Dahlan
Iskan, Diskresi, dan Jebakan Hukum
Andi Wahyudi ; Peneliti bidang administrasi publik di
Lembaga Administrasi Negara; Saat ini menjalani pendidikan Master of Public
Administration (Policy)
di Flinders University, South Australia
|
JAWA POS , 09 Juni 2015
PENETAPAN Dahlan Iskan
(DI) sebagai tersangka dugaan korupsi kasus pembangunan gardu listrik
mengejutkan banyak pihak. Sosok DI yang berasal dari perusahaan swasta
(private sector) telah memberikan warna tersendiri dalam mengelola BUMN dan
birokrasi (public sector).
Misalnya, ketika DI memimpin rapat direksi PLN di halaman kantor setelah
olahraga. Juga, ketika DI membuka pintu tol untuk mengurai kemacetan.
Ironisnya, upaya DI,
baik ketika menjadi Dirut PLN maupun menteri BUMN, dalam melakukan gebrakan
untuk mengubah budaya kerja birokrasi yang prosedural dan formalistis –yang
lebih mementingkan kemasan dan proses– menjadi birokrasi yang lebih
mengutamakan substansi serta hasil agar responsif terhadap kebutuhan publik
ternyata justru mengorbankan dirinya sendiri.
Diskresi Pejabat Publik
Seorang pejabat publik
diangkat untuk mengatasi persoalan-persoalan masyarakat melalui organisasi
publik yang dikelolanya. Diskresi bisa dilakukan pejabat publik untuk
merespons kondisi yang dihadapi dalam rangka kepentingan yang luas. Misalnya,
kepentingan publik.
Davis menyatakan,
pejabat publik memiliki diskresi di mana pun karena keterbatasan kekuasaan
yang dimilikinya sehingga memungkinkan membuat keputusan untuk melakukan atau
tidak melakukan suatu tindakan (dalam Hill, 2013: 237).
Kemudian, untuk
konteks Indonesia, UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
mengartikan diskresi sebagai ''keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret
yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan
perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap
atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan''.
Diskresi, karena
sifatnya yang dilakukan dalam kondisi mendesak dan keterbatasan kekuasaan,
berpotensi menerabas prosedur formal. Dalam kondisi normal, prosedur formal
memang harus diikuti. Tetapi, dalam kondisi yang tidak normal untuk mengatasi
persoalan yang konkret, prosedur formal sementara bisa dikesampingkan dengan
alasan yang rasional.
Karena itu, ketika
masyarakat mengeluhkan kondisi listrik selama bertahun-tahun, yaitu minimnya
pasokan listrik, sudah sewajarnya pejabat publik yang terkait dengan
penyediaan energi listrik merespons keluhan tersebut. DI berargumen, dirinya
''tidak tahan dengan keluhan masyarakat atas kondisi listrik ketika itu''
(http://www.tempo.co/read/fokus/2015/06/06/3187/dahlan-iskan-tersangka-proyek-gardu).
Dalam konteks kebijakan publik, tindakan tersebut merupakan hal yang wajar
sepanjang tidak mengambil keuntungan pribadi dari proyek tersebut.
Jebakan Hukum
Selanjutnya, bagaimana
hukum kita melihat tindakan tersebut? Penetapan DI sebagai tersangka
menunjukkan bahwa aparat hukum kita masih mengutamakan prosedur dan
formalitas yang harus diikuti dalam pengelolaan pemerintahan, bahkan dalam
kondisi mendesak sekalipun. Hal itu membuat unit-unit pemerintah tidak bisa
leluasa mengambil tindakan cepat untuk merespons kebutuhan publik yang
mendesak karena terbelenggu prosedur formal yang harus selalu diikuti.
Isu korupsi merupakan
isu yang sensitif dan menakutkan bagi pejabat publik. UU No 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
UU No 20 Tahun 2001 mengartikan korupsi sebagai perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Cakupan pengertian itu hanya menjangkau
tindakan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, tidak menjangkau
sektor swasta.
Pengertian tersebut
bisa menimbulkan multafsir terhadap tindakan diskresi yang dilakukan pejabat
publik. Sebab, walaupun tidak mengambil keuntungan pribadi, bila suatu
keputusan atau tindakan menguntungkan orang lain dan merugikan keuangan
negara, seorang pejabat bisa dituduh melakukan korupsi. Bahkan, memotong
prosedur untuk kepentingan publik bisa dianggap suatu pelanggaran.
Hal itu menjadi
jebakan bagi pejabat publik yang melakukan diskresi ketika menghadapi masalah
yang harus direspons secara cepat. Akibatnya, timbul ketakutan untuk
mengambil keputusan atas persoalan yang mendesak dan harus segera
diselesaikan. Sebab, di kemudian hari mereka bisa dipermasalahkan dan dituduh
melakukan korupsi.
Sebagai perbandingan,
Selandia Baru, negara yang terkenal paling bersih dari korupsi, justru tidak
memiliki definisi korupsi secara khusus. Serious
Fraud Office (SFO), lembaga pemberantasan korupsi di negara tersebut,
menggunakan definisi korupsi dari Asian
Development Bank (ADB). Yaitu, tindakan pejabat publik atau swasta yang
secara tidak benar dan tidak sah memperkaya diri atau orang dekatnya atau
membujuk orang lain untuk melakukannya dengan menyalahgunakan posisi
jabatannya (https://www.sfo.govt.nz/what-is-corruption).
Di negara tersebut, bukan hanya sektor publik, sektor swasta pun bisa
dijangkau lembaga antikorupsi jika ada unsur penyalahgunaan posisi jabatan.
Perumusan ulang arti
korupsi, tampaknya, perlu dilakukan terhadap UU tersebut. Jika orang lain itu
adalah masyarakat luas yang diuntungkan dari suatu kebijakan publik, apakah
juga disebut korupsi? Ketika suatu keputusan atau tindakan dilakukan untuk
kepentingan publik yang luas, tidak ada penyalahgunaan jabatan, dan tidak ada
keuntungan pribadi yang secara sengaja diambil pejabat publik, tidak
seharusnya perbuatan tersebut dianggap korupsi.
Perubahan Mind-Set
Perlu ada perubahan mind-set, khususnya di kalangan
auditor dan aparat penegak hukum, tentang diskresi. Sepanjang tidak ada
keuntungan pribadi yang secara sengaja diambil pembuat kebijakan, tidak
seharusnya disebut korupsi. Selain itu, yang perlu dinilai adalah manfaat
yang bisa diperoleh negara atau masyarakat dari diskresi oleh pejabat publik
sehingga keputusan tersebut bisa memberikan nilai.
Sebagaimana dikatakan
Moore (1995: 40), jika kebijakan yang dibuat pemerintah memberikan manfaat
bagi masyarakat, terciptalah public
value (nilai publik). Jika menilai kebijakan hanya dari aspek kerugian
keuangan negara, barangkali bisa dicari kerugian negara yang timbul dari
semua kebijakan.
Kembali ke kasus DI,
tindakan yang dilakukan bisa diterima sebagai diskresi jika dia bisa
membuktikan tiga hal. Pertama, proyek tersebut benar untuk kepentingan publik
dan memberikan manfaat yang besar kepada publik atau negara. Kedua, ada
urgensi proyek tersebut sehingga prosedur yang seharusnya dilalui cukup
beralasan untuk dikesampingkan. Ketiga, tidak ada moral hazard dengan cara mengambil keuntungan pribadi dari proyek
itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar