Perang!
Rene L Pattiradjawane ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
19 Agustus 2015
Ada perubahan signifikan sistem
perekonomian Tiongkok. Negara ekonomi kedua terbesar setelah Amerika Serikat
ini sedang mencari pijakan baru menyengsarakan banyak negara di dunia.
Pelemahan mata uang renminbi (uang rakyat, juga disebut sebagai yuan), proses
yang sudah berlangsung lama, di tengah memburuknya situasi ekonomi Tiongkok
karena rendahnya ekspor, menjadi ancaman serius banyak negara.
Tindakan Tiongkok kali ini
menghadirkan kenyataan baru ketika depresiasi yuan berhadap-hadapan dengan
upaya stabilisasi pemerintahan komunis RRT dalam skema yang lazim disebut
sebagai you guanli fudong huilu zhidu
(sistem mengelola nilai tukar mata uang). Artinya, kita memasuki era
fluktuasi mata uang dari hari ke hari ketika bank sentral Zhongguo Renmin
Yinhang (Bank Rakyat Tiongkok) memengaruhi nilai tukar melalui jual-beli mata
uang dan dikenal juga sebagai dirty
float.
Tiongkok melakukan depresiasi yuan
sebagai langkah melakukan liberalisasi perdagangan yuan, memperoleh peran
dalam special drawing rights (SDR) dalam keranjang mata uang dunia sistem
Dana Moneter Internasional (IMF), serta jalan utama RRT menuju globalisasi
yuan membebaskan diri dari mata uang dollar AS. Masalahnya, upaya ini
memiliki risiko tambahan karena mata uang yang bergerak bebas sering kali
menjauh dari keinginan pemerintah.
Celakanya, perubahan mata uang
yuan terhadap dollar AS selama beberapa tahun ini langsung berdampak pada
apresiasi mata uang dunia lainnya. Terhadap mata uang Jepang yen, misalnya,
apresiasi yuan sudah mencapai sekitar 80 persen. Jadi, batas yang
diberlakukan atas fluktuasi yuan sekitar 4 persen relatif sangat kecil
berbanding dengan dollar AS.
Ada beberapa hal menjadi perhatian
kita. Pertama, benar ada indikasi kebijakan ekonomi RRT sedang bergerak
menuju liberalisasi. Namun, indikasi lain yang terjadi adalah kebijakan
politik dan sosial di negara berpenduduk terbesar di dunia ini sedang
mengarah ke bentuk otokrasi yang sesungguhnya.
Kedua, melemahnya yuan juga
cerminan menurunnya perekonomian Tiongkok. Perlu diingat, Tiongkok adalah
negara komunis dengan berbagai informasi dikendalikan mesin agiprop (agitasi
dan propaganda) yang puluhan tahun bekerja mengendalikan massa rakyat. Apakah
betul depresiasi yuan berkisar 4 persen seperti yang diumumkan Pemerintah
RRT?
Kalau ada keraguan atas data yang
dinyatakan oleh Beijing, pertanyaannya adalah, berapa persen sebenarnya laju
pertumbuhan PDB Tiongkok sekarang ini? Bulan Juli lalu, penjualan mobil di
Tiongkok turun 7 persen, begitu juga pasar komoditas dan industri yang rontok
selama tiga tahun terakhir ini.
Tindakan depresiasi yuan sudah
mulai menggelisahkan banyak negara, termasuk Indonesia, ketika rupiah melemah
secara drastis. India, Afrika Selatan, Thailand, Korea Selatan, Malaysia,
Taiwan, ataupun Vietnam sudah mulai mengancam akan membalas ketika dampak
apresiasi yuan mengganggu perekonomian negara-negara tersebut. Bisa
dibayangkan, defisit perdagangan Indonesia sebesar 14 miliar dollar AS dengan
RRT akan berubah menjadi angka berapa?
Ada beberapa faktor yang
menjelaskan kegelisahan berbagai negara dunia dengan tindakan unilateral
apresiasi yuan. Pertama, upaya Tiongkok ini merupakan bagian strategi disebut
jie chuan chuhai (meminjam perahu berlayar ke lautan) sebagai cara membangun
jaringan distribusi di dalam sistem negara asing untuk mengawasi dan
menyalurkan produk sendiri.
Kedua, kalau melihat struktur
investasi Tiongkok di sejumlah negara di dunia, selama beberapa tahun
terakhir ini investasi RRT yang mencapai 1 triliun dollar AS terkonsentrasi
di energi, transportasi, dan besi-besian. Di Indonesia, dalam kurun 10 tahun
investasi RRT sebesar 31,6 miliar dollar AS terkonsentrasi pada energi (16,8
miliar dollar AS), besi (9,3 miliar dollar AS), dan transportasi (3,5 miliar
dollar AS).
Artinya, melemahnya banyak mata
uang negara-negara Asia dan Afrika memberikan kemudahan bagi investor RRT
memperoleh keperluan sumber dayanya secara murah melalui berbagai penanaman
modal badan usaha negaranya. Ini yang menjelaskan niatan inisiatif RRT konsep
”satu sabuk satu jalan” (OBOR) membangun proyek infrastruktur secara masif.
Ketiga, samar-samar mulai terlihat
apa yang ingin dilakukan RRT adalah mengembangkan apa yang disebut sebagai
”zona yuan” (renminbi qu) dimulai dengan negara-negara tetangga yang ”mudah
diatur.” Regionalisasi renminbi akan menjadi peluang penting sebagai saluran
pembuangan persoalan ekonomi domestik yang terus merosot secara tajam,
khususnya penyediaan lapangan kerja.
Bisa dipastikan kalau tidak ada
perbaikan memadai dalam nilai tukar mata uang berbagai regional yang
terkungkung dalam pertarungan yuan-dollar AS, sebuah perang baru akan muncul.
Berbagai tindakan balasan akan bermunculan, melibatkan banyak pemain
(termasuk Jepang dengan ekonomi yang terkapar) memasuki siklus baru penataan
ulang ekonomi dan perdagangan global. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar