Rasio Ideal Dosen-Mahasiswa
Johanes Eka Priyatma ;
Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
|
KOMPAS,
22 Agustus 2015
Dalam beberapa
kesempatan, salah satunya dengan para rektor di Kopertis Wilayah V, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi menjanjikan memodifikasi ketentuan rasio dosen-mahasiswa. Modifikasi akan dilakukan dengan memasukkan
dosen tidak tetap atau kontrak selain dosen tetap ke dalam perhitungan rasio
dosen-mahasiswa.
Ini berita baik karena memang dosen kontrak
senyatanya terlibat dalam proses pendidikan. Namun, jika modifikasi ketentuan
rasio hanya terkait dosen kontrak, tentu kurang esensial dalam peningkatan
mutu program studi (prodi) karena statusnya yang tidak penuh waktu. Yang
justru lebih penting memodifikasi besaran rasio dosen-mahasiswa 1/30 untuk
prodi eksakta dan 1/45 untuk sosial menjadi lebih masuk akal serta
mempertimbangkan aspek finansial penyelenggaraan prodi.
Sementara janji
tersebut belum terwujud, tanggal 4 dan 24 Juni 2015 pemerintah malah
mengeluarkan dua surat edaran yang menakutkan
pimpinan perguruan tinggi (PT). Surat edaran pertama berasal dari
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti), menyatakan
bahwa PT akan dicap sebagai "tidak sehat" apabila memiliki prodi
yang rasio dosen-mahasiswanya lebih kecil daripada rasio ketentuan di atas.
Surat edaran kedua
dari Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama, yang menyatakan, bila rasio lebih
kecil dari 1/100, pemerintah akan menonaktifkan prodi itu mulai 1 Agustus
2015. Program itu dilarang menerima mahasiswa baru. Cap "tak sehat"
saja akan merusak reputasi prodi, apalagi bila sampai dapat status nonaktif.
Padahal, pendanaan
utama dan terbesar prodi di PT swasta (PTS) bersumber dari mahasiswa.
Sementara itu ada cukup banyak prodi yang tidak memenuhi rasio ini.
Surat Menristek-Dikti
bahkan menyatakan, 1/30 dan 1/45 bukan rasio ideal, melainkan rasio toleransi
hingga 50 persen. Artinya, rasio yang dibayangkan pemerintah idealnya 1/20 dan 1/30.
Angka 20, 30 dan 50
persen adalah angka-angka aneh karena tak jelas asal-usul dan
kepentingannya. Angka 30, apalagi
yang 20, akan menjadikan prodi sangat elitis, mahal, serta tidak peka
terhadap mereka yang miskin. PTS menjadi semakin sulit diakses kebanyakan
masyarakat.
Beberapa usulan
Lalu, penetapan
toleransi 50 persen juga menggelikan karena
mengabaikan makna toleransi yang berarti penyimpangan. Masak,
penyimpangan sampai separuh? Berikut usulan saya tentang rasio ini agar lebih
sesuai dengan keadaan nyata, khususnya
di PTS.
Kegiatan utama prodi
S-1 adalah pembelajaran sebagaimana tecermin dalam kurikulum yang hanya
berisi 6 SKS skripsi plus 3 SKS kuliah kerja nyata dan kerja praktik dari
total 144 SKS. Artinya, 90 persen lebih kegiatan prodi pembelajaran di kelas.
Karena itu, besaran rasio dosen-mahasiswa sebaiknya ditetapkan, pertama-tama,
demi terjaminnya kualitas pembelajaran lewat pembatasan jumlah mahasiswa
di kelas kuliah.
Berdasarkan pengalaman
saya mengajar lebih dari 25 tahun, pembelajaran dengan jumlah peserta 60
mahasiswa masih dapat berlangsung dengan baik dan nyaman. Didukung teknologi
presentasi yang mudah digunakan, dosen dapat menyampaikan gagasannya dengan
optimal. Bahkan ketika dosen menghendaki terjadi diskusi kelompok, kelas
dapat dibagi 5-6 kelompok. Sementara itu, kegiatan praktik dapat dibantu oleh
beberapa asisten sehingga meski peserta sampai 60, setiap mahasiswa tetap
dapat dilayani dengan baik.
Untuk program S-1
dengan beban minimal 144 SKS, prodi harus menawarkan mata kuliah minimal
144/2 = 72 SKS/semester. Karena beban kerja ideal dosen 12 SKS, setiap prodi
S-1 diharuskan pemerintah punya minimal 72/12 = 6 dosen. Angka ini cukup
ideal dan sudah jadi praktik baik selama ini. Dengan jumlah dosen 6 orang dan
peserta kuliah sampai 60 mahasiswa, prodi S-1 maksimal punya 240 mahasiswa
untuk empat angkatan.
Meski demikian, hanya
angkatan terakhir (maksimal 60 mahasiswa) yang perlu dapat bimbingan skripsi.
Setiap dosen dapat mendampingi 10 mahasiswa. Ini masih ideal bagi proses
pembimbingan skripsi jenjang S-1. Dari sisi finansial, kalau setiap mahasiswa
membayar Rp 5 juta/semester, prodi dapat dana sekitar Rp 1,2 miliar/semester.
Dana ini mencukupi untuk menggaji 6 dosen dengan layak, menyediakan fasilitas
belajar yang baik, serta mungkin menyubsidi prodi lain yang kurang
mahasiswanya. Hal ini dapat dengan mudah diverifikasi ke banyak PTS yang
baik, di mana kelas kuliahnya rata-rata pasti berisi 60-an mahasiswa.
Oleh karena itu, saya
mengusulkan rasio ideal dosen-mahasiswa adalah sekitar 1/60. Rasio ini tak
perlu dibedakan antara program eksakta dan sosial karena program eksakta
justru butuh dana lebih besar. Selanjutnya, dengan rasio ini, PTS diberi
kesempatan untuk mencapainya dalam jangka waktu paling lambat satu tahun. Hal
ini karena perekrutan dosen baru, dari pendaftaran sampai dengan memperoleh
Nomor Induk Dosen Nasional, butuh paling cepat satu tahun. Sementara
berdasarkan surat edaran tadi, prodi akan dapat peringatan setiap tiga bulan
apabila belum dapat memenuhi rasio di atas.
Akhirnya, pemenuhan
rasio dosen-mahasiswa sebaiknya tak dikaitkan dengan "kesehatannya"
karena label tersebut multitafsir, menyesatkan, dan menegasikan status
akreditasinya. Cukup dikatakan, misalnya, dari aspek rasio dosen-mahasiswa,
prodi yang mempunyai rasio 1/60 dengan
toleransi lebih kecil dari 10 persen sebagai "sangat baik", 10-20 persen sebagai "baik", dan
lebih dari 20 persen sebagai "kurang baik". Angka toleransi ini masih masuk akal secara
kualitatif. Dengan memakai usulan ini, pemerintah mengambil posisi lebih
positif terhadap PTS karena lebih memfasilitasi ketimbang membatasi peran dan
kontribusi PTS bagi kemajuan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar