Quo Vadis Perlindungan Anak
Mansyur Hidayat Pasaribu ; Guru SMP Negeri 1 Percut Sei Tuan dan Ketua
Serikat Guru Indonesia (SeGi) Deli Serdang; Kandidat Doktor Manajemen
Pendidikan
|
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2015
DI tengah kemajuan
peradaban manusia, tidak sedikit orang yang memandang anak sebagai duri dalam
kehidupan keluarga. Karena itu, maraknya tindak kekerasan anak yang terjadi
dalam masyarakat modern membuktikan sudut pandang terhadap kehadiran anak
semakin tergerus. Bagi sebagian orangtua, anak sudah menjadi beban dalam
kehidupan mereka.
Kehidupan anak dalam
lingkungan masyarakat semakin tidak aman dan kondusif lagi. Berbagai ancaman
terus mengintai kehidupan anak, baik dari lingkungan internal, seperti
keluarga dan orangorang terdekat (keluarga, tetangga atau gurunya), maupun
dari lingkungan eksternal, seperti orang asing dan orang yang baru
dikenalnya.
Bahaya dari lingkungan
internal, misalnya, penganiayaan, pengeksploitasian, dan bahkan pembunuhan
anak. Tindakan tersebut bukan hanya dari orangtua dan keluarga dekat,
melainkan juga bisa dari pengasuh atau baby
sitter, dan pekerja rumah tangga yang tentu menjadi ancaman bagi
kehidupan anak.
Seperti yang terjadi
di Bali, Angeline dibunuh pekerja rumah tangga ibu angkatnya, dan di Jakarta
Utara, seorang pengasuh membunuh anak majikannya.
Bahaya dari lingkungan
eksternal, misalnya, kekerasan seksual, perampasan, penganiayaan, penculikan,
dan bahkan pembunuhan, seperti yang dialami Renggo, murid SD di Surabaya,
yang dianiaya teman kelasnya hingga tewas. Kemudian kekerasan seksual yang
dilakukan Emon di Sukabumi yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada 89
orang anak. Hal tersebut berarti bahwa kehidupan anak di lingkungan keluarga
dan masyarakat semakin tidak aman.
Orangtua tentu saja
perlu meningkatkan pengawasan terhadap sikap dan perilaku anak. Pasalnya,
sikap dan perilaku anak semakin tidak terkontrol, terutama akibat pengaruh
kemajuan teknologi. Penggunaan teknologi canggih dan alat komunikasi modern
secara berlebihan dapat memengaruhi pembentukan karakter anak. Dampak
teknologi belum mampu dicerna dan ditelaah dengan baik oleh pemikiran
anak-anak sehingga sisi negatif teknologi menjadi sangat dominan pada mereka.
Ada beberapa bentuk
kekerasan yang dapat terjadi dan mengancam kehidupan anak, yaitu kekerasan
emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.
Kekerasan emosional
merupakan kekerasan dengan cara melampiaskan emosi dari orangtua atau
keluarga kepada anak. Sebagai contoh, orangtua yang sedang terlilit utang, biasanya
anak yang menjadi pelampiasan amarah. Dalam hal itu, anak sebagai sasaran
kemarahan.
Kekerasan verbal ialah
kekerasan dengan cara mengungkapkan dalam bentuk ucapan yang tidak
sepantasnya. Dalam masyarakat Bugis Makassar, misalnya, ungkapan ‘anak sundala’,
dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal karena akan berdampak secara
psikis kepada anak. Kekerasan verbal ialah kekerasan berupa kata, frasa,
ungkapan, atau kalimat yang dipandang tidak layak disampaikan kepada
anak-anak. Kasus Valentino yang melompat dari apartemennya karena dilarang
menonton film Spiderman juga dapat
dikategorikan sebagai kekerasan verbal pada anak karena Valentino merupakan
penggemar film itu.
Kekerasan fisik
merupakan kekerasan dengan cara memukul, menempeleng, menendang, atau
perbuatan yang mengenai fisik yang dapat mengakibatkan kecatatan pada tubuh
anak. Kekerasan fisik biasanya efek dari kekerasan emosional dan verbal.
Artinya, orangtua dan keluarga atau orang luar dapat melakukan tiga kekerasan
sekaligus pada anak. Orangtua yang sedang kalap pasti mudah mengumpat
sehingga berpeluang untuk menganiaya anaknya.
Kekerasan seksual
ialah kekerasan dengan cara menjadikan anak sebagai ajang pelampiasan nafsu
seks. Berbagai modus dapat terjadi dalam kekerasan seksual, seperti dikatakan
Tri Amelia Tristiana, psikolog dan pengurus Pemberdayaan Perempuan MUI Kota
Makassar, pelecehan seksual
terhadap anak ialah suatu bentuk penyiksaan anak oleh orang dewasa atau
remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan
seksual ialah meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas
seksual atau memberikan pemaparan senonoh dari alat kelamin untuk anak.
Kekerasan seksual pada
anak, seperti yang terjadi di TK Jakarta
International School (JIS), semakin menambah daftar panjang tindak
kekerasan seksual pada anak. Sistem pengamanan yang begitu ketat di JIS
ternyata tidak menjamin anak-anak di TK JIS merasa aman. Karena itu,
semestinya pihak sekolah juga mengawasi ketat di internal, seperti mengawasi
petugas di area sekolah sehingga anak-anak bebas dari tindak kekerasan
seksual.
Kekerasan seksual yang
sangat menghebohkan ialah pelecehan seksual yang dilakukan oleh Sobari alias
Emon di Sukabumi. Hasil penyelidikan sementara dari pihak kepolisian, sudah
terdata sejumlah 89 orang anak yang menjadi korbannya. Menurut pengakuan
pelaku, setiap minggu rata-rata tiga orang anak yang menjadi korban.
Perbuatannya dimulai sejak Desember 2013 hingga April 2014 lewat modus
memikat korban dengan memberi uang antara 20 sampai 25 ribu rupiah.
Beberapa kasus
kekerasan anak, terutama jika melibatkan pelaku orang luar atau orang asing,
ialah memberikan sesuatu berupa permen atau kebanyakan uang. Apalagi, jika
pemberian uang itu melebihi dari yang selalu didapatkan dari orangtua,
anak-anak akan mudah tergoda untuk mengikuti apa yang disuruhkan. Karena itu,
orangtua mesti memberi pengetahuan dan pemahaman kepada anaknya agar tidak
mudah memercayai orang yang baru dikenalnya.
Pendidikan merupakan pintu yang tepat untuk menutup jalan
terjadinya tindak kekerasan pada anak. Pihak orangtua dan keluarga harus
senantiasa menjalin komunikasi dengan anak. Sikap dan perilaku
anak harus dalam pemantauan dan pengawasan. Orangtua dan keluarga harus
menanamkan pendidikan karakter dan moral. Pengenalan dan pemahaman
nilai-nilai budaya juga sangat penting.
Di lingkungan
pendidikan formal, pengajaran dan pembelajaran yang berbasis pendidikan
karakter sudah menjadi harga mati dalam Kurikulum 2013, yaitu semua silabus
mata pelajaran di semua jenjang pendidikan, berisi kompetensi inti 1 yang
berisi sikap religius, dan kompetensi inti 2 yang berisi sikap sosial. Dengan
demikian, muatan Kurikulum 2013 sudah berbasis pendidikan karakter yang
bersifat vertikal kepada Tuhan dan bersifat horizontal kepada sesama manusia.
Orangtua dan guru
harus bersinergi dalam membentengi anak-anak yang selama ini rentan terhadap
bahaya laten kekerasan. Pelaku kekerasan anak sangat sulit dideteksi dari
mana sumbernya. Justru kadang orang-orang terdekatlah, seperti orang tua,
tetangga, dan guru, yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak. Karena
itu, waspadalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar