Penyebab
Kehancuran Republik
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen
Politik FISIP Universitas Airlangga; Direktur
Centre for Statecraft and Citizenship Studies Universitas Airlangga
|
KOMPAS,
17 Oktober
2017
Menyaksikan kesengsaraan yang
dialami para buruh kontrak di perkebunan teh Deli Sumatera, tahun 1920-1921,
pikiran Tan Malaka menerawang jauh ke depan. Menurut dia, saat Indonesia
merdeka kelak, bukan berarti nasib kaum rakyat miskin juga berubah semalam
menjadi sejahtera.
Ketika Indonesia merdeka di
bawah sistem demokrasi, dengan segera rakyat pemilik kedaulatan akan
terkhianati. Pengkhianatan tersebut dilakukan para politisi yang dipilih oleh
rakyat.
Setelah terpilih mereka
membentengi diri dari keluh nestapa rakyat, membangun komunitas minoritas
elite, dan mempertahankan kuasa-kemakmuran dan menyerang siapa pun yang
menggugatnya. Dengan demikian, republik gagal memenuhi tujuan-tujuan
idealnya.
Politik uang
Apa yang hampir satu abad lalu
diungkapkan oleh Tan Malaka sepertinya tengah kita alami dalam waktu hampir
dua dasawarsa pengalaman kita berdemokrasi. Panggung politik elektoral
menjadi arena sirkulasi politik uang melalui pola klientilisme dalam rangka
memproduksi elite-elite politik, untuk kemudian mereka menjaga kepentingan di
antara mereka sendiri.
Pertahanan kepentingan tersebut
berlangsung melalui mekanisme pertahanan kekuasaan dengan mengingkari mandat
dari rakyat dan menerabas prinsip transparansi kekuasaan.
Contoh terbaru pengkhianatan
elite politisi atas agenda memajukan politik yang bersih muncul terkait
dugaan korupsi kolektif dalam isu penggelapan uang pada kasus e-KTP yang
menyeret banyak politisi ternama anggota DPR.
Sejalan dengan penetapan Ketua
Umum Partai Golkar Setya Novanto sebagai tersangka oleh KPK (dan
keberhasilannya lolos dari jerat hukum), dengan sigap kalangan politisi DPR
lintas partai membangun pertahanan kekuasaan dan kekayaan kolektif dengan
memangkas peran lembaga anti-korupsi KPK.
Kasus ini menjadi contoh betapa
elite politik dengan segera memisahkan diri dari agenda pemberantasan korupsi
yang menjadi perhatian utama khalayak publik. Alih-alih menyambung aspirasi
rakyat, para anggota DPR saling melindungi kepentingan di antara mereka
melalui penjarahan bersama atas anggaran publik dalam proyek e-KTP. Mereka
juga bersama-sama mengamankan diri dari setiap serangan dan upaya menyingkap
praktik penjarahan sumber daya publik tersebut.
Kasus skandal e-KTP yang
melibatkan legislator lintas partai dan itikad pengerdilan KPK melalui
pembentukan Pansus KPK menjadi contoh nyata manuver kaum predator politik
yang menghantam agenda pemberantasan korupsi.
Fenomena tersebut
memperlihatkan sebuah momen politik, bahwa saat ini agenda pemberantasan
korupsi justru pelan-pelan menjadi isu yang menyatukan para elite politik
untuk membentuk kekuatan counter-reformasi dan pelan-pelan mengikis harapan
segenap rakyat Indonesia. Dengan mengambil langkah seperti ini perlahan-lahan
mereka tengah berpaling dari jalan pengabdian menuju jalan
pengkhianatan.
Reformasi rentan gagal
Satu dasawarsa lalu, tepatnya
pada 2007, Elizabeth Fuller Collins dalam karyanya, Indonesia Betrayed: How
Development Fails,menjelaskan bahwa perjalanan reformasi Indonesia yang
dimulai semenjak tahun 1998 rentan hancur dan gagal memenuhi janji keadilan
sosial dan transparansi pemerintahan. Kegagalan agenda reformasi berlangsung
di tengah perpaduan antara skema besar integrasi Indonesia menuju era ekonomi
pasar bebas (neoliberal governance)
dan praktik-praktik perburuan rente dari politisi korup, yang bekerja
menghancurleburkan harapan akan keadilan sosial dan melanggengkan ketimpangan
ekonomi. Problem bertumpuknya kekuasaan dan ketimpangan ekonomi berlangsung
melalui maraknya politik korupsi dan penjarahan sumber daya publik oleh para
politisi korup.
Bangkrutnya keadaban
Di balik bekerjanya corak
kekuasaan yang asimetris dan tidak transparan, gelombang besar kebijakan
neoliberal yang melayani lapisan kecil teratas dalam hierarki sosial, dan
perlawanan para politisi predator terhadap agenda anti-korupsi, pada
hakikatnya di republik kita tengah terjadi krisis moralitas publik dalam
skala masif.
Krisis moralitas ini, jika
tidak dilawan oleh gelombang kekuatan sosial berbasis keadaban publik, akan
membawa Indonesia ke jurang kehancuran.
Sehubungan dengan krisis
moralitas publik, baik kiranya kita merenungkan apa yang pernah diutarakan
oleh Mahatma Gandhi. Dalam sebuah artikel mengenai watak koruptif kekuasaan,
Gandhi muda pada koran Young India, tanggal 22 Oktober 1925, menegaskan tujuh
dosa sosial yang merusak sebuah peradaban. Kasus korupsi berjemaah yang
dilakukan oleh para politisi saat ini seiring dengan dua dosa dari tujuh dosa
sosial tersebut, yakni politik tanpa prinsip dan kemakmuran tanpa bekerja.
Politik yang berjalan tanpa
berkiblat pada moralitas kebenaran akan membawa negeri kita pada kekacauan di
tengah terkikisnya kepercayaan antara warga negara dan para elite politiknya.
Maraknya fenomena populisme sayap kanan di tingkat masyarakat yang menebarkan
kebencian terhadap yang lain akhir-akhir ini adalah buah dari semakin
menguatnya ketidakpercayaan terhadap tatanan politik yang ada.
Dalam arus besar inisiatif yang
saat ini tengah menguat untuk kembali ke nilai-nilai Pancasila, semangat ini
akan kehilangan basis pijakan ketika rakyat langka panutan yang dapat menjadi
role model dari implementasi sila-sila Pancasila.
Pada sisi lain manuver politisi
predator yang tengah berkembang untuk melawan agenda politik anti-korupsi
adalah manifestasi dari etos keinginan mendapatkan kemakmuran tanpa kerja
keras.
Dalam sebuah tatanan ekonomi
yang sehat di negara dengan corak kekuasaan demokratis, pergerakan ekonomi
berlangsung dalam kerja keras tiap-tiap orang menghidupi sektor ekonomi
produktif yang akan didistribusikan secara berkeadilan.
Perburuan rente
Meski demikian, corak kekuasaan
yang timpang dan korup bergerak pada konsentrasi kemakmuran pada segelintir
kelompok politisi-bisnis. Kemakmuran ekonomi secara makro tidak semakin
membesar melalui praktik perburuan rente, orang-orang kaya dalam jumlah
minoritas menjadi lebih kaya melalui penjarahan atas otoritas dan sumber daya
publik.
Mayoritas rakyat bertarung
memperebutkan remah-remah kemakmuran dari pesta korupsi kekuasaan
bisnis-politik.
Ketika minoritas elite
bisnis-politik bergotong royong merawat kemakmuran mereka, rakyat kecil
bertarung dalam kompetisi menang atau kalah untuk memanjangkan napasnya.
Dalam pusaran arus balik yang
semakin menenggelamkan tatanan politik, maka tindakan para politisi busuk
adalah kekuatan yang saat ini bekerja perlahan-lahan untuk meruntuhkan
bangunan republik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar