Senin, 22 Juni 2015

Quo Vadis Perlindungan Anak

Quo Vadis Perlindungan Anak

Mansyur Hidayat Pasaribu ;   Guru SMP Negeri 1 Percut Sei Tuan dan Ketua Serikat Guru Indonesia (SeGi) Deli Serdang; Kandidat Doktor Manajemen Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 19 Juni 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DI tengah kemajuan peradaban manusia, tidak sedikit orang yang memandang anak sebagai duri dalam kehidupan keluarga. Karena itu, maraknya tindak kekerasan anak yang terjadi dalam masyarakat modern membuktikan sudut pandang terhadap kehadiran anak semakin tergerus. Bagi sebagian orangtua, anak sudah menjadi beban dalam kehidupan mereka.

Kehidupan anak dalam lingkungan masyarakat semakin tidak aman dan kondusif lagi. Berbagai ancaman terus mengintai kehidupan anak, baik dari lingkungan internal, seperti keluarga dan orangorang terdekat (keluarga, tetangga atau gurunya), maupun dari lingkungan eksternal, seperti orang asing dan orang yang baru dikenalnya.

Bahaya dari lingkungan internal, misalnya, penganiayaan, pengeksploitasian, dan bahkan pembunuhan anak. Tindakan tersebut bukan hanya dari orangtua dan keluarga dekat, melainkan juga bisa dari pengasuh atau baby sitter, dan pekerja rumah tangga yang tentu menjadi ancaman bagi kehidupan anak.

Seperti yang terjadi di Bali, Angeline dibunuh pekerja rumah tangga ibu angkatnya, dan di Jakarta Utara, seorang pengasuh membunuh anak majikannya.
Bahaya dari lingkungan eksternal, misalnya, kekerasan seksual, perampasan, penganiayaan, penculikan, dan bahkan pembunuhan, seperti yang dialami Renggo, murid SD di Surabaya, yang dianiaya teman kelasnya hingga tewas. Kemudian kekerasan seksual yang dilakukan Emon di Sukabumi yang diduga melakukan pelecehan seksual kepada 89 orang anak. Hal tersebut berarti bahwa kehidupan anak di lingkungan keluarga dan masyarakat semakin tidak aman.

Orangtua tentu saja perlu meningkatkan pengawasan terhadap sikap dan perilaku anak. Pasalnya, sikap dan perilaku anak semakin tidak terkontrol, terutama akibat pengaruh kemajuan teknologi. Penggunaan teknologi canggih dan alat komunikasi modern secara berlebihan dapat memengaruhi pembentukan karakter anak. Dampak teknologi belum mampu dicerna dan ditelaah dengan baik oleh pemikiran anak-anak sehingga sisi negatif teknologi menjadi sangat dominan pada mereka.


Ada beberapa bentuk kekerasan yang dapat terjadi dan mengancam kehidupan anak, yaitu kekerasan emosional, kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual.

Kekerasan emosional merupakan kekerasan dengan cara melampiaskan emosi dari orangtua atau keluarga kepada anak. Sebagai contoh, orangtua yang sedang terlilit utang, biasanya anak yang menjadi pelampiasan amarah. Dalam hal itu, anak sebagai sasaran kemarahan.

Kekerasan verbal ialah kekerasan dengan cara mengungkapkan dalam bentuk ucapan yang tidak sepantasnya. Dalam masyarakat Bugis Makassar, misalnya, ungkapan ‘anak sundala’, dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal karena akan berdampak secara psikis kepada anak. Kekerasan verbal ialah kekerasan berupa kata, frasa, ungkapan, atau kalimat yang dipandang tidak layak disampaikan kepada anak-anak. Kasus Valentino yang melompat dari apartemennya karena dilarang menonton film Spiderman juga dapat dikategorikan sebagai kekerasan verbal pada anak karena Valentino merupakan penggemar film itu.


Kekerasan fisik merupakan kekerasan dengan cara memukul, menempeleng, menendang, atau perbuatan yang mengenai fisik yang dapat mengakibatkan kecatatan pada tubuh anak. Kekerasan fisik biasanya efek dari kekerasan emosional dan verbal. Artinya, orangtua dan keluarga atau orang luar dapat melakukan tiga kekerasan sekaligus pada anak. Orangtua yang sedang kalap pasti mudah mengumpat sehingga berpeluang untuk menganiaya anaknya.

Kekerasan seksual ialah kekerasan dengan cara menjadikan anak sebagai ajang pelampiasan nafsu seks. Berbagai modus dapat terjadi dalam kekerasan seksual, seperti dikatakan Tri Amelia Tristiana, psikolog dan pengurus Pemberdayaan Perempuan MUI Kota Makassar, pelecehan seksual terhadap anak ialah suatu bentuk penyiksaan anak oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua menggunakan anak untuk rangsangan seksual. Bentuk pelecehan seksual ialah meminta atau menekan seorang anak untuk melakukan aktivitas seksual atau memberikan pemaparan senonoh dari alat kelamin untuk anak.

Kekerasan seksual pada anak, seperti yang terjadi di TK Jakarta International School (JIS), semakin menambah daftar panjang tindak kekerasan seksual pada anak. Sistem pengamanan yang begitu ketat di JIS ternyata tidak menjamin anak-anak di TK JIS merasa aman. Karena itu, semestinya pihak sekolah juga mengawasi ketat di internal, seperti mengawasi petugas di area sekolah sehingga anak-anak bebas dari tindak kekerasan seksual.

Kekerasan seksual yang sangat menghebohkan ialah pelecehan seksual yang dilakukan oleh Sobari alias Emon di Sukabumi. Hasil penyelidikan sementara dari pihak kepolisian, sudah terdata sejumlah 89 orang anak yang menjadi korbannya. Menurut pengakuan pelaku, setiap minggu rata-rata tiga orang anak yang menjadi korban. Perbuatannya dimulai sejak Desember 2013 hingga April 2014 lewat modus memikat korban dengan memberi uang antara 20 sampai 25 ribu rupiah.

Beberapa kasus kekerasan anak, terutama jika melibatkan pelaku orang luar atau orang asing, ialah memberikan sesuatu berupa permen atau kebanyakan uang. Apalagi, jika pemberian uang itu melebihi dari yang selalu didapatkan dari orangtua, anak-anak akan mudah tergoda untuk mengikuti apa yang disuruhkan. Karena itu, orangtua mesti memberi pengetahuan dan pemahaman kepada anaknya agar tidak mudah memercayai orang yang baru dikenalnya.

Pendidikan merupakan pintu yang tepat untuk menutup jalan terjadinya tindak kekerasan pada anak. Pihak orangtua dan keluarga harus senantiasa menjalin komunikasi dengan anak. Sikap dan perilaku anak harus dalam pemantauan dan pengawasan. Orangtua dan keluarga harus menanamkan pendidikan karakter dan moral. Pengenalan dan pemahaman nilai-nilai budaya juga sangat penting.

Di lingkungan pendidikan formal, pengajaran dan pembelajaran yang berbasis pendidikan karakter sudah menjadi harga mati dalam Kurikulum 2013, yaitu semua silabus mata pelajaran di semua jenjang pendidikan, berisi kompetensi inti 1 yang berisi sikap religius, dan kompetensi inti 2 yang berisi sikap sosial. Dengan demikian, muatan Kurikulum 2013 sudah berbasis pendidikan karakter yang bersifat vertikal kepada Tuhan dan bersifat horizontal kepada sesama manusia.

Orangtua dan guru harus bersinergi dalam membentengi anak-anak yang selama ini rentan terhadap bahaya laten kekerasan. Pelaku kekerasan anak sangat sulit dideteksi dari mana sumbernya. Justru kadang orang-orang terdekatlah, seperti orang tua, tetangga, dan guru, yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anak. Karena itu, waspadalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar