RAPBN 2016 Menepis Krisis
Yusuf Wibisono ;
Direktur Ideas (Indonesia Development and
Islamic Studies)
|
KORAN
TEMPO, 21 Agustus 2015
Di tengah pesimisme
terhadap perekonomian nasional, RAPBN 2016 menjadi momentum penting bagi
pemerintah untuk memulihkan kepercayaan pelaku pasar. Pemerintah terlihat
banyak belajar dari APBN-P 2015 yang sangat ambisius dan justru menjadi
"kartu mati" perekonomian. Setelah memegang tampuk kuasa, Presiden
Joko Widodo bergerak cepat melakukan perubahan anggaran melalui APBN-P 2015
pada awal tahun dengan langkah terpenting berupa pengurangan subsidi energi
hingga 60 persen, yakni dari Rp 342 triliun menjadi hanya Rp 138 triliun.
Meski didukung sejumlah rasionalitas ekonomi yang kuat, penurunan subsidi BBM
dan listrik ini secara cepat memukul daya beli dan konsumsi masyarakat,
terutama melalui jalur kenaikan tarif transportasi dan logistik.
Pelemahan daya beli
dan konsumsi masyarakat ini diperparah kenaikan target penerimaan pajak 2015
yang signifikan-hingga 30 persen-terutama PPh non-migas dan PPN yang
masing-masing dipatok tumbuh 37 persen dan 41 persen. Reformasi anggaran
Presiden Widodo jelas terlihat mengejar penciptaan fiscal space dari dua arah
sekaligus, yakni pencabutan subsidi dan peningkatan penerimaan perpajakan.
Ambisi meningkatkan ruang gerak fiskal secepatnya untuk memenuhi janji-janji
kampanyenya harus dibayar mahal: pelemahan konsumsi swasta yang luas.
Pelemahan ekonomi
domestik ini bertemu dengan suramnya situasi eksternal akibat berlanjutnya
pelemahan harga komoditas dunia dan jatuhnya permintaan global. Pelemahan
ekspor yang beriringan dengan penguatan dolar secara global akibat spekulasi
pengetatan moneter Amerika Serikat segera menekan rupiah. Sementara pada awal
2015 kurs rupiah masih berada di kisaran 12.400 per dolar, pada Juli rupiah
longsor ke level 13.300. Bahkan rupiah sempat menembus angka Rp 13.800 per
dolar pada Agustus. Penurunan signifikan subsidi energi yang semestinya
membantu defisit transaksi berjalan dan nilai tukar tak mampu menahan
kejatuhan rupiah.
Industri manufaktur
yang mengalami pukulan dari turunnnya penjualan dan kenaikan biaya produksi
semakin tertekan oleh depresiasi rupiah karena masih tingginya ketergantungan
pada impor. Pengusaha tidak berani menggeser beban ini ke harga produk karena
lemahnya daya beli konsumen. Menurunkan produksi dan merumahkan karyawan
menjadi pilihan pahit. Gelombang PHK pun tak terelakkan, sementara investasi
swasta melemah.
Pemerintah yang sejak
awal berniat mendorong perekonomian terutama melalui belanja modal yang naik
hingga hampir dua kali lipat-dari Rp 147 triliun menjadi Rp 276
triliun-justru berbalik semakin menekan pertumbuhan karena rendahnya
penyerapan anggaran. Ratusan triliun dana pemerintah menganggur di tengah
lemahnya perekonomian, termasuk anggaran di daerah. Hasilnya, perekonomian
kuartal I dan II 2015 hanya mampu tumbuh 4,72 persen dan 4,67 persen, atau
terendah sejak 2009.
RAPBN 2016 kini
terlihat realistis serta kembali ke pola "normal" dan berperan
sebagai counter-cycle policy.
Secara nominal, penerimaan pajak hanya ditargetkan meningkat 5 persen.
Konsumsi swasta yang melemah signifikan, dari tumbuh 12,3 persen tahun lalu
menjadi hanya 4,7 persen pada kuartal I 2015, bahkan membuat PPN
diproyeksikan tumbuh negatif-pertama kali sejak 2009. Peran BUMN dalam
pembangunan terlihat terus didorong dengan terus turunnya target penerimaan
laba BUMN hingga 15 persen, atau dua kali lipat dari penurunan 2015. Secara
riil, penerimaan pajak menurun dari tax ratio 12,72 persen pada 2015 menjadi
hanya 12,04 persen pada 2016.
Di sisi lain, belanja
negara untuk pertama kalinya didorong hingga menembus Rp 2.000 triliun
melalui peningkatan defisit fiskal menjadi 2,1 persen dari PDB, yang semula
1,9 persen pada 2015. Meski berlanjut, laju penurunan subsidi energi jauh
menurun, yakni menjadi 12 persen dari 60 persen pada 2015. Subsidi bunga
kredit program melejit lima kali lipat dari Rp 2,5 triliun menjadi Rp 16,5
triliun.
Sementara itu, belanja
infrastruktur pemerintah dipertahankan di atas 2 persen dari PDB, yaitu di
kisaran 2,4 persen, lebih tinggi daripada era SBY yang di bawah 2 persen dari
PDB. Transfer ke daerah semakin meningkat terutama melalui dana alokasi
khusus dan dana desa. Setelah berlipat ganda pada 2015, DAK fisik meningkat
56 persen pada 2016. Sedangkan dana desa yang baru ditetapkan tahun ini
langsung melesat 126 persen pada 2016.
Meski telah memberi
sejumlah sinyal positif ke pasar, pelaksanaan RAPBN 2016 tidak akan mudah.
Tantangan terberat pemerintah adalah mengejar asumsi ekonomi makro yang
optimistis. Dengan lemahnya konsumsi domestik dan ekspor, asumsi pertumbuhan
ekonomi 5,5 persen membutuhkan extra effort untuk dicapai. Asumsi nilai tukar
Rp 13.400 per dolar membutuhkan reformasi struktural agar kokoh menghadapi
"taper tantrum" tidak hanya dari The Fed, tapi juga ECB dan BoJ.
Tantangan berikutnya
adalah rendahnya penyerapan anggaran belanja modal, dari karena faktor
lambatnya proses administrasi, kepastian hukum, hingga pembebasan lahan.
Lebih jauh lagi, dari belanja infrastruktur senilai Rp 313,5 triliun yang
digadang untuk pertumbuhan, yang sepenuhnya di bawah kontrol pemerintah pusat
hanya 53 persen. Sisanya tersebar di bawah kontrol pemerintah daerah (18
persen), pemerintah desa (6 persen), dan BUMN (13 persen). Pemerintah harus
bekerja keras untuk memastikan target belanja infrastruktur ini tercapai.
Dengan membuat transfer ke daerah lebih besar dari belanja kementerian/lembaga-pertama
kalinya sejak 2011-RAPBN 2016 juga bertaruh besar dengan semakin bergantung
pada kinerja daerah.
RAPBN 2016 juga
memiliki sejumlah catatan. Defisit fiskal untuk membiayai peningkatan belanja
harus dibayar penarikan utang luar negeri yang melonjak hingga 50
persen-terutama untuk pinjaman program yang meroket hampir lima kali
lipat-sedangkan pinjaman proyek justru turun 7 persen. Untuk pertama kalinya
sejak 2004, pembiayaan luar negeri neto bernilai positif. Kebijakan afirmatif
untuk lepas dari tekanan asing, ironisnya, justru kandas di tangan Presiden
Widodo yang mencita-citakan kemandirian bangsa.
Kembali dipangkasnya
anggaran subsidi hingga nilainya hampir sama dengan pembayaran bunga utang
menimbulkan pertanyaan tentang keberpihakan pemerintah. Subsidi listrik
adalah salah satu subsidi utama yang terus dipangkas. Setelah turun 28 persen
pada 2015, subsidi melorot 32 persen tahun depan. Jika tren ini tidak
berubah, dipastikan RAPBN 2017 mencatat untuk pertama kalinya anggaran
subsidi lebih rendah daripada pembayaran bunga utang- sesuatu yang segera
akan dimaknai bahwa kepentingan rakyat lebih rendah daripada kepentingan
investor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar