya, etnik bahkan agama sekalipun digoreng semata untuk melanggengkan atau
merebut kekuasaan.
Memainkan politik identitas
tidak saja boleh, tetapi juga halal karena yang haram itu adalah kekalahan.
Jangankan hantu sungguhan, hantu-hantuan juga terus dinarasikan dan tak pernah henti dilipatgandakan
ceritanya, yang penting massa termakan
isunya dan kelak ketika musim pemilu
tiba bisa dikonversikan dengan suara. Persoalan konflik, sengketa dan tawuran
horizontal, trauma psikologis berkepanjangan, sama sekali tak pernah menjadi
perhitungan.
Sejarah di tangan politikus
bukan serangkaian riwayat untuk diambil pelajaran terbaik, melainkan hanya
penggalan kisah yang sahih direkayasa agar menguntungkan pihaknya. Alih-alih
membangun rekonsiliasi kultural dan meretas rute kemanusiaan otentik malah
kalau perlu sejarah itu didaur ulang untuk kembali membuka luka lama dan di
atas luka itu segenap cerita dihidangkan kembali dengan bumbu baru dan
kepentingan baru.
Sejarah menjadi ajang
mengentalkan dendam dan menguatkan sikap saling mencurigai. Bahkan, jika
perlu, bentrokan itu dihadirkan lagi agar dendam bisa dituntaskan dan
ketidakpuasan yang belum tersalurkan diselesaikan.
Saya sepakat dengan Mahfud MD
bahwa ini hari yang tampil di Senayan adalah generasi politisi paling jelek.
Bahkan, pucuk pimpinannya sendiri tidak saja bermasalah dengan partai, massa,
bahkan dengan dirinya sendiri. Bagaimana tidak, kemenangan di praperadilan
bukannya disambut gembira dan semestinya namanya direhabilitasi karena
melambangkan bahwa dirinya tidak terkait sekalipun dengan kasus KTP
elektronik (KTP-el), tetapi malah khalayak sama sekali tidak percaya terhadap
keputusan itu.
Hanya zaman ini lembaga
terhormat dengan pimpinannya yang tergila-gila minta dihormati, tetapi
menjadi obyek cemoohan di media sosial. Seharusnya sebuah partai politik,
parpol besar, besar tersinggung dengan viral meme sangat menyakitkan dan
menohok yang menyangkut pimpinannya, tetapi itu tidak terjadi.
Saya kutip dari media sosialnya
peneliti LP3ES, AE Priyono, yang melukiskan kesaktian seorang tokoh parpol,
“waktu tangannya tergores pisau, pisaunya yang berdarah; ketika thawaf di
Mekkah, Kabahnya yang mengelilingi dia; saat ditilang polisi, polisinya yang
menunjukkan SIM; habis makan bubur kacang hijau, pemilik warungnya yang
bayar; giliran pengin minum susu murni, sapinya yang datang”.
“Counter culture”
Bagi saya itu bukan sekadar
humor, melainkan satir, sinis, gerakan kebudayaan, sekaligus counter culture
atas robohnya keadilan di satu sisi dan di sisi lain absennya rasa malu
di panggung hiruk pikuk politik
keindonesiaan mutakhir.
KPK sebagai lembaga yang sangat
dipercaya rakyat dan telah mengumpulkan bukti-bukti selama dua tahun
tiba-tiba di tangan satu orang hakim dengan pertimbangan tak meyakinkan,
kasusnya tiba-tiba diputus dengan alasan tidak cukup alat bukti. Rakyat tentu
tidak bisa berbuat apa-apa karena bukan hakim
juga bukan politisi. Mereka hanya bisa melakukan perlawanan dengan
caranya sendiri: menertawakan semua itu.
Apakah masyarakat harus demo
besar-besaran? Jawabannya, siapa yang ikhlas menggerakkan dan dananya dari
mana? Apalagi di negara agraris sering
kali sebagian massa hanya tergoda isu
tidak jelas, seperti kebangkitan komunis, penodaan agama, kemunculan Syiah,
penyimpangan Ahmadiyah, pendirian rumah ibadah, ataupun sentimen SARA
lainnya. Urusan tokoh parpol yang terbelit kasus hukum dianggap persoalan
personal, bukan berkaitan dengan
partai apalagi menyangkut hajat hidup orang banyak.
Di tengah kemarau
kenegarawanan, ternyata kita masih bisa tertawa terpingkal-pingkal
disuguhi tontonan akrobat politikus
yang dengan cukup piawai memainkan peran
Dursasana dengan ajian belut putihnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar