Doa 70 Tahun Negeri
Putu Setia ;
Pengarang; Wartawan Senior Tempo
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2015
Ada kesan tersisa dari
mengikuti perayaan hari ulang tahun ke-70 Republik Indonesia di Istana
Negara, walau cuma lewat siaran televisi. Bukan soal pasukan pengibar bendera
atau Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tak mengangkat tangan saat menghormati
bendera. Apalagi soal Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak hadir, sementara
Megawati hadir.
Yang berkesan adalah
doa Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Alinea pertama setelah pembacaan
ayat-ayat suci, masih umum. Mengucap syukur dan mengagungkan kemahakuasaan
Sang Pencipta, doa "formal" di setiap agama. Tapi alinea kedua
menukik ke masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. "Berikanlah kami
kedewasaan kehidupan berpolitik dan berdemokrasi. Mudahkanlah kami dalam
bekerja dan menumbuhkan budaya kerja...." Itu cuplikannya.
Artinya, kehidupan
politik kita diyakini belum dewasa. Partai politik dengan mudahnya bisa pecah
hanya karena masalah sepele, berebut menjadi ketua umum. Bukan persoalan
ideologis atau masalah program. Demokrasi kita masih coba-coba dan berpatokan
pada kasus sesaat, bukan melihat ke depan. Dalam hal pemilihan kepala daerah,
misalnya, calon independen dan persyaratan partai mengusung calon kepala
daerah diperberat. Alasannya, calon menjadi tidak banyak sehingga masyarakat
tidak bingung memilih. Tatkala kemudian calonnya justru tunggal, kehebohan
terjadi. Bagaimana memilih kalau calonnya hanya satu?
"Mudahkanlah kami
dalam bekerja dan menumbuhkan budaya kerja" adalah kritik khas setiap
pelantun doa untuk menyatakan bahwa saat ini bekerja itu masih sulit, apalagi
menumbuhkan budaya kerja. Orang bisa berkata (dan membaca): "Ayo kerja,
kerja, dan kerja." Bagaimana petani bekerja kalau sawahnya kering? Musim
lalu disalahkan, padahal sejak dulu April-Oktober adalah musim kemarau di
Nusantara. Kalau saja irigasi mendapat perhatian pemerintah, mata air tidak
mengering karena hutan yang dibabat. Air masih mengalir. Itu pun harus
diprioritaskan untuk petani, bukan disalurkan ke hotel dan orang-orang kaya
di kota. Orang kota itu harus dicarikan alternatif lain, misalnya, menyuling
air laut. Ini sekadar contoh.
Sulit menumbuhkan
budaya kerja saat kemewahan masih dipertontonkan, apalagi yang diperoleh
dengan korupsi dan perbuatan terkutuk lain. Masyarakat tak lagi bodoh. Oke,
disuruh kerja keras, tapi mereka melirik pejabat yang menyuruh itu. Apa
mereka juga bekerja untuk rakyat? Masyarakat bertanya dalam diam, apa yang
akan dikerjakan calon bupati itu setelah terpilih, kok berani membayar mahal
ongkos politik yang begitu besar yang tak sebanding dengan gajinya selama
lima tahun? Prasangka pun muncul, dan ini menggoyahkan budaya kerja yang
sebenar-benarnya bekerja.
Alinea ketiga doa
Menteri Agama adalah pernyataan yang umum, tapi menjadi beda jika disampaikan
dalam upacara kenegaraan yang sakral. "...hindarkanlah bangsa dan negara
kami dari marabahaya, fitnah antar-suku, agama, ras, dan antargolongan yang
dapat memecah-belah kesatuan bangsa." Kita bisa merinding jika melihat
kecenderungan di masyarakat yang masih mempermainkan "perbedaan"
SARA dengan maksud memecah bangsa.
Tuhan tentu mendengar
doa ini. Tapi, di atas segalanya, seharusnya kita sendiri-terutama para
pemimpin-yang lebih dulu mendengarkannya dan mengamini, tidak dengan
basa-basi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar