Presiden
Ibarat Presenter Berita
Yasmin Muntaz ; Praktisi dan Pengamat Media
|
KORAN SINDO, 09 Juni 2015
Sudah lebih dari satu
pekan sejak terjadi kesalahan pidato Presiden Jokowi soal kota kelahiran
Presiden Soekarno. Namun, hingga tulisan ini dibuat, polemik tentang itu
masih berlanjut, terutama di media sosial. Permohonan maaf Sukardi Rinakit
selaku penulis teks pidato Presiden tidak sertamerta menyurutkan polemik.
Awalnya saya tidak
berniat untuk membahas soal ini. Namun, saya menjadi tertarik untuk menulis
karena sedikit-banyak peristiwa ini mengingatkan pada pengalaman saya sebagai
seorang jurnalis di media televisi nasional selama belasan tahun. Menurut
saya, dalam pidato, seorang pejabat negara tak ubahnya presenter berita yakni
(seharusnya) tidak boleh salah karena kesalahan satu kata saja dapat
berakibat fatal. Tentu saja, kesalahan seorang Presiden akan memiliki magnitude yang lebih besar. Presenter
berita yang saya bahas dalam tulisan ini adalah mereka yang murni bertugas
sebagai presenter.
Bukan mereka yang juga
merangkap menjadi produser program dan sebagainya.
Dalam dunia televisi,
apa yang tampil di layar akan sangat menentukan kredibilitas sebuah tayangan.
Untuk sebuah program berita, kesalahan pencantuman/penyebutan nama atau
jabatan seseorang yang diwawancara, baik itu kesalahan teknis (tertukar
dengan narasumber lain) maupun nonteknis (salah informasi nama/jabatan),
dapat berakibat fatal.
Ada tiga jenis
kesalahan yang dapat terjadi. Pertama, slip
of the tongue atau kita biasa menyebutnya ”keseleo lidah”. Ini kesalahan
yang paling umum terjadi dan kadar kesalahannya paling ringan (selama kata-kata
yang salah sebut masih dalam batas yang wajar). Kedua, kesalahan dalam
penyebutan istilah atau singkatan dalam bahasa asing. Ketiga, kesalahan data.
Kesalahan ini kadarnya adalah yang paling berat. Seandainya penyebutan kota
kelahiran Presiden Soekarno di Blitar tersebut ke luar dari mulut seorang
presenter berita, itu adalah kesalahan fatal karena masuk ke dalam kategori
kesalahan akibat data yang tidak akurat.
Naskah yang dibaca
oleh seorang presenter sudah melalui proses editing, baik itu oleh produser
segmen, asisten produser, produser program, maupun oleh si presenter itu
sendiri (sebelum on air). Namun, human error bisa saja terjadi. Kadang
ada kesalahan fatal yang baru disadari oleh si presenter saat on air.
Karena itu, seorang
presenter memiliki peran penting dalam sebuah program berita, apalagi kalau
program tersebut ditayangkan secara live.
Presenter dituntut agar mampu berfungsi sebagai editor terakhir. Seorang
presenter harus bisa memfilter agar tidak terjadi kesalahan. Jika kesalahan
telanjur terjadi, koreksi seharusnya dilakukan saat itu juga, seketika
setelah terjadi kesalahan.
Hal itu hanya dapat
dilakukan apabila yang bersangkutan mengetahui dengan pasti fakta yang
sebenarnya. Kalau seorang presenter dapat melakukan hal tersebut, yang
bersangkutan akan mendapat credit dari pemirsa dan tim redaksi karena
dianggap sudah menyelamatkan kredibilitas tayangan. Sebaliknya, kalau
kesalahan fatal dibiarkan berlalu begitu saja, si presenter berpotensi di-bully pemirsa karena dianggap tidak
cerdas dan tidak memahami yang dibacanya.
Ada dua kemungkinan
ketika seorang presenter tidak langsung meralat kesalahan: Pertama, yang
bersangkutan tidak paham fakta/data yang sebenarnya (sehingga tidak
mengetahui ada kesalahan).
Kedua, yang
bersangkutan tahu, namun tidak menyadari telah terjadi kesalahan pada naskah
yang dibacanya. Apa pun alasannya, keduanya akan berdampak sama yakni:
berpotensi mengurangi kredibilitas si presenter dan program berita itu
sendiri. ***
Kalau seorang
presenter harus bertanggung jawab atas naskah yang dibawakannya, bagaimana
dengan seorang pejabat negara, dalam hal ini seorang Presiden? Padahal, dari
sisi naskah yang dibacakan, ada perbedaan mendasar antara naskah berita
seorang presenter dan naskah pidato seorang pejabat negara. Ketika membawakan
berita, seorang presenter menjadi ujung tombak dari tim redaksi dan berfungsi
sebagai pembawa pesan dari redaksi pemberitaan. Dengan kata lain, apa yang
dibaca seorang presenter adalah hasil pemikiran dari produser atau
orang-orang di belakang layar. Sedangkan ketika seorang pejabat negara
berpidato, (seharusnya) ia sedang menyampaikan pemikiran-pemikirannya sendiri
dan bukan sedang menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh orang lain
(si pembuat naskah).
Di situlah bedanya
pejabat negara yang berpidato dengan seorang presenter. Namun, keduanya
memiliki persamaan yakni mereka adalah editor terakhir.
Apabila terjadi
kesalahan fatal, seorang presenter dan seorang pejabat negara tidak bisa
berdalih dan mengatakan: ”Saya hanya membacakan apa yang tertulis”. Kesalahan
seharusnya langsung diralat on the spot oleh yang bersangkutan. Jika seorang
presenter yang notabene adalah seorang ”penyampai pesan”, harus meralat dan
meminta maaf atas kesalahan naskah dari sebuah berita yang disampaikannya,
apalagi seorang pejabat negara yang berpidato dan menyampaikan pemikirannya
sendiri. Soal pertanggungjawaban, seharusnya murni ada pada pejabat negara
tersebut.
Dalam kasus pidato
Presiden Jokowi, tidaklah tepat apabila kesalahan dan tanggung jawab diambil
alih oleh pembuat teks pidato. Seharusnya seorang pembuat teks pidato hanya
menulis dan menjabarkan apa yang menjadi pemikiran dasar seorang pejabat
negara yang akan berpidato. Naskah pidato dibuat semata-mata sebagai alat
bantu agar seorang pejabat negara dapat menyampaikan pidatonya secara lebih
terstruktur dan kontekstual.
Dalam keterangannya
kepada media, Sukardi Rinakit
menjelaskan bahwa sesungguhnya Presiden Jokowi sempat ragu soal kota
kelahiran Presiden Soekarno dan menyebutkan di Surabaya. Namun, Presiden
menerima keterangan sang pembuat naskah yang mengatakan bahwa kota kelahiran
Presiden RI pertama tersebut adalah di Blitar. Dari keterangan Sukardi
Rinakit tersebut tertangkap kesan bahwa diskusi soal materi pidato hanya
terjadi antara (tim) penulis naskah dan Presiden. Padahal, seharusnya ada pihak
ketiga yang dilibatkan yakni tim editor naskah. Kalau naskah berita TV saja dapat melalui
beberapa tahap editing (apabila
diperlukan), mengapa untuk naskah pidato seorang Presiden seolah-olah
prosedurnya amat sederhana?
Selayaknya, untuk
naskah sepenting pidato Presiden, ada tim khusus yang terdiri atas para pakar
di berbagai bidang yang bertugas mengedit/supervisi naskah.
Publik tidak akan mau
tahu siapa yang menulis naskah pidato. Mereka akan beranggapan bahwa
seseorang yang berpidato sedang menyampaikan pemikirannya sendiri (dan
seharusnya memang demikian adanya). Sehingga, orang yang berpidato harus
bertanggung jawab penuh atas apa yang disampaikannya. Karena itu, jika ada
data yang kurang valid sehingga meragukan, harus dicari terlebih dahulu fakta
yang sebenarnya. Jika masih juga meragukan, sebaiknya tidak dicantumkan sama
sekali (asalkan tidak mengurangi substansi).
Setelah melalui proses editing yang ketat dan melibatkan
banyak pakar,
seharusnya kesalahan materi pidato Presiden dapat dieliminasi sedemikian
rupa. Jika upaya untuk mencegah kesalahan sudah sedemikian maksimal, filter
dan pertanggungjawaban akhir ada di tangan Presiden sendiri. Meski Presiden
adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, mari kita berharap
kejadian serupa tak lagi terjadi pada masa yang akan datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar