Senin, 16 November 2015

Kita Bisa Bersama

Kita Bisa Bersama

Arswendo Atmowiloto ;  Budayawan
                                             KORAN JAKARTA, 14 November 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Semboyan yang biasa adalah “Bersama Kita Bisa” , yang mengumandang di masa pemerintahan Presiden Yudhoyono. Sebagaimana biasanya, semboyan, atau motto, atau tagline, atau “kata mutiara” yang menjadi pegangan bersama, tata nilai serta tata kramanya menjadi ungkapan yang ampuh. “Bersama Kita Bisa” bahkan masih menjadi tema yang diperjuangkan sebuah perusahaan besar dalam merayakan ulang tahun dan diliput media massa.

Tak ada yang salah dengan itu, dan semboyan tidak untuk disalahkan. Namun penekanannya bisa menjadi beda, misalnya diubah menjadi “Kita Bisa Bersama”. Ini yang terlintas dalam kelebatan peristiwa akhir-akhir ini. Semboyan “Kita Bisa Bersama”, sangat diperlukan oleh misalnya Partai Golkar. Selama ini perselisihan dua kubu menjadi berlarut-larut penuh carut. Menjelang Pilkada serentak sebentar lagi, yang lebih diperlukan kebersamaan lebih dulu, sebelum bisa—bisa memenangkan pilkada, atau kemenangan yang lain. Bagaimana “bisa” mendapatkan sesuatu, kalau “bersama” saja belum mewujud.

Ini bukan hanya terjadi dalam diri Partai Golkar, atau juga Partai Persatuan Pembangunan yang berada dalam nasib “belum bersama”, melainkan juga berlaku pada organisasi dan atau komunitas yang lain, termasuk kabinet dalam kabinet pemerintah saat ini . Yang memerlukan kebersamaan lebih dulu, untuk menunjukkan eksistensinya, menunjukkan keberadaannya. Baik dalam kaitan partai politik, lembaga dan atau usaha bisnis. Bahkan kebersamaan harusnya juga sama berharganya dengan keberhasilan. Bahwa kebersamaan menjadikan kuat, bukan hanya karena hasil – yang kemudian dibagi bersama.

Mungkin agak berlebihan, namun contoh di provinsi Sumatera Utara yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan juga yudikatif yang terseret badai korupsi adalah bentuk lain dari “bersama kita bisa”—bisa menyelesaikan dan menutupi masalah korupsi. Dan nyaris demikian adanya, kalau kemudian Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan tangkap tangan. Dari sini, kotak “Pandora” terbuka dan menganga memperlihatkan apa yang selama ini tersembunyi. Dan masyarakat geram, marah, karena peri laku dan martabat para penguasa – juga pengacara, yang rendah. Dan masih merasa tidak bersalah,merasa perlu lebih gerah pada lawannya.

“Kita Bisa Bersama”, menempatkan diri dari sudut pandang yang berbeda, dan dengan demikian menghasilkan gambar yang berbeda pula. Demikian dulu sebagaian masyarakat kita di Jawa dibesarkan dengan slogan jer basuki mawa bea. Yang artinya segala sesuatu memerlukan beaya. Yang arti lain, dalam bahasa lain “tak ada makan siang gratis” . Yang sebenarnya bisa ditekankan pada titik perlunya usaha keras, perlunya penyediaan beaya, perlu perencanaan untuk dianggarkan hal-hal yang kelihatannya bisa berlangsung dengan sendirinya. Dalam bentuk lain kata yang sama bisa juga diartikan negatif.

Misalnya kata indah itu diterjemahkan sebagai “uang rokok”, sebagai pembenaran adanya “upeti”, atau istilah lain dengan nama gratifikasi, atau suap, yang dalam tatanan hukum meletakkan dalam kaitan dan bukti korupsi.

“Kita Bisa Bersama”, lebih mementingkan kebersamaan, lebih menuntut lapang dada, berpikir lebih panjang dari batang hidung, sehingga “kebersamaan” menjadi kekuatan yang menyatukan. Dan bukan mengejar “bisa” atau sukses, dan karenanya malah membuat perpecahan, pertikaian, yang pada gilirannya tak menghasilkan apa-apa. Kita hidup dengan slogan, termasuk menciptakan yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar