Senin, 22 Juni 2015

Zhou Enlai

Zhou Enlai

Trias Kuncahyono  ;   Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
KOMPAS, 14 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Rabu, 10 Juni 2015, kami meninggalkan Beijing, pukul 08.33. Tiga puluh menit kemudian, kereta cepat yang membawa kami sudah berhenti di Stasiun Tianjin, Tiongkok timur laut. Padahal, jarak antara Beijing dan Tianjin adalah 113,8 kilometer (km). Yang juga menarik adalah kereta berangkat sesuai jadwal keberangkatan yang tertera dalam tiket dan sampai tujuan sesuai pula dengan jadwal.

Walau kereta berlari demikian cepat, perjalanannya nyaman. Kereta bersih, berpendingin ruangan 25 derajat celsius, dan toiletnya pun bersih, tidak basah. Harga tiketnya juga terhitung tidak mahal: 65,50 renminbi atau sekitar Rp 131.000.

Tianjin adalah kota metropolis terbesar ketiga di Tiongkok, berpenduduk 14,5 juta jiwa dengan luas wilayah 11.760 km persegi. Kota yang sering disebut sebagai ”permata di Teluk Bohai” ini adalah kota industri dan jasa. Banyak bangunan tinggi menjulang ke angkasa—gedung-gedung perkantoran, apartemen, dan pabrik. Kotanya tertata rapi dan bersih, hijau.

Tujuan pertama kami Museum Zhou Enlai dan Deng Yingchao. Zhou (1898-1976) dan Deng Yingchao (1904-1992) adalah pasangan suami-istri. Zhou Enlai adalah tokoh besar Tiongkok komunis, tentu selain Mao Zedong dan Deng Xiaoping.

Kalau orang mengenang Mao Zedong sebagai ”Kaisar Merah” karena di bawah kekuasaannya begitu banyak orang tewas. Tidak demikian dengan Zhou Enlai. Saking kejamnya, Mao kerap disandingkan dengan Joseph Stalin dan Hitler. Jean-Louis Margolin dan kawan-kawannya (Andrzej Paczkowski, Jean-Louis Panné, Karel Bartosek, Mart Laar, Nicolas Werth, dan Stéphane Courtois) dalam The Black Book of Communism (1997) antara lain menulis, korban tewas selama kebijakan Lompatan Jauh ke Depan (1959-1961) diperkirakan 20 juta orang hingga 42 juta orang. Jumlah tersebut belum dihitung korbannya di awal pergerakan. Ia juga tega menyingkirkan para pesaing politiknya, bahkan calon pengganti yang ditunjuknya, Liu Shaoqi.

Nah, sebaliknya, Zhou Enlai adalah wajah Tiongkok yang menghadap ke dunia luar. Wajah yang baik. Ia perdana menteri pertama Tiongkok, yang dikatakan sebagai pemimpin Tiongkok paling terpelajar, ramah, dan hangat, walaupun penuh teka-teki. Misalnya, mengapa ia tidak pernah menduduki posisi paling puncak dalam hierarki partai meski mengendalikan pemerintahan Komunis selama 27 tahun?

Mao dan Zhou, dua wajah yang berbeda. Mao seorang pemimpi dan idealis yang menjadikan revolusi sebagai passion- nya dan membabat habis yang tidak sepaham dengan visinya. Sebaliknya, Zhou—yang pernah sekolah di kolese misionaris di Tianjin, lalu ke Jepang dan Perancis—seorang pragmatis yang mampu membuat mesin pemerintah tetap berjalan meski Mao membuat kebijakan yang menghancurkan rakyatnya. Tanpa Zhou, menurut Presiden Richard Nixon, revolusi sudah terbakar habis dan hanya akan menyisakan abu belaka.

Zhou juga yang berperan besar memperbaiki hubungan antara Beijing dan Washington, yang dipuncaki dengan kunjungan Presiden Nixon ke Tiongkok pada tahun 1972. Karena kemampuan diplomasinya—kata-katanya yang sangat terkenal, ”diplomasi adalah kelanjutan perang dengan sarana lain”—yang telah memungkinkan pintu Tiongkok tetap terbuka bagi dunia luar meski rezim Mao sangat kejam dan dikecam dunia.

Bagi masyarakat Indonesia, nama Zhao Enlai tidaklah asing. Bersama Bung Karno, Jawaharlal Nehru, antara lain, Zhou Enlai tokoh penting dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. Bahkan, pemandu wisata yang mendampingi kami selama mengunjungi museum mengatakan, Zhou adalah penyelamat KAA dari kebuntuan dan akhirnya menghasilkan Dasasila Bandung. Benarkah? Perempuan pemandu wisata itu hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan itu.

Barangkali yang penting bagi si pemandu wisata adalah ia berhasil memperkenalkan Zhou Enlai kepada orang-orang yang mengunjungi museum itu. Setelah mengunjungi museum, orang pun akan mengatakan, cita-cita modernisasi Tiongkok yang dianjurkan Zhou Enlai pada Kongres Rakyat Nasional Keempat 1975 kini telah terwujud. Tiongkok telah maju, dan kita harus belajar sampai ke negeri Tiongkok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar