Melawan Industri Kebodohan
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan
|
KOMPAS,
22 Agustus 2015
Suka tidak suka,
televisi telah menjadi guru masyarakat. Celakanya, tayangan dominannya adalah
hiburan dangkal.
Industri kebodohan pun
menguasai kognisi, afeksi, dan perilaku/ekspresi publik. Lembaga pengawas
penyiaran tampak tak berdaya.
Ketika institusi
politik (negara-pemerintah), sosial (lembaga agama, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi sosial), dan budaya (lembaga pendidikan) kurang optimal
jadi pusat orientasi nilai bagi publik, industri televisi telah mengambil
alih peran itu. Kooptasi kultural ini berlangsung vulgar, tanpa ewuh pekewuh,
tanpa basa-basi dan rasa malu.
Negara dan pemerintah
tampak tak mau tahu. Sajian-sajian penuh kebodohan hadir deras mengalir di
ruang keluarga, disantap para orangtua, remaja, dan anak-anak. Wujudnya bisa
berupa variety show, talk show
artifisial, pergelaran musik yang hanya menjual sensualitas,
kompetisi-kompetisi semu berbasis kiriman SMS, kuis, lawak yang menjual
penghinaan fisik, sinetron yang melecehkan logika-etika-estetika, tayangan
yang menjual "hantu"/roh penasaran, infotainment, dan lainnya.
Kebodohan adalah
terminologi kebudayaan yang terkait keterbatasan akal budi. Kebodohan
mengakibatkan manusia tak memiliki keluasan horizon nilai, kesadaran
etik-estetik, logika, gagasan, ilmu, pengetahuan dan etos kreatif, serta
keterampilan teknis. Perilaku yang didasari kebodohan melahirkan hal-hal yang
miskin nilai, dangkal, dan tidak memiliki makna.
Industri hiburan
televisi yang hanya menjual tayangan-tayangan dangkal, vulgar, dan sekadar
memenuhi hedonisme psikologis sengaja memilih pengembangbiakan kebodohan
sebagai strategi untuk mendekati masyarakat penonton. Pihak-pihak yang berada
di balik kepentingan dagang ini (pemilik stasiun, produser, tim kreatif,
pemasar, sponsor, dan lainnya) beranggapan, "hanya produk yang ringan
dan menghiburlah yang disukai penonton".
Kehancuran kebudayaan
Terjemahan ringan dan
menghibur adalah lucu, seru, seram, sensasional, heboh, dramatik, dan
komunikatif (gampang dipahami/dangkal). Budaya pop atau budaya massa yang
mengutamakan selera massa dipakai sebagai pendekatan. Dunia penonton dipahami
sebagai entitas sosial-budaya tunggal. Targetnya jelas: mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.
Di sini, industri hiburan televisi benar-benar hanya dipakai sebagai alat
dagang.
Kehancuran kebudayaan
bangsa ini bisa dimulai dari dominasi industri hiburan televisi yang buruk
dan hanya menganggap publik sebagai entitas besar yang dieksploitasi demi
keuntungan semata. Tak ada niat bagi para pelaku industri hiburan televisi
untuk memuliakan publik secara budaya dan keadaban. Kebodohan publik justru
dirawat dan dikembangbiakkan agar publik tetap jadi pasar yang aman bagi
mereka.
Melawan industri
kebodohan di televisi bisa melalui beberapa cara. Pertama, pentingnya
strategi politik kebudayaan nasional yang mengutamakan penguatan karakter,
kreativitas, dan inovasi bangsa. Di sini, stasiun televisi diposisikan
sebagai lembaga sosial, politik, dan budaya yang jadi bagian penting dari
perubahan kebudayaan menuju tingkat tinggi peradaban bangsa. Karena itu,
televisi harus diletakkan sebagai institusi nilai yang bertanggung jawab
untuk mengedukasi dan mencerdaskan publik.
Kedua, pentingnya regulasi
yang mengatur dan mengontrol kebijakan stasiun televisi dan tayangannya
sehingga bisa menjadi televisi sehat. Ukuran sehat antara lain kemampuan
memberikan layanan informasi obyektif-akurat, ilmu, pengetahuan, dan hiburan
bermutu yang mengandung nilai-nilai inspiratif (logis, etis, dan estetis)
bagi publik.
Ketiga, pentingnya
lembaga pengawasan materi tayangan dan penyiaran yang efektif dan memiliki
kuasa, bukan sebatas memberi imbauan dan peringatan, melainkan memiliki kuasa
untuk memberikan sanksi atas penyimpangan. Fungsi penting lembaga ini adalah
menyelamatkan publik penonton televisi dari virus-virus kebudayaan yang
sengaja diproduksi demi keuntungan pemilik stasiun televisi. Jika lembaga ini
efektif bekerja, tidak akan ada lagi tayangan-tayangan yang dangkal, menghina
akal sehat, melabrak etika dan norma sosial.
Keempat, pentingnya
negara menjadi produsen nilai-nilai kebudayaan dengan memberikan dukungan
regulasi dan pendanaan untuk memproduksi tayangan-tayangan berkualitas dan
memiliki masa depan kebudayaan. Wujudnya bisa film televisi fiksi/dokumenter,
features, talk show yang cerdas/visioner, film berkonten ilmu dan pengetahuan
yang inspiratif, pergelaran musik, komedi cerdas, dan lainnya.
Negara tak bisa lagi
hanya diam dan membiarkan dekadensi industri televisi terus berlangsung
merajam kebudayaan bangsa. Negara dituntut memiliki kemauan politik tinggi
untuk menjadikan stasiun televisi sebagai agen perubahan kebudayaan, bukan
agen pasar bebas. Menghentikan laju liberalisme industri televisi tak harus
secara otoriter, tetapi bisa dengan cara-cara kultural melalui regulasi dan
kebijakan serta praksis yang membuka imajinasi dan inovasi bangsa. Saatnya
negara bekerja secara konkret sebelum kehancuran kebudayaan makin parah
akibat industri kebodohan di televisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar