Sektor Kesehatan: Setelah 70 Tahun Indonesia Merdeka
Laksono Trisnantoro ;
Guru Besar Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas
Gadjah Mada
|
KOMPAS,
21 Agustus 2015
Tahun 2015, atau 70
tahun setelah Indonesia merdeka, status kesehatan masyarakat ternyata masih
belum menggembirakan. Meskipun Pemerintah Indonesia-dalam hal ini Kementerian
Kesehatan-telah berusaha keras, angka kematian ibu dan bayi masih tinggi,
bahkan di daerah-daerah perkotaan yang mempunyai fasilitas dan tenaga
kesehatan cukup.
Masyarakat yang
mengidap tuberkulosis (TB) masih bertambah. Pengidap HIV/AIDS juga terus
meningkat. Lebih memprihatinkan lagi, kondisi ini seiring dengan meningkatnya
jumlah penyakit tidak menular, seperti diabetes, kanker, serta jantung.
Anak-anak dan ibu hamil dengan gizi buruk, juga yang terlalu gemuk, masih
banyak ditemui. Pengendalian pemakaian tembakau masih belum berjalan baik.
Seolah semua usaha jalan di tempat.
Sebenarnya ada
pelbagai kemajuan yang patut diapresiasi. Di sisi perlindungan untuk
kesehatan masyarakat, misalnya, sudah ada Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dan Jaminan Kesehatan Daerah. Jumlah rumah sakit, tenaga kesehatan, dan
dokter juga meningkat meskipun belum merata. Daerah-daerah dengan kondisi geografis
sulit, seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Barat, memang masih
jauh tertinggal.
Sebaliknya, masyarakat
yang mampu memilih masih belum puas dengan mutu pelayanan kesehatan. Masih
banyak pasien Indonesia yang berobat ke negara lain. Sementara akses
masyarakat miskin di sejumlah daerah sulit masih menjadi masalah besar.
Sesungguhnya apa yang kurang dalam sistem kesehatan di negara yang sudah
merdeka 70 tahun ini?
Negara kesejahteraan
Ketika Indonesia
merdeka tahun 1945, para pendiri bangsa telah menulis di UUD 1945 yang
menyatakan Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Fakir miskin ditanggung
negara, termasuk urusan kesehatan. Akan tetapi, yang diwariskan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Jepang bukanlah sistem kesehatan yang bertujuan
melindungi masyarakat dari sakit, khususnya mereka yang miskin.
Pada masa penjajahan,
sistem kesehatan dibangun terutama untuk kepentingan penjajah melindungi
aparat pemerintah serta karyawan perusahaan besar dari risiko sakit.
Akibatnya, setelah Indonesia merdeka, amanah UUD 1945 tidak mudah dijalankan,
terutama dalam pembiayaan sektor kesehatan.
Dalam pelayanan
kesehatan untuk perorangan, setelah kemerdekaan, RS-RS milik gereja
kehilangan sumber dana bantuan kemanusiaan dari Eropa. Maka, RS-RS keagamaan
harus mencari dana dari pasien karena pemerintah tidak mempunyai dana cukup
untuk pelayanan kesehatan. Masyarakatlah yang harus membayar, termasuk yang
miskin. Masyarakat miskin hanya bisa mendapatkan pelayanan kesehatan gratis
jika mampu membuktikan diri sebagai orang miskin, tidak mampu untuk mendapat
pelayanan gratis. Terjadilah mekanisme pasar di pelayanan kesehatan.
Sistem pasar terus
berlangsung sampai Orde Baru. RS swasta diperbolehkan menjadi lembaga
berbentuk PT (mencari untung). Berbagai perkembangan ini membentuk sifat
sektor pelayanan kesehatan perorangan yang semakin dipengaruhi oleh hukum
pasar yang celakanya tidak ada pengawasan.
Muncul efek samping di
situasi ini, misalnya adanya semacam kartel yang membatasi jumlah spesialis.
Akibatnya, jumlah dokter spesialis dan subspesialis menjadi sangat kurang.
Desentralisasi
Tahun 1999, setelah
krisis moneter dan reformasi politik di Indonesia, sektor kesehatan Indonesia
juga mengalami desentralisasi. Sayangnya, hal ini dilakukan secara setengah
hati. Kondisi ini bisa dilihat dari bertambahnya APBN pemerintah pusat selama
10 tahun terakhir, dengan pembiayaan kesehatan dilakukan oleh pusat kembali
(resentralisasi).
Daerah-daerah,
termasuk yang mampu, tidak memberikan anggaran cukup untuk sektor kesehatan.
Dalam kasus program penurunan kematian ibu dan bayi, dana program masih
bergantung pada APBN. Kegiatan-kegiatan kesehatan masyarakat menjadi identik
dengan program Kementerian Kesehatan ataupun dinas kesehatan di daerah.
Pemerintah merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan
seperti imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya,
tidak ada sistem monitoring dan pengendalian secara independen. Peran
masyarakat dan LSM masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat. Dampak
lanjutannya, pemerintah pusat kesulitan dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang seharusnya dilakukan pemerintah kabupaten dan provinsi.
Pada tahun 1999,
reformasi politik menetapkan pemerintah sebagai sumber dana masyarakat miskin
melalui program Social Safety-Net, yang diteruskan dengan Asuransi Kesehatan
Keluarga Miskin (Askeskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan
saat ini JKN. Kebijakan ini mengakhiri periode mekanisme pasar yang sangat
kuat.
Meski demikian,
kebijakan pembiayaan untuk pelayanan perorangan ini tidak dapat mengangkat
status kesehatan masyarakat. Selama 10 tahun terakhir, berbagai indikator
kesehatan masyarakat, seperti angka kematian ibu dan bayi, demikian juga
dengan penderita TB, masih belum dapat dikendalikan. Di sejumlah kota besar,
jumlah kematian ibu meningkat seiring dengan peningkatan anggaran untuk
jaminan kesehatan.
Transparansi data kurang
Kebijakan JKN dengan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagai pengelola merupakan hal
yang bertujuan baik. Akan tetapi, saat ini, hal itu sulit dinilai karena
transparansi data belum baik.
Data penggunaan sarana
kesehatan primer dan rujukan langsung dikirim ke kantor pusat BPJS tanpa ada
analisis di daerah. Akibatnya, pemerintah kabupaten/kota/provinsi tidak dapat
membuat perencanaan kesehatan dengan baik, khususnya untuk pencegahan
penyakit.
Pelaksanaan kebijakan
desentralisasi menjadi semakin tidak jelas di sektor kesehatan. Di JKN diduga
terjadi salah sasaran dalam pemberian subsidi. Dana penerima bantuan iuran
(PBI) masih sisa di sejumlah daerah, khususnya di kawasan yang berakses
buruk. Dana ini kemudian dipergunakan untuk mendanai peserta BPJS di tempat
lain yang merugi.
Di sisi lain, program
kesehatan masyarakat ternyata juga belum baik dijalankan. Kegiatan-kegiatan
kesehatan masyarakat identik dengan program Kementerian Kesehatan ataupun
dinas kesehatan di daerah.
Pemerintah
merencanakan, melakukan, dan menilai sendiri kegiatan-kegiatan seperti
imunisasi, pemberantasan nyamuk, sampai promosi kesehatan. Akibatnya, tidak
ada sistem monitoring dan pengendalian independen. Peran masyarakat dan LSM
masih terbatas dalam program kesehatan masyarakat.
Kementerian-kementerian
terkait kesehatan, seperti Kementerian Pekerjaan Umum atau Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, tidak terkoordinasi selama bertahun-tahun.
Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan terbatas menjadi pelaku pelayanan
dengan dana pemerintah.
Fungsi pengawasan
lembaga pelayanan pemerintah dan swasta serta penyusun kebijakan terabaikan.
Dalam konteks kematian ibu, apabila sistem kontrol mutu pelayanan rujukan ibu
dan mutu pelayanan rumah sakit dilakukan dengan baik, penurunan angka
kematian ibu dapat dipercepat.
Apa yang perlu dilakukan
Sebagai refleksi 70
tahun perkembangan sistem kesehatan, ada beberapa hal kunci untuk dilakukan.
Pertama, kebijakan
pembiayaan JKN perlu ditingkatkan lewat transparansi, efisiensi, dan
pemerataan. Jangan sampai subsidi bagi masyarakat miskin (PBI) salah sasaran
dan terjadi inefisiensi.
Kedua, diperlukan
kerja sama pemerintah dan swasta. Dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan
masyarakat, perlu kerja sama antara Kementerian Kesehatan atau dinas
kesehatan dan swasta melalui sistem kontrak.
Ketiga, perlu
koordinasi lebih erat antara Kementerian Kesehatan dan kementerian lain atau
dinas kesehatan dan dinas terkait kesehatan di daerah dalam konteks
desentralisasi.
Keempat, perlu
reorientasi pendidikan tenaga kesehatan. Dengan skema LSM dan swasta sebagai
kontraktor, lulusan fakultas kesehatan masyarakat tidak harus menjadi PNS.
Pola-pola kartel dalam pendidikan spesialis dan subspesialis harus
dihilangkan.
Kelima, promosi
kesehatan perlu ditingkatkan agar masyarakat sadar bahwa kesehatan bukan
hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar