Presiden
Kita Mantu
Mohamad Sobary ; Esais;
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi,
dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 10 Juni 2015
Rakyat pilek itu soal biasa. Mungkin rumahnya bocor,
mungkin kebanjiran, mungkin kehujanan di jalan. Rakyat tak bisa memilih
daerah perumahan yang lebih baik. Pilek, rumah bocor, kebanjiran, kehujanan,
semua bagian dari ciri-ciri kehidupan rakyat. Di mana-mana rakyat tak punya
pilihan.
Kurang makan, kurang vitamin, kurang daya tahan alami, dan
perumahan kurang layak untuk dihuni, semua milik rakyat. Apa yang serbagelap
dan suram itu ciri hidup rakyat. Mereka tak bisa memilih yang lebih baik.
Dalam puisinya yang berjudul “Kampung”, Wiji Thukul
berkata: Orang-orang bergegas/rebutan
sumur umum/lalu gadisgadis umur belasan/keluar kampung menuju pabrik/pulang petang/bermata
kusut keletihan/menjalani hidup tanpa pilihan.
Rakyat pilek, flu, demam, lapar, dan kehujanan itu bukan
berita. Tapi, kalau Presiden pilek, apa lagi pilek berat dan suaranya
terdengar agak sengau, itu berita besar. Kalau Presiden sampai tak bisa
melayani permintaan wawancara orang-orang media, itu berita lebih besar lagi.
Rakyat mantu, di hari baik dan bulan baik pun bukan
berita. Mantu memang urusan besar. Biayanya besar. Kesibukannya besar. Tapi,
bagi rakyat, yang biasa bersikap fleksibel, apa yang besar itu bisa dibikin
kecil. Memang bergengsi kalau bisa berpesta di gedung megah. Tapi kalau biaya
tak mencukupi, perayaan pesta di masjid pun jadi. Itu juga gedung.
Tapi, kalau di masjid masih terasa berat, pesta di rumah
tak menjadi soal. Rumahnya hanya kecil? Tidak masalah. Rumah kecil juga
rumah.
Rumah kecil tanpa halaman? Minta izin RT atau RW dan
lurah, untuk menutup jalan di depan rumah, sudah beres. Jalan yang ditutup
itu untuk sementara dianggap halaman. Para saudara, famili atau tetangga,
sahabat atau kenalan, jauh atau dekat, bisa datang ke rumah dan turut
memberikan doa restu. Pesta pun dengan begitu berjalan dengan baik, penuh
kegembiraan, penuh berkah.
Rakyat juga bisa berpesta. Namanya pesta khas milik
rakyat. Rakyat pun bisa mantu . Itu peristiwa rutin. Hidup lalu diwarnai
suasana pesta. Kita lihat di sini mantu, di sana mantu. Di sini pesta, di
sana pun pesta. Semua tanda kehidupan rakyat yang tidak istimewa. Itu tanda
keseharian hidup mereka sejak dulu hingga sekarang ini. Juga nanti, di hari
depan yang masih belum lagi pasti.
***
Rakyat mantu itu soal biasa. Tapi, Presiden mantu,
jelaslah itu peristiwa luar biasa. Keluarga yang menjadi besan Presiden jelas
bangga setengah mati. Derajatnya, kewibawaannya, gengsinya, naik secara
dadakan. Mungkin keluarga itu sendiri tak pernah mengira bakal menjadi besan
Presiden.
Anaknya? Dia menjadi menantu Presiden. Mimpi apa dia
(semalam) kok bisabisanya menjadi menantu Presiden? Derajatnya pun naik.
Wibawa dan citra hidupnya melejit setinggi langit. Mantu Presiden...! Betapa
luar biasanya.
Presiden itu setara dengan raja-raja. Bahkan di dalam
suatu masyarakat di mana raja dan kerajaan tak lagi terasa relevan secara
politik maupun kebudayaan, presiden jelas lebih besar dari raja, lebih berwibawa
dari raja dan lebih penting dari raja. Besan presiden, mantu presiden, dan
menjadi keluarga presiden, betapa mulianya.
Kalau dalam acara itu sang Presiden menggunakan fasilitas
negara, wibawa mereka turut terangkat ke angkasa. Ada presiden yang berpesta
di istana kepresidenan. Bahkan bisa saja pesta itu diselenggarakan di dua
istana yang berbeda. Bahkan bisa pula di beberapa istana. Anak pertama di
istana A, anak kedua di istana B, anak ketiga, keempat, dan lain-lain, di
istana yang lain lagi.
Presiden yang menggunakan aji mumpung, akan menggunakan
sebesar mungkin fasilitas negara, tak peduli bagaimana susahnya kehidupan
rakyatnya. Kalau ada lima istana dan yang bersangkutan memiliki lima anak,
apa salahnya lima istana itu digunakan semua? Bukankah fasilitas itu
disediakan negara dan dibenarkan untuk dipakai semuanya? Dan, jika semuanya
dinikmati, memangnya apa salahnya?
Jika pesta berlangsung seperti zaman dahulu, siapa bakal
melarang? Presiden berkuasa. Dan, dia bisa menggunakan kekuasaannya. Pesta
tujuh hari tujuh malam apa dosanya?
***
Presiden Jokowi juga akan menyelenggarakan pesta mantu.
Tapi, Presiden ini tidak akan menggunakan Istana sebagai fasilitas yang harus
dinikmati untuk menyenangkan anak dan menantu serta besannya. Apa kesenangan
hanya ada di Istana? Tidak. Di rumah pun kesenangan juga ada. Di gedung
biasa, yang biasa disewa orang yang tak berpangkat, ada pula kesenangan.
Mungkin bahkan juga kebahagiaan.
Kelihatannya Jokowi ya Jokowi. Presiden atau bukan, tak
terlalu dibedakan. Kita tak diberi tahu, dan media pun diam, adakah ini tanda
Presiden yang merakyat? Adakah ini tanda kesederhanaan yang tak dipidatokan
pada para pejabat bawahannya, tapi dilaksanakan dengan baik sebagai cara
hidup bersahaja?
Dan, mungkin sebaiknya Presiden Jokowi tak perlu
mengatakannya. Apa gunanya kata-kata, pidato dan pengarahan gaya lama yang tak
ada juntrungannya? Bukankah lebih baik dilaksanakan, dan bila ada yang
meneladaninya, silakan saja menjadikannya contoh. Bagi Presiden Jokowi
mungkin ini bukan zaman pidato, bukan zaman omong besar, tapi zaman memberi
teladan nyata biarpun tanpa katakata.
Fasilitas negara untuk Presiden tak perlu dan tak harus
dinikmati. Simpan saja di perbendaharaan negara. Biar saja, kalau mungkin,
dinikmati rakyat, dengan mekanisme apa pun. Fasilitas negara itu asalnya dari
rakyat. Jadi, baik sekali bila yang dari rakyat itu kembali kepada rakyat.
Hadiah-hadiah bagi pengantin? KPK sudah memiliki standar
aturan yang dilaksanakan dengan baik. Presiden Jokowi tidak bermewah-mewah
bukan karena minta dipuji. Tidak mewah itu sudah merupakan ciri identitasnya.
Istrinya tidak menuntut yang bukan-bukan. Lain dari istri para presiden yang
lain. Sang suami telah memberinya teladan.
Jadi, apa istimewanya presiden kita mantu dan tidak mantu
? Mungkin ada bedanya. Tapi, tak terlalu dibedakan, tak perlu diistimewakan.
Presiden kita mantu , sama dengan orang lain mantu. Presiden mantu tak
memboroskan fasilitas negara. Presiden kita mantu membukakan mata dan hati
kita bahwa presiden mantu dengan cara bersahaja pernah terjadi. Dan, apa yang
pernah terjadi itu mungkin menjadi cermin bagi kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar