Memanusiakan Manusia
James Luhulima ;
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas
|
KOMPAS,
22 Agustus 2015
Setelah
berminggu-minggu beredar kabar bahwa beberapa anggota Kabinet Kerja akan
diganti, akhirnya pada 12 Agustus lalu Presiden Joko Widodo benar-benar
melakukannya. Enam anggota Kabinet Kerja diganti.
Keenam menteri itu
adalah Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Sofyan Djalil; Menko
Kemaritiman Indroyono Soesilo; Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhy
Purdijatno; Menteri Perdagangan Rachmat Gobel; Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Andrinof
Chaniago; dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto.
Dan, dari enam menteri
yang diganti, hanya satu yang tetap bergabung di kabinet, yakni Sofjan
Djalil. Ia mengisi posisi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional/Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional yang ditinggalkan Andrinof
Chaniago.
Mengganti anggota
kabinet itu hampir sama dengan bermain catur. Pada hakikatnya, pemain menyusun
strategi permainan dengan menggerakkan bidak-bidak catur ke posisi-posisi
tertentu untuk memperkuat posisinya dan melemahkan posisi musuh. Kemudian,
dengan perhitungan yang matang menentukan bidak mana yang akan dikorbankan,
bidak mana yang akan tetap dipertahankan untuk mencapai kemenangan.
Dalam melakukan
penggantian anggota kabinet itu pun Presiden Jokowi dengan perhitungan yang
matang menentukan anggota kabinet mana yang akan diganti dan mana yang akan
dipertahankan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkannya. Itu
sebabnya, dalam tulisan ini sengaja tidak dipersoalkan, apakah pemilihan
menteri yang diganti itu sudah tepat? Atau, apakah menteri-menteri yang baru
dipilih itu lebih baik daripada menteri-menteri yang mereka gantikan?
Yang dipersoalkan
dalam tulisan ini adalah cara keenam menteri itu diganti. Pada 11 Agustus
malam, secara mendadak Presiden Jokowi memanggil Menko Polhukam Tedjo Edhy
Purdijatno, Menko Perekonomian Sofjan Djalil, Menteri PPN/Kepala Bappenas
Andrinof Chaniago, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, dan Sekretaris Kabinet
Andi Widjajanto ke Istana Merdeka. Dalam pertemuan di Istana Merdeka itu,
Presiden Jokowi memberi tahu bahwa mereka akan diganti.
Ketika meninggalkan
Istana Merdeka, Tedjo dan Andrinof tidak mau menjawab pertanyaan pers.
Rachmat bicara sedikit soal kelangkaan daging, sedangkan Andi memberi
penjelasan singkat tentang pilkada. Adapun Sofyan hanya mengatakan, ”Buat
saya, pengangkatan saya sebagai menko jelas sebuah kehormatan. Tetapi, apakah
saya diganti atau tidak, itu terserah Presiden, haknya Presiden.”
Pada hari yang sama,
Menko Kemaritiman Indroyono Soesilo berada di Papua. Ia tengah mengadakan
kunjungan kerja ke Timika, Mimika. Dalam sambutannya, Indroyono menyampaikan
salam hangat dari Presiden Jokowi kepada warga Papua dan Papua Barat.
Tidak lama setelah
itu, Indroyono menerima panggilan telepon langsung dari Presiden Jokowi.
Dalam percakapan telepon itu, Jokowi memberi tahu bahwa ia akan diganti. Dan,
ketika pergantian kabinet itu diumumkan keesokan harinya, Indroyono tidak
bisa hadir karena masih berada di Papua.
Pertanyaan-pertanyaan
yang langsung muncul di benak, mengapa mereka didadak seperti itu. Bukankah
seharusnya mereka diberikan waktu yang cukup untuk dapat keluar dari kabinet
dengan kepala tegak. Bukankah pergantian mereka dilakukan untuk suatu tujuan
tertentu (antara lain agar kinerja pemerintah lebih baik), dan bukan karena
mereka melakukan kesalahan fatal atau melakukan pembangkangan sehingga harus
ditindak pada hari itu juga. Kalau sempat tertunda-tunda hingga
berminggu-minggu, apa artinya menunggu satu-dua hari, hingga Indroyono
kembali ke Jakarta.
Ada yang terlupa
Maaf, ada yang terlupa
di sana. Mereka bukanlah bidak-bidak catur, mereka adalah manusia yang berhak
diperlakukan sebagai manusia. Ada etiket (tata cara dan aturan) dalam
berhubungan antarmanusia. Apalagi mereka bukanlah musuh. Sebelas bulan yang
lalu mereka ”dipinang” untuk bergabung dalam Kabinet Kerja. Bahkan, saat
”dipinang”, Indroyono Soesilo, putra mantan Menteri Pariwisata Pos dan
Telekomunikasi serta Menko Polkam Soesilo Soedarman, adalah pejabat tinggi di
Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) di Roma, Italia.
Memperlakukan musuh
saja ada tata cara dan aturannya. Dalam Kitab Mahabharata dikisahkan, dalam perang
di medan Kurusetra (Bharatayudha) ada aturan yang berlaku. Konvensi Geneva
pun mengatur bagaimana menangani musuh yang tertangkap atau menyerah dalam
peperangan.
Dalam dialog Arjuna
dengan Kresna yang dipaparkan dalam Kitab Bhagavad Gita terlihat betapa
Arjuna gundah ketika ia diharuskan berperang dengan orang-orang yang
dihormatinya, yang dalam perang di medan Kurusetra menjadi musuhnya.
Dengan jiwa besar kita
harus mengakui bahwa tata cara dan aturan dalam berhubungan antarmanusia
telah hilang dari bangsa ini. Orang tidak tahu lagi bagaimana berlaku benar
(sesuai tata cara dan aturan) dalam berhubungan dengan manusia.
Hal inilah yang
melatarbelakangi keinginan untuk menghidupkan kembali pasal penghinaan
terhadap presiden yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Jika saja orang
berlaku sesuai tata cara dan aturan dalam berhubungan antarmanusia, keinginan
itu tidak akan muncul. Orang akan memperlakukan seorang presiden, yang
dipilih langsung oleh rakyat, dengan hormat. Bukan berarti tidak boleh mengkritik,
boleh, atau bahkan harus, jika memang harus. Akan tetapi, kritik itu harus
disampaikan secara baik, dan beradab. Sama seperti kita berbicara dengan
orangtua kita, orang yang lebih tua dari kita, atau orang-orang yang kita
hormati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar