Mengubah UU Pilkada
Amzulian Rifai ;
Guru Besar Ketatanegaraan dan Dekan
Fakultas Hukum Universitas
Sriwijaya
|
KOMPAS,
19 Agustus 2015
Ada beberapa kejadian tidak biasa
menjelang Pilkada 2015. Terjadi calon tunggal dengan kemungkinan penundaan
pilkada dan ada pula bakal calon yang gugur pencalonannya karena tidak lulus
tes kesehatan. Kejadian-kejadian ini menjadi sebagian alasan perlunya
mengubah UU terkait pilkada.
Hukum itu selalu tertinggal dengan
perkembangan yang ada dalam masyarakat (het
recht hink achter de feiten aan). Itu juga yang terjadi terhadap beberapa
peraturan perundang-undangan di Indonesia, termasuk di antaranya UU yang
mengatur tentang pemilihan kepala daerah (pilkada).
Selama ini, beberapa aturan dalam
UU Pilkada mungkin bertujuan untuk membatasi jumlah bakal calon kepala
daerah. Caranya antara lain dengan memperketat persyaratan bagi parpol
pengusung. Hanya parpol dengan perolehan paling sedikit 20 persen jumlah
kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan
umum anggota DPRD di daerah bersangkutan yang dapat mengajukan calon kepala
daerah.
Pembatasan calon itu masih
dibentengi melalui jalur calon perseorangan yang ketat. Calon perseorangan
dapat mendaftarkan diri jika memenuhi syarat dukungan antara 6,5 persen dan 3
persen bergantung jumlah penduduk yang harus tersebar di lebih dari 50 persen
jumlah kecamatan/kabupaten/kota dimaksud.
Kondisi ini masih ditambah lagi
dengan adanya perilaku bakal calon yang memborong partai politik sebagai
partai pendukungnya. Bakal calon yang memiliki dana besar sangat mungkin
melakukan tindakan sapu bersih parpol. Belum lagi adanya kandidat yang
dinilai terlalu kuat untuk dilawan. Itu semua berpotensi melahirkan calon
kepala daerah tunggal.
UU belum mengantisipasi
kemungkinan terjadinya tindakan kandidat yang memborong partai yang
berpotensi melahirkan calon tunggal. Demikian juga bila ada di antara bakal
calon yang gugur tes kesehatan. Persoalan-persoalan ini yang antara lain
dapat jadi alasan mengapa perlunya dilakukan revisi terhadap UU tentang
Pilkada.
Antisipasi
calon tunggal
UU tak mengantisipasi jika dalam
suatu pilkada terjadi calon tunggal. Sesuai rekomendasi Badan Pengawas
Pemilu, KPU untuk ketiga kalinya memperpanjang masa pendaftaran calon kepala
daerah, 9-11 Agustus 2015.
Dalam Peraturan KPU No 12/2015
tentang Pencalonan Kepala Daerah disebutkan minimal dua pasangan calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Hingga masa pendaftaran diperpanjang
berakhir, masih ada daerah yang menyisakan pasangan calon tunggal untuk
pilkada serentak Desember nanti sehingga pilkada di daerah-daerah tersebut
terancam ditunda dua tahun ke depan.
Jika mengacu UU No 1/2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU, pencalonan telah diatur secara
ketat. Dalam Pasal 40 ditentukan persentase jumlah parpol atau gabungan
parpol yang dapat mengajukan calon.
Revisi UU tentang Pilkada ke depan
sebaiknya memperingankan syarat bagi parpol yang akan mengajukan calon kepala
daerah. Adanya keharusan parpol atau gabungan parpol memenuhi persyaratan
perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari
akumulasi perolehan suara sah pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan,
bagi sebagian besar parpol, ketentuan ini sangat berat dipenuhi. Akibatnya,
kandidat yang memenuhi syarat sangat terbatas dan rentan memunculkan calon
kepala daerah tunggal.
Jika mungkin, persyaratan
perolehan suara minimal 20 persen itu dihilangkan saja. Idealnya semua partai
yang memiliki kursi di parlemen berhak mengusulkan satu calon. Parpol akan
tetap selektif dalam mengajukan calonnya karena mereka tak juga ingin ada di
pihak yang kalah.
Selain itu, ke depan UU harus pula
memperlonggar persyaratan bagi calon perseorangan.Jika mengacu UU No 1/2015,
persyaratan calon perseorangan tergolong berat. Bakal calon harus memiliki
dukungan awal antara 6,5 persen dan 3 persen bergantung jumlah penduduk.
Dukungan itu pun harus dibuktikan dengan melampirkan identitas diri.
Kurang sehat demokrasi kita jika
dalam suatu pilkada hanya diikuti kandidat tunggal. Apalagi pemilihan tetap
dilakukan melawan kotak atau kolom kosong pada kertas suara. Tetap saja tak
baik bagi demokrasi yang hakikatnya ingin memberikan sebanyak-banyaknya
alternatif pilihan bagi rakyat.
Apalagi jika kemunculan calon
tunggal itu akibat sistem yang semula dibuat memang bertujuan membatasi
jumlah kandidat. Jika UU mempermudah parpol mencalonkan kader dan kandidat
perseorangan diperlonggar, kecil kemungkinan terjadinya calon tunggal.
Gagal
tes kesehatan
UU tentang Pilkada juga
mensyaratkan calon harus sosok yang mampu secara jasmani dan rohani
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter. Ini
artinya ada pemeriksaan yang komprehensif oleh tim dokter yang kompeten.
Atas dasar hasil pemeriksaan
kesehatan inilah, kemudian KPU menyatakan seorang kandidat lolos atau tidak
sebagai calon. Selama ini jarang terjadi seorang bakal calon tak lulus tes
kesehatan. Malah sebagian menilai bahwa pemeriksaan kesehatan itu hanya
bersifat formalitas.
Di Provinsi Sumatera Selatan ada
lima bakal calon kepala daerah dalam Pilkada 2015 yang dinyatakan tidak sehat
oleh tim dokter. Atas dasar itu, KPU memutuskan kelima bakal calon itu gugur
dan tak dapat ditetapkan sebagai calon. Partai harus mencari calon pengganti
dengan berbagai kendala dan dinamikanya. KPU menuai gugatan akibat kekecewaan
kandidat yang merasa dirugikan.
Ke depan, UU tentang Pilkada juga
harus mengantisipasi agar hasil tes kesehatan tidak memunculkan masalah baru
ketika bakal calon dinyatakan tidak lulus. Alternatifnya, tahapan tes
kesehatan dilakukan saat seleksi oleh internal partai.Sangat disayangkan
apabila proses panjang yang telah dilalui kandidat menjadi sia-sia karena
belakangan dinyatakan tidak memenuhi syarat kesehatan.
Sebelum UU tentang Pilkada
direvisi, mungkin saja pemerintah mengambil langkah cepat untuk mengatasi
kejadian yang ada, termasuk soal calon tunggal. Tetap terbuka bagi penerbitan
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) jika terpenuhi unsur
mendesaknya. Namun, yang pasti, harus ada solusi komprehensif akibat
ketertinggalan aturan dengan perkembangan dan realitas yang ada dalam
masyarakat.
Bagaimanapun, UU akan selalu
tertinggal dalam masyarakat yang dinamis. Apalagi dinamika pilkada di
Indonesia tergolong luar biasa, yang menjelma dalam beragam aktivitas yang
sering kali sulit diprediksi. Memang hukum itu tidak dibuat secara tiba-tiba,
tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Itu pula sebabnya mengapa UU
tentang Pilkada perlu diubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar