Densus
Tipikor
Hifdzil Alim ; Ketua LPBH NU DIY;
Peneliti di Pukat FH UGM
|
KOMPAS,
19 Oktober
2017
Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Jenderal (Pol) Tito Karnavian melontarkan keinginan
membentuk Detasemen Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Densus
Tipikor.
Ketika rapat kerja dengan
Komisi III DPR, Kapolri juga menyampaikan, anggaran yang dibutuhkan untuk
Densus Tipikor sekitar Rp 2,6 triliun (Kompas.com,12/10/2017).
Lontaran usul dari Kapolri
seperti angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi. Akan tetapi,
setidaknya, ada tiga pertanyaan untuk menguji kelayakan rencana pembentukan
Densus Tipikor. Pertama, apakah pembentukan tersebut sesuai dengan peraturan
perundang-undangan? Kedua, bagaimana pola koordinasi dengan lembaga
pemberantasan korupsi yang telah eksis sebelumnya? Ketiga, bagaimana
mengelola kehendak politik di dalam pembentukan Densus Tipikor?
Tentunya tiga pertanyaan di
atas tidak menafikan kemungkinan pertanyaan lain, misalnya apakah persetujuan
anggaran untuk Densus Tipikor, jika disetujui, akan memotong anggaran untuk
lembaga pemberantasan korupsi lainnya, seperti kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)? Meski demikian, pada bagian ini, cukuplah tiga
pertanyaan awal saja yang dibahas.
Pembentukan lembaga
pemberantasan korupsi di setiap negara memiliki sejarahnya masing-masing.
Singapura, sebagai contoh, awalnya penanganan korupsi dilakukan oleh unit
antikorupsi di tubuh kepolisian. Sampai pada Oktober 1951, ditemukan
keterlibatan polisi dalam penyelundupan opium senilai 400.000 dollar
Singapura. Kasus a quo mendasari pembentukan Corrupt Practices Investigation
Bureau(CPIB), biro khusus pemberantasan korupsi (Deputi Pencegahan KPK, 2006:
14).
Contoh lainnya, Hongkong.
Hongkong mempunyai sejarah korupsi bersamaan dengan kemajuan infrastruktur
yang relatif pesat pada era 1960 hingga 1970-an. Korupsi yang sangat mencolok
dilakukan Kepala Pengawas Kepolisian Hongkong Peter Fitzroy Godber. Ia
ditengarai memiliki harta korupsi sebesar 4,3 juta dollar Hongkong.
Kondisi ini memicu Hongkong
membentuk Independent Commission Against Corruption(ICAC), komisi independen
pemberantasan korupsi (Deputi Pencegahan KPK, 2006: 16).
Bagaimana dengan Indonesia?
Republik ini membentuk KPK pada 2002 juga karena, salah satunya, belum
efektif dan belum efisiennya lembaga pemerintah untuk menangani kasus
korupsi, seperti Singapura karena akibat keterlibatan polisi dalam
penyelundupan opium dan Hongkong karena korupsi kepolisian serta semua sektor
lain.
Meski dibentuk KPK, peraturan
perundang-undangan tidak mengamanatkan pengambilalihan kewenangan
pemberantasan korupsi dari kepolisian dan kejaksaan oleh KPK. Dua lembaga itu
tetap diberi kewenangan pemberantasan korupsi.
Lihatlah, kejaksaan,
berdasarkan Pasal 30 Ayat (1) Huruf d UU Nomor 16 Tahun 2004, diberi tugas
untuk menyidik tindak pidana tertentu, termasuk korupsi, dari kewenangan inti
(core business)–nya, penuntutan. Kepolisian, dengan Pasal 14 Ayat (1) Huruf g
UU No 2/2002, membawa mandat menyelidiki dan menyidik semua tindak pidana,
termasuk korupsi.
Artinya, jika kepolisian—dan
kejaksaan—ingin membuat sebuah lembaga pemberantasan korupsi, semacam Densus
Tipikor, sejatinya undang-undang memberi ruang kepadanya. Dari segi ini,
layak saja bagi Polri menginisiasi rencana pembentukan tersebut.
Isu koordinasi
Masalah yang sering muncul dari
eksistensi KPK, kepolisian, dan kejaksaan adalah bentuk koordinasi di antara
ketiganya. Egoisme kelembagaan tak jarang menjadi aral serius bagi upaya
pemberantasan korupsi. Gesekan antara Polri dan KPK dalam kasus korupsi yang
melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko
Susilo cukuplah sebagai pengingat konkret dari egoisme kelembagaan yang
kontraproduktif dengan pemberantasan korupsi.
Idealnya, makin banyak lembaga
pemberantasan korupsi akan makin bagus. Kompetisi antarlembaga untuk
memerangi korupsi perlu dikelola dalam bingkai peraturan perundang-undangan.
Pendek kata, asas atau prinsip dalam perundang-undangan harus dibuat sebagai
parameter dalam menyusun pola koordinasi antarlembaga pemberantasan korupsi.
Secara umum, berdasarkan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penuntutan kasus dilakukan
kejaksaan. Densus Tipikor sebagai bagian dari kepolisian, wewenangnya hanya
sampai penyidikan. Hasil penyidikan harus diserahkan ke kejaksaan untuk
dituntut jika berkas telah lengkap. Koordinasi Densus Tipikor dengan
kejaksaan harus berada dalam rambu-rambu demikian. Densus Tipikor tak bisa
menuntut sendiri atau mengambil masuk jaksa dalam timnya.
Secara khusus, dalam Pasal 8
Ayat (2) dan Ayat (3) UU No 30/2002, supervisi KPK memungkinkannya mengambil
alih penyidikan atau penuntutan dari tangan kepolisian atau kejaksaan. Tentunya
harus memenuhi syarat tertentu, sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No
30/2002. Tidak bisa sembarangan.
Sederhananya, jika Densus
Tipikor menangani korupsi, tetapi KPK ingin mengambil alih penyidikan, mau
tak mau—dan harus mau—Densus Tipikor wajib menyerahkan semua tersangka,
berkas perkara, alat bukti, dan dokumen lainnya dalam waktu 14 hari tanpa
terkecuali. Densus Tipikor tak boleh menolak.
Sebaliknya, Densus Tipikor tak
bisa mengambil alih kasus korupsi yang sedang ditangani KPK, misalnya, dengan
alasan jumlah personel Densus Tipikor lebih banyak dari KPK. Suka tak suka,
pola koordinasi Densus Tipikor dengan lembaga penegak hukum lainnya harus
mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Motif pembentukan
Sejenak cukup dipahami, tujuan
lembaga pemberantasan korupsi adalah memerangi korupsi, bukan yang lain.
Kapolri sebagai penanggung jawab Densus Tipikor harus menyadari betul bahwa
tak boleh ada tujuan pesanan dari
pembentukan Densus Tipikor dengan anggaran triliunan rupiah itu.
Katakanlah, tersebar
kasak-kusuk, jika Densus Tipikor moncer kinerjanya, bakal dibuat alasan untuk
membubarkan KPK. Atau Densus diproyeksikan menangani semua kasus korupsi yang
menjerat anggota Polri. Yang demikian tak boleh menjadi panglima dalam
politik pembentukan Densus Tipikor. Kapolri perlu memberi jaminan bahwa
kehendak politik Densus Tipikor secara eksternal tidak akan dipakai untuk
”menggebuk” lembaga pemberantasan korupsi lainnya. Dan secara internal tidak
dimanfaatkan untuk menutupi borok korpsnya.
Seumpamanya jawaban terhadap
tiga pertanyaan kelayakan di atas mengisi ceruk kelayakan lembaga
pemberantasan korupsi, maka baiklah dilaksanakan niat membentuk Densus
Tipikor tersebut. Akan tetapi, kalau bertolak belakang, maka tidak salah jika
diurungkan. Perlulah selalu diingat, pusaran korupsi kadang kala sudah mulai
muncul di perencanaan. Semoga niat pembentukan Densus Tipikor terhindar jauh
dari pusaran itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar