Pilkada Serentak Kedodoran
Ramlan Surbakti ; Wakil
Ketua KPU 2001-2007
|
KOMPAS, 18 Juni 2015
Peyelenggaraan
pemilihan gubernur, bupati dan wali kota serentak 2015 mengalami kedodoran
dalam dua hal: peraturan perundang-undangan dan persiapan penyelenggaraan.
Hukum dan kepastian
hukum mengenai pemilihan umum (pemilu) sangat penting dalam proses
penyelenggaraan pemilu. Pemilu, termasuk pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota, adalah persaingan antarpeserta pemilu atau antarpasangan calon untuk
memperebutkan jabatan yang sama (kepala dan wakil kepala daerah). Karena
jumlah jabatan yang diperebutkan sedikit (satu kepala daerah di setiap
daerah), jumlah yang bersaing mendapatkan jabatan itu lebih banyak daripada
jumlah jabatan yang diperebutkan; dan jabatan itu dipandang amat sangat
penting (bahkan dipandang jauh lebih penting daripada hal lain), maka
persaingan niscaya akan sangat tajam, bahkan tak jarang menggunakan
kekerasan.
Relevansi hukum pemilu
tak hanya untuk mencegah kekerasan dalam persaingan itu, tetapi terutama
untuk menjamin agar persaingan itu berlangsung bebas dan adil. Setiap
peserta/pasangan calon tak hanya sama-sama bebas melakukan kampanye
meyakinkan pemilih berdasarkan rambu-rambu yang diatur dalam UU, tetapi juga
memiliki kesempatan dan sarana yang relatif setara untuk melakukan kampanye
sebagaimana dijamin dalam UU. Kepastian hukum tak hanya penting bagi setiap
pasangan calon, tetapi juga bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
penyelenggara pemilu. Dengan demikian, aturan main dalam persaingan tak hanya
sama, tetapi juga dipahami sama semua pihak (predictable procedures). Yang
disebut KPU mandiri adalah KPU menyelenggarakan pemilu semata-mata
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memiliki kepastian hukum.
Undang-undang yang mengatur pemilu dalam pemilu otoritarian tak menjamin
persaingan bebas dan adil antar para peserta pemilu/pasangan calon.
Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Perubahan UU No 1/2015 tentang Peraturan Pemerintah
Pengganti UU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tak hanya
secara substansial mengandung sejumlah aspek yang tak demokratis, tetapi juga
mengandung ketidakpastian hukum dalam banyak aspek.
Pertama, proses
penentuan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tak demokratis
karena pasangan calon ditentukan sepenuhnya oleh pengurus partai di tingkat
daerah dengan persetujuan pengurus pusat, tetapi sama sekali tak melibatkan
anggota parpol. Padahal UU parpol menjamin hak anggota partai memilih dan
dipilih, dan menentukan isi kebijakan partai. Kedua, UU itu melanggar HAM
karena melarang seorang WNI yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan
petahana menjadi calon kepala daerah atau calon wakil kepala daerah. Melarang
seseorang menjadi calon hanya karena dia anak/istri petahana sama buruknya
dengan menjadikan seseorang menjadi calon hanya karena dia anak/istri
petahana.
Seharusnya proses
penentuan calon dilakukan secara demokratis, yaitu pengurus partai secara
kolektif menyiapkan lebih dari satu calon, menjamin persaingan bebas dan adil
antarcalon (persaingan), dan menjamin hak anggota partai menentukan pemenang
persaingan (partisipasi). Kalau istri seorang petahana ditetapkan sebagai
calon berdasarkan proses demokratis seperti ini, ini tak dapat dikategorikan
sebagai penerapan praktik dinasti.
Ketiga, UU ini tak
menjamin kesetaraan antarpemilih karena tak ada sanksi berupa pemungutan
suara ulang bila jumlah kasus pelanggaran berupa "penggunaan hak pilih
lebih dari satu kali" di suatu tempat pemungutan suara (TPS) hanya satu
saja, atau bila jumlah kasus "perusakan surat suara yang sudah dicoblos
di suatu TPS hanya satu saja". Pemungutan suara ulang untuk kedua jenis
pelanggaran ini akan dilakukan bila pelanggaran terjadi lebih dari satu
kasus.
Keempat, hasil
pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kemungkinan besar tak akan menjamin
efektivitas pemerintahan daerah karena pasangan calon terpilih ditetapkan
berdasarkan suara terbanyak. Yang dimaksud suara terbanyak di sini bukan
mayoritas melainkan pluralitas: mencapai jumlah suara lebih banyak daripada
jumlah suara dari masing-masing pasangan calon lain tanpa harus mencapai
persentase suara tertentu. Bila jumlah pasangan calon lebih dari lima (di
banyak daerah bahkan mencapai 10 pasang calon), maka bukan tidak mungkin perolehan
suara sebanyak 15 persen jadi pemenang.
Sistem pemilu kepala
daerah dan wakil kepala daerah seharusnya didesain untuk menciptakan
pemerintahan daerah yang efektif. Pemerintahan daerah akan efektif apabila
kepala daerah memiliki kepeminpinan politik transformatif, mendapat
legitimasi tinggi dari warga daerah, dan memperoleh dukungan solid
(mayoritas) anggota DPR. Kedua, faktor terakhir tak dijamin oleh sistem
pemilu yang diadopsi UU No 8/2015. Sistem pemilu gubernur, bupati, dan wali
kota yang diadopsi UU No 8/2015 tak memiliki visi jelas tentang pemerintahan
daerah. Kepemimpinan politik dan administrasi dari seorang kepala daerah juga
faktor penting untuk menciptakan pemerintahan daerah yang efektif. Proses
penentuan calon yang tak demokratis tak mungkin menghasilkan kepemimpinan
transformatif. Namun, kepemimpinan politik saja mungkin tak mampu meyakinkan
warga daerah dan anggota DPRD. Akibatnya dukungan rakyat dan anggota DPRD
sering kali diperoleh dengan kepemimpinan transaksional.
Tanda tanya besar
Dari segi kepastian
hukum, UU ini juga mengandung sejumlah aspek yang menimbulkan tanda tanya
besar. Pertama, menyamakan pemilih dengan penduduk. Menurut UU ini, pemilih
adalah penduduk yang sekurang-kurangnya berumur 17 tahun atau sudah/pernah
kawin dan terdaftar sebagai pemilih. Rumusan ini tidak konsisten dengan UU
pemilu lain yang menentukan pemilih adalah WNI. Berdasarkan UU tentang
administrasi kependudukan, tak semua penduduk Indonesia menjadi warga negara
Indonesia. Tidak semua penduduk Kota Surabaya menjadi WNI. Apakah warga
negara asing dapat menjadi pemilih?
Kedua, DPRD diberi
tugas mengirimkan surat pemberitahuan tentang akhir masa jabatan kepada
kepala daerah. Tugas pemberitahuan ini jauh lebih tepat diberikan kepada
institusi yang mengeluarkan penetapan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Hal ini tak hanya
karena pemerintah atasan yang mengeluarkan keputusan penetapan yang lebih
tahu tentang masa jabatan, tetapi juga karena masa jabatan merupakan sesuatu
yang secara hukum sudah pasti sehingga tidak tepat diserahkan kepada lembaga
yang mekanisme kerjanya musyawarah dan negosiasi seperti DPRD. Ketiga,
ketentuan tentang larangan jual-beli suara sudah diatur dalam UU ini, tetapi
tak ada sanksi atas pelanggaran ketentuan jual-beli suara.
Keempat, daftar
pemilih tambahan (DPT) mempunyai tiga pengertian berbeda, yaitu daftar
pemilih sementara (DPS) hasil perbaikan, pemilih yang menggunakan hak
pilihnya tidak di tempat dia terdaftar, tetapi di TPS daerah lain, dan
pemilih yang tidak terdaftar, tetapi akan menggunakan hak pilihnya
berdasarkan KTP atau paspor. DPT yang campur-aduk seperti ini niscaya tak
membantu menciptakan DPT yang mencapai kemutakhiran dan akurasi yang tinggi.
Kelima, UU melarang
parpol yang mengusulkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
menerima sumbangan dana kampanye dari pihak asing, dari pemerintah dan pemda,
BUMN/BUMD, dan pihak yang identitasnya tak jelas. Berdasarkan UU ini,
pasangan calon tak dilarang menerima sumbangan dari pihak asing, pemerintah,
dan sumber yang identitasnya tidak jelas. UU pemilu lainnya justru melarang
peserta pemilu menerima sumbangan seperti ini, dan parpol bukan peserta
pilkada.
Keenam, UU ini
mewajibkan parpol yang mengusulkan pasangan calon untuk membuka rekening khusus
dana kampanye di suatu bank. Karena itu, pasangan calon tak akan kena sanksi
bila tak membuka rekening khusus dana kampanye di bank. Ketujuh, UU No 8/2015
tak mengatur tugas dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tingkat
pusat dalam pilkada, tetapi mengatur tugas dan kewenangan Bawaslu provinsi
hingga ke pengawas tingkat lapangan.
Anggaran pilkada
Dari segi persiapan
penyelenggaraan pemilu, dua parpol mengalami kepengurusan ganda sedangkan KPU
dan Bawaslu menghadapi permasalahan anggaran di sebagian kabupaten/kota. KPU
sudah memiliki pedoman jelas dalam menentukan kepengurusan parpol yang
dipandang sah dalam mengajukan pasangan calon. Yang menjadi persoalan,
konflik internal di dalam parpol yang tak dapat diselesaikan secara internal
oleh parpol karena parpol selama ini memang tak pernah melembagakan (baca:
tak pernah membuat aturan main dalam AD/ART untuk menyelesaikan semua
kemungkinan perbedaan pendapat di dalam partai). KPU juga tidak bisa dipaksa
oleh kehendak sejumlah parpol untuk mengikuti aturan main yang tidak sesuai
dengan UU.
Persoalan anggaran
pilkada adalah urusan dan tanggung jawab pemda dan pemerintah pusat. Prinsip
dasarnya adalah KPU tak mungkin menyelenggarakan pilkada tanpa dana memadai.
KPU tentu dapat mengusulkan kebutuhan anggaran sesuai perencanaan tahapan
pilkada atau menanyakan kapan tersedia anggaran, tetapi KPU tak boleh
mengemis anggaran kepada pemda/pemerintah. Tetapi, KPU dapat dituntut untuk
menjamin efisiensi dalam perencanaan dan penggunaan anggaran. Dewasa ini muncul
pertanyaan dari sebagian pihak: mengapa anggaran pilkada serentak membengkak?
Bukankah sejak awal pilkada serentak dikatakan akan mengurangi anggaran
pilkada?
Pertama, bentuk
kampanye semua pasangan calon yang difasilitasi KPU, seperti pemasangan iklan
kampanye di televisi dan pengadaan alat peraga, dibiayai dari anggaran
pilkada. UU seharusnya membatasi persentase dana publik untuk kegiatan
kampanye pasangan calon sebanyak-banyaknya 30 persen. Selebihnya harus
ditanggung pasangan calon. Pada satu sisi sistem kampanye seperti ini mampu
menjamin equal playing field antarpasangan calon. Kebijakan yang adil ini
harus disertai larangan bagi setiap pasangan calon untuk memasang iklan
kampanye di luar yang disiarkan TV tersebut.
Pada sisi lain,
pengadaan alat peraga kampanye sebanyak rumah tangga di setiap daerah untuk
setiap pasangan calon merupakan kebijakan yang kurang tepat karena
menyebabkan anggaran membengkak. Bila suatu kota memiliki satu juta rumah
tangga dan jumlah pasangan calon mencapai lima, maka KPU harus mengadakan
lima juta alat peraga. Yang semestinya dilakukan KPU dan pemda adalah
menetapkan daftar tempat (lokasi) pemasangan alat peraga kampanye di seluruh
daerah yang bersangkutan, menjamin luas ruang yang sama antarpasangan calon
untuk pemasangan alat peraga, dan melarang pemasangan alat peraga kampanye di
luar tempat yang ditentukan tersebut. Pasangan calon yang memasang alat
peraga di luar tempat yang ditentukan harus dikenai dua macam sanksi: wajib
menanggung denda sebanyak dua kali biaya pembersihan alat peraga tersebut,
dan pengumuman daftar nama pasangan calon yang memasang alat peraga di luar
tempat yang ditentukan.
Kedua, anggaran
pilkada serentak akan berkurang bila pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota di suatu provinsi dilakukan secara serentak. Data yang diperoleh dari
KPU menunjukkan hanya 12 dari 34 provinsi yang melaksanakan pemilihan
gubernur, bupati, dan wali kota sekaligus pada 9 Desember 2015, selebihnya
tanpa pemilihan gubernur. Ketiga, daerah yang kepala daerahnya maju lagi
untuk masa jabatan kedua cenderung menetapkan anggaran pilkada yang
membengkak, sedangkan daerah yang kepala daerahnya tidak lagi maju cenderung
terlambat memberikan persetujuan.
Keempat, KPU bersama
KPU di daerah belum memiliki daftar pos pengeluaran pemilu yang esensial,
jumlah sarana yang diperlukan untuk setiap aspek pengeluaran, dan indeks
harga yang tidak sama antardaerah. Karena itu, sampai hari ini KPU belum
mampu menetapkan berapa biaya pemilu untuk seorang pemilih baik secara
nasional maupun per daerah. Ketidakmampuan ini sebagian karena kondisi lokal
Indonesia yang beraneka ragam, tetapi sebagian lagi karena para pegawai KPU
belum memiliki kompetensi keilmuan tata kelola pemilu dalam perencanaan
tahapan pemilu dan perencanaan anggaran pemilu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar