Tangisan Ibu Pertiwi
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum "Menjadi
Indonesia"
|
KOMPAS,
19 Agustus 2015
Beberapa waktu lalu, saya bertemu
Surono Danu (63), petani dan penangkar benih luar biasa yang menemukan dan
mengembangkan 19 varietas padi lokal sejak puluhan tahun silam. Terdorong
idealisme membantu petani, jebolan Institut Pertanian Bogor (tidak tamat) ini
membagikan temuan benih unggulnya kepada petani di seluruh negeri secara
cuma-cuma. Kini, ribuan petani berlahan marjinal seperti daerah rawa pasang
surut dan lahan kering merasakan manfaat varietas Sertani (akronim dari
Sejahterakan Petani) yang terkenal tahan penyakit dan hemat unsur hara.
Bersinergi dengan pupuk pembugar
tanah organik, inovasinya memenuhi tiga kelebihan sekaligus: mandiri,
produktif, ramah lingkungan. Ia tak bersedia melepas temuannya meski ditawar
tinggi perusahaan asing. Alih-alih didukung dan dibantu, Surono pernah dibui,
dituduh melanggar undang-undang perbenihan.
Kisah Dasep Ahmadi, alumnus
Institut Teknologi Bandung, lebih mengenaskan. Penggagas mobil listrik ini
harus meringkuk di penjara gara-gara uji coba mobil ciptaannya. Mimpi besar
untuk menciptakan mobil nasional ternyata malah tersandung penafsiran lain
penegak hukum.
Pada fakta sebaliknya, ada pegawai
negeri sipil (PNS) dengan pangkat biasa, tetapi punya rekening triliunan
rupiah, yang diduga jadi penampungan uang bisnis haram. Di pengadilan, PNS
tersebut divonis bebas. Demikian pula terbongkarnya kasus prajurit tamtama
bertransaksi triliunan rupiah tidak cukup menggerakkan penegak hukum
menelisik tali-temalinya.
Ilustrasi fakta-fakta tersebut
adalah wajah Indonesia hari ini. Kita bukan hanya kehilangan rasa hormat atas
daulat negeri, bahkan tega menyia-nyiakan dan membunuh tunas-tunas
kemandirian anak negeri. Kita tak saja meremehkan korupsi yang merasuk sangat
dalam ke perangkat negara, tetapi juga membiarkan berbagai keganjilan praktik
hukum melela di depan mata.
Panasea
Realitas empirik 70 tahun
Indonesia merdeka menyajikan gambaran besar kemiskinan nilai-nilai keluhuran
dan kedaulatan. Kealpaan membangun dan meneguhkan martabat itu bermula dari
keteledoran mendiseminasikan cita-cita besar bersama. Bersanding maraknya
akrobat politik kepentingan, pengkhianatan terhadap daulat dan amanat rakyat
terus terjadi.
Setelah produksi kayu hasil hutan
surut, sungai-sungai dan jalan-jalan di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan
sekarang diramaikan hilir mudik tongkang dan truk yang mengangkut batubara,
nikel, tandan kelapa sawit, dan getah karet. Penggundulan hutan tropis yang
memusnahkan ekosistem kaya raya biodiversitas, berganti kegiatan penambangan
besar masif dan perkebunan monokultur, hanya menyisakan sedikit
"tetesan" bagi penguatan kapasitas ekonomi lokal dan nasional.
Panen kebakaran dan kebanjiran
rasanya segera disusul oleh penampakan kawah-kawah besar bekas penambangan di
perut bumi. Predatorik dan hegemonik tetap merupakan karakteristik melekat
dalam bangun ekonomi dari rezim ke rezim.
Kita bersemangat mengumandangkan
koordinasi, tetapi yang mencuat malahan egosektoral. Lihatlah antara
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam kebijakan impor bahan
pangan. Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Daerah Tertinggal menyangkut
alokasi anggaran untuk desa. Kementerian Keuangan dan Badan Pertanahan
Nasional mengenai investasi properti oleh modal asing, serta menonjolnya
arogansi dan tafsir sepihak di kalangan institusi penegak hukum. Semua
menunjuk pada krisis kepemimpinan dan kenegarawanan.
Seluruh kekisruhan ini melahirkan
kultur self fulfilling prophecy dalam maknanya yang negatif, yakni kecemasan
menumpuk yang berubah jadi kenyataan. Pejabat dan orang-orang kaya sengaja
menyimpan dollar bukan semata-mata didorong hasrat profit taking, melainkan mereka tidak percaya dengan kebijakan
pemerintahnya sendiri.
Namun, masih banyak pribadi dan
komunitas yang menjaga marwah bangsa melampaui apa yang dikerjakan dan
dipikirkan elite negeri. Keanekaragaman tindakan dan kekayaan nurani tetap
tumbuh subur jadi penawar dahaga keteladanan. Moralitas bangsa tak
benar-benar terkoyak karena tenunan persaudaraan dan persatuan masih terajut
di berbagai belahan negeri.
Agaknya kita memerlukan semacam
panasea, obat dewa, untuk mengatasi kebobrokan terstruktur pada entitas
kebangsaan. Dengan ringkas dapat disebutkan, terapi obat dewa itu adalah
kombinasi kepemimpinan dan ketegasan yang tak menoleransi pembangkangan dan
penyimpangan praktik bernegara. Jalan ke arah ini perlu dipandu para
"panglima otentik" yang telah selesai dengan urusannya sendiri dan
tertantang menunaikan tugas sejarah.
Kanon
pikiran-tindakan
Mengapa para "panglima
otentik" perlu terpanggil dan dipanggil? Kita ditantang mengikis dan,
jika harus, membombardir berkecamuknya bermacam-macam agenda yang berpotensi
mencerai-beraikan persatuan, keadilan, dan bhinneka tunggal ika. Kita perlu
kanon pemikiran dan tindakan untuk mengatasi dan melampaui semua itu,
selanjutnya menapak pada perwujudan mimpi menjadi Indonesia.
Kita butuh panduan moralitas kuat
yang terpancar dalam setiap eksekusi terhadap kejahatan politik-ekonomi
melembaga. Dukungan dan sumbangsih seluruh elemen bangsa untuk menjemput dan
menaklukkan tantangan yang semakin berat bukan hanya diperlukan, juga
dibangkitkan lewat praksis-praksis keteladanan otentik yang membubungkan
semangat dan harapan. Kita tidak boleh membiarkan sistem meritokrasi
kepemimpinan yang kacau dan degil di semua lini sehingga rakyat jadi korban.
Para pendiri bangsa adalah elite
terdidik dan terpelajar, berperilaku asketis menjurus zuhud. Keluhuran
moralitas dan keteguhan keyakinan mendasari sikap dan tindakannya. Oleh
karena itu, mereka mewariskan kanon pemikiran dan tindakan, sumber inspirasi
yang tetap relevan sampai sekarang. Kita hanya perlu merekonstruksinya untuk
Indonesia hari ini dan ke depan agar tangisan Ibu Pertiwi tak berkepanjangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar