Warga Negara Istimewa
Saifur Rohman ;
Pengajar Filsafat di Universitas Negeri
Jakarta
|
KOMPAS,
21 Agustus 2015
Warga negara Daerah
Istimewa Yogyakarta, Elanto Wijoyono, menghadang konvoi pengguna motor gede
alias moge dengan sepeda kayuh ketika melintas di perempatan jalan raya
Yogyakarta, Minggu, 16 Agustus.
Saat itu, lampu lalu
lintas berwarna merah. Dia menilai bahwa pengawalan rombongan itu telah
menyusahkan pengguna lain di jalan raya karena macet di sejumlah ruas jalan
lain.
Akibat dari aksi itu,
Kepolisian menyatakan pengawalan itu sudah sesuai dengan Pasal 134 UU No
22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 18 UU No 2/2002 tentang
Kepolisian, dan Pasal 1 angka 10 Peraturan Kapolri No 10/2012. Dengan dasar
alasan itu pula, sesuai dengan rilis Kepolisian pada Minggu, 16 Agustus 2015,
tindakan warga tersebut dinilai "tidak patut ditiru karena tidak
menjunjung supremasi hukum".
Tanda tanya
Namun, keberanian
rakyat ini membuat kita merenung karena bila melihat dalam skala yang lebih
luas, kasus ini tak berbeda dengan wacana anarkisme geng motor yang pernah
meresahkan publik beberapa waktu lalu.
Baik geng motor kecil
maupun geng motor besar sama-sama bermaksud menunjukkan diri sebagai kelompok
yang eksklusif dengan identitas motor dengan memanfaatkan ruang publik berupa
jalan raya.
Adakah hal-hal yang
salah dalam pertimbangan institusional untuk identifikasi masalah sosial?
Apakah dengan begitu telah terjadi kekeliruan dalam praktik hukum?
Kalau ditarik ke dalam
konteks sosial, bagaimana pola-pola sosial dalam praktik interaksi
eksklusif-inklusif, in group-out group, toleransi, pluralitas, aktualitas
nilai-nilai normatif di tengah masyarakat?
Kasus itu jelas
mengingatkan kita pada pendapat Garrett Hardin tentang tragedi kebersamaan
dalam jurnal Science beberapa tahun lalu. Dia menunjuk kasus bahwa sebuah
sumber daya yang terbuka untuk umum telah diarahkan untuk kepentingan diri
atau kelompok tanpa mempertimbangkan pembangunan yang lestari. Misalnya,
penjagaan atmosfer dari polusi, pemanfaatan ikan, lautan, sungai, dan
kualitas udara.
Tragedi kepemilikan
bersama dalam pendapat Hardin itu tak jauh berbeda dengan tragedi dalam ruang
publik yang terjadi sekarang. Secara umum ruang publik dapat dianggap sebagai
tempat ketika setiap orang dapat mengakses untuk kepentingan pribadi ataupun
kelompok. Akses tersebut didasarkan pada prasyarat bahwa kepentingan itu
tidak melawan kepentingan umum, apalagi adanya ruang publik itu dibangun
didasarkan oleh pajak yang dikumpulkan negara untuk kepentingan bersama.
Dalam tata negara di
Indonesia, negara menjamin hak kepemilikan bagi setiap pribadi untuk
mendukung hak asasi bagi setiap individu untuk menikmati kesejahteraan. Pada
mulanya seorang individu memiliki kebebasan untuk memanfaatkan hak milik yang
telah diperoleh dengan alat tukar, bahkan memiliki hak bebas untuk
menunjukkan kepemilikan di ruang publik.
Akan tetapi, praktik
penggunaan hak milik itu akan memasuki wilayah etis ketika sudah terjun di
ruang publik. Contoh, Anda bisa saja tidak melanggar satu hukum pun saat
memamerkan kekayaan Anda di hadapan semua orang karena tidak ada hukum
positif apa pun yang dilawan, tetapi Anda dianggap tidak memiliki kebaikan
karena hidup berlebihan. Pemborosan bukanlah bagian dari asas keutamaan moral.
Bila direfleksikan
dalam kenyataan masa sekarang, ketika segregasi sosial didasarkan pada
kepunyaan dan kekayaan, kepemilikan barang bukanlah sekadar persoalan
kebebasan pribadi, melainkan telah memunculkan tanggung jawab sosial. Menjadi
jelas kini motor besar bukan sekadar obyek kepemilikan bagi warga negara,
melainkan memberikan identitas pribadi, kelompok, bahkan memberikan ciri-ciri
dalam interaksi sosial.
Mengingat harga motor
besar yang melebihi harga mobil, kepemilikan itu kemudian memberikan citra
kekayaan, kemapanan, dan kekhususan. Selama ini tidak sulit menunjukkan bukti
bahwa konvoi motor besar akan selalu diikuti oleh pengawalan aparat
Kepolisian.
Kasus-kasus lain dalam
wacana kepemilikan, kemewahan, dan identitas diri ataupun kelompok telah
membawa masyarakat pada diskriminasi sosial yang makin jelas dan tak jarang
terjadi kecemburuan.
Salah identifikasi
Kasus yang merebak di
tengah publik itu menunjukkan bahwa aparat tidak berhasil melakukan
identifikasi persoalan secara mendasar.
Pertama, persoalan
yang terjadi bukan sekadar praktik hukum yang tertulis dan menjalankan
mekanisme perundang-undangan. Pengawalan terhadap rombongan pemilik motor
besar itu memberikan kesan tentang eksklusivitas yang dimiliki oleh para
pemilik barang itu. Praktik aparat negara terhadap kelompok sosial ini hendak
meninggalkan pesan, jika Anda mau dikawal seperti ini, Anda harus memiliki
motor yang juga seperti ini dan ingat-ingatlah merek dagangnya pula.
Kedua, peraturan itu
sendiri selalu mengandung celah untuk penafsiran-penafsiran baru atas konteks
yang berkembang. Dengan begitu, tindakan institusi negara bisa saja legal,
tetapi tidak mencerminkan keadilan. Maksudnya, keadilan itu mengacu pada
nilai-nilai yang muncul dari nurani tentang kesederhanaan, kebaikan, dan
kemanfaatan.
Ketiga, argumentasi
formal tidaklah cukup untuk menangani kasus-kasus sosial. Itulah sebabnya
penyelesaian masalah melalui komunikasi yang didasarkan atas keterbukaan dan
kesetaraan, sebagaimana diusulkan oleh Jurgen Habermas, tidak pernah cukup
sebab dalam komunikasi akan tersimpan kuasa aktor-aktor dalam komunikasi.
Jawaban legal-formal
yang diberikan oleh aparat negara hanya semakin memperlihatkan
ketidakpekaannya terhadap maksud-maksud warga. Demikian pula, pemecahan atas
nama rasionalitas publik sebagaimana diungkapkan oleh John Rawls tampak hanya
menyerahkan keadilan pada institusi-institusi dan mekanisme formal. Faktanya,
institusi negara bisa saja dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk
memenuhi kepentingan kelompok atau golongan.
Salah identifikasi itu
terjadi karena kritik terhadap praktik hukum dan kepemerintahan tidak harus
bersumber pada otoritas tertentu dan institusi formal-struktural. Padahal,
pesannya jelas, kita membutuhkan praktik-praktik bernegara yang berpihak pada
kerendahhatian, kesederhanaan, dan kebaikan bersama sehingga lebih bisa
diterima secara luas ketimbang kepentingan golongan tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar