Zhou Enlai
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 14 Juni 2015
Rabu, 10 Juni 2015,
kami meninggalkan Beijing, pukul 08.33. Tiga puluh menit kemudian, kereta
cepat yang membawa kami sudah berhenti di Stasiun Tianjin, Tiongkok timur
laut. Padahal, jarak antara Beijing dan Tianjin adalah 113,8 kilometer (km).
Yang juga menarik adalah kereta berangkat sesuai jadwal keberangkatan yang
tertera dalam tiket dan sampai tujuan sesuai pula dengan jadwal.
Walau kereta berlari
demikian cepat, perjalanannya nyaman. Kereta bersih, berpendingin ruangan 25
derajat celsius, dan toiletnya pun bersih, tidak basah. Harga tiketnya juga
terhitung tidak mahal: 65,50 renminbi atau sekitar Rp 131.000.
Tianjin adalah kota
metropolis terbesar ketiga di Tiongkok, berpenduduk 14,5 juta jiwa dengan
luas wilayah 11.760 km persegi. Kota yang sering disebut sebagai ”permata di
Teluk Bohai” ini adalah kota industri dan jasa. Banyak bangunan tinggi
menjulang ke angkasa—gedung-gedung perkantoran, apartemen, dan pabrik.
Kotanya tertata rapi dan bersih, hijau.
Tujuan pertama kami
Museum Zhou Enlai dan Deng Yingchao. Zhou (1898-1976) dan Deng Yingchao
(1904-1992) adalah pasangan suami-istri. Zhou Enlai adalah tokoh besar
Tiongkok komunis, tentu selain Mao Zedong dan Deng Xiaoping.
Kalau orang mengenang
Mao Zedong sebagai ”Kaisar Merah” karena di bawah kekuasaannya begitu banyak
orang tewas. Tidak demikian dengan Zhou Enlai. Saking kejamnya, Mao kerap
disandingkan dengan Joseph Stalin dan Hitler. Jean-Louis Margolin dan
kawan-kawannya (Andrzej Paczkowski, Jean-Louis Panné, Karel Bartosek, Mart
Laar, Nicolas Werth, dan Stéphane Courtois) dalam The Black Book of Communism
(1997) antara lain menulis, korban tewas selama kebijakan Lompatan Jauh ke
Depan (1959-1961) diperkirakan 20 juta orang hingga 42 juta orang. Jumlah
tersebut belum dihitung korbannya di awal pergerakan. Ia juga tega
menyingkirkan para pesaing politiknya, bahkan calon pengganti yang
ditunjuknya, Liu Shaoqi.
Nah, sebaliknya, Zhou
Enlai adalah wajah Tiongkok yang menghadap ke dunia luar. Wajah yang baik. Ia
perdana menteri pertama Tiongkok, yang dikatakan sebagai pemimpin Tiongkok
paling terpelajar, ramah, dan hangat, walaupun penuh teka-teki. Misalnya,
mengapa ia tidak pernah menduduki posisi paling puncak dalam hierarki partai
meski mengendalikan pemerintahan Komunis selama 27 tahun?
Mao dan Zhou, dua
wajah yang berbeda. Mao seorang pemimpi dan idealis yang menjadikan revolusi
sebagai passion- nya dan membabat habis yang tidak sepaham dengan visinya.
Sebaliknya, Zhou—yang pernah sekolah di kolese misionaris di Tianjin, lalu ke
Jepang dan Perancis—seorang pragmatis yang mampu membuat mesin pemerintah
tetap berjalan meski Mao membuat kebijakan yang menghancurkan rakyatnya.
Tanpa Zhou, menurut Presiden Richard Nixon, revolusi sudah terbakar habis dan
hanya akan menyisakan abu belaka.
Zhou juga yang
berperan besar memperbaiki hubungan antara Beijing dan Washington, yang
dipuncaki dengan kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok pada tahun 1972. Karena
kemampuan diplomasinya—kata-katanya yang sangat terkenal, ”diplomasi adalah
kelanjutan perang dengan sarana lain”—yang telah memungkinkan pintu Tiongkok
tetap terbuka bagi dunia luar meski rezim Mao sangat kejam dan dikecam dunia.
Bagi masyarakat Indonesia,
nama Zhao Enlai tidaklah asing. Bersama Bung Karno, Jawaharlal Nehru, antara
lain, Zhou Enlai tokoh penting dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung
pada 1955. Bahkan, pemandu wisata yang mendampingi kami selama mengunjungi
museum mengatakan, Zhou adalah penyelamat KAA dari kebuntuan dan akhirnya
menghasilkan Dasasila Bandung. Benarkah? Perempuan pemandu wisata itu hanya
tersenyum ketika mendengar pertanyaan itu.
Barangkali yang
penting bagi si pemandu wisata adalah ia berhasil memperkenalkan Zhou Enlai
kepada orang-orang yang mengunjungi museum itu. Setelah mengunjungi museum,
orang pun akan mengatakan, cita-cita modernisasi Tiongkok yang dianjurkan
Zhou Enlai pada Kongres Rakyat Nasional Keempat 1975 kini telah terwujud.
Tiongkok telah maju, dan kita harus belajar sampai ke negeri Tiongkok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar